Pemulangan WNI eks-ISIS dianggap dapat timbulkan ancaman keamanan bagi Indonesia. Namun, secara prinsip hukum dan keadilan, para WNI tersebut bisa saja tetap menjadi tanggung jawab pemerintah — menimbulkan dilema tersendiri.
PinterPolitik.com
Usai sudah perdebatan soal keputusan pemerintah terkait rencana pemulangan warga negara Indonesia (WNI) eks-anggota Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) yang berjumlah 689 orang itu. Setelah pembahasan rencana pemulangan untuk mencari mekanisme yang legitimate terkait hukum dan konstitusi beberapa pekan lalu, serta untuk mencari tahu penyebab kepergian WNI ke Suriah tanpa izin, akhirnya ketukan palu keputusan pun berbunyi.
Pemerintah tidak akan memulangkan WNI eks-ISIS ke Indonesia. Hal ini disampaikan langsung oleh Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD di Istana Kepresidenan. Setidaknya, terdapat tiga putusan yakni menjamin rasa aman dan nyaman bagi 267 juta warga negara yang hidup di Indonesia; tidak memulangkan fighters atau kombatan yang tergabung di beberapa negara, serta mevalidasi data.
Sederhananya, keputusan pemerintah adalah dengan mempertimbangkan konsekuensi-konsekuensi yang bisa saja datang, yakni agar pemulangan WNI eks-ISIS tidak meningkatkan laju radikalisasi di masyarakat Indonesia.
Namun, keputusan final pemerintah agaknya masih saja dilematis. Terdapat dua hal yang membuat pemerintah dalam posisi dilema itu. Pertama, adanya pertimbangan kemanan nasional dengan tidak memulangkan WNI eks-ISIS.
Namun, hal patut diapresiasi sebagai langkah preventif atas ancaman keamanan nasional (national security). Sebab memulangkan sama saja dengan menginginkan adanya instabilitas dan memupuk subur jaringan ISIS di Indonesia.
Jejak ISIS dalam aksi teror di Indonesia patut dijadikan pembelajaran bahwa ISIS adalah ancaman serius bagi bangsa Indonesia. Tanpa disadari, kekalahan ISIS di Suriah tidak berarti gerakan mereka pun berakhir.
Jaringan-jaringan ISIS di Indonesia seperti Jamaah Ansharut Daulah (JAD), Mujahidin Indonesia Barat (MIB), Jamaah Islamiyah/Jamaah Ansharut Tauhid (JAT), dan Al Muhajirun tumbuh subur.
Melihat fenomena akhir-akhir ini, terdapat sejumlah instansi pendidikan yang terindikasi terpapar paham radikalisme. Menurut pengamat terorisme Stanislaus Riyanta, penanaman paham radikalisme dan intoleransi harus diawasi oleh lembaga pendidikan sebab sangat rentan anak-anak usia remaja menjadi target propaganda narasi tersebut.
Kasus yang terjadi di Yogyakarta misalnya, ketika seorang pembina pramuka dari Gunung Kidul mengajarkan anak-anak yel-yel dan tepukan rasis dan menyebutkan istilah “kafir.” Kasus lain juga pernah terjadi, seperti intimidasi oknum pengurus rohani Islam (rohis) di SMAN 1 Gemolong, Sragen, kepada seorang yang tidak berhijab; pengibaran bendera yang mirip dengan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) di SMKN 2 Sragen; dan baru-baru ini terjadi pembakaran musala yang terjadi di Minahasa, Sulawesi Utara.
Peristiwa tersebut memberi tanda bahwa kehati-hatian terhadap intoleransi sudah seharusnya menjadi perhatian khusus. Mahfud MD secara stipulatif mejelaskan radikalisme mengandung arti sebagai ideologi atau pemikiran, takfiri, serta jihadi yang berorientasi mengkafir-kafirkan dan keinginan menggantikan sesuatu yang bagi mereka adalah salah dengan cara yang radikal dan kekerasan.
Peneliti dari Kajian Terorisme dan Konflik Sosial, Fakultas Psikologi, Universitas Indonesia, Solahudin menyatakan jaringan teroris ISIS di Indonesia menggunakan aplikasi percakapan dan media sosial dalam menyebarkan ideologi mereka. Memiliki 60 kanal dan 30 forum pribadi di aplikasi percakapan Telegram pada 2017, jaringan ISIS bisa menyebarkan 80-150 pesan kekerasan setiap harinya.
Intoleransi akan memerangi siapapun, baik yang berbeda paham, prinsip, budaya, kepercayaan tanpa terkecuali sesamanya yang dinilai menyimpang dari apa yang mereka benarkan. Ancaman atas keberagaman bangsa Indonesia menjadi taruhan dan, yang paling mengerikan, konflik sektarian seperti yang terjadi di Timur Tengah.
Kedua, adanya pertimbangan pada aspek keadilan. Walaupun secara otomatis WNI eks-ISIS telah kehilangan kewarganegaraannya berdasarkan UU No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia – tepatnya pada pasal 23 ayat (f) yang berbunyi:
Secara sukarela mengangkat sumpah atau menyatakan janji setia kepada negara asing atau bagian dari negara asing tersebut.
Namun, negara sebagai institusi formal selayaknya berlaku secara adil, yakni dengan tidak kemudian langsung mengklaim bahwa WNI eks-ISIS telah melepaskan “baju” Indonesia-nya. Oleh sebab itu, perlu kehati-hatian, harus diperiksa, dan dibuktikan fakta empirisnya.
Menurut pengamat terorisme Universitas Indonesia Ridlwan Habib, Indonesia belum memiliki prosedur khusus untuk mendeteksi kadar ideologi terorisme seseorang. Selain itu, terdapat tumpang tindih aturan.
Dalam UUD 1945 pasal 28E ayat (1), ditegaskan bahwa setiap orang berhak beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal diwilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali. Tentu, hal ini bisa jadi bertentangan dengan UU No 12 tahun 2006 Pasal 23 ayat (d) yang menjelaskan bahwa WNI kehilangan kewarganegaraan jika yang bersangkutan masuk dalam dinas tentara asing tanpa izin terlebih dahulu dari presiden, dan (f) bahwa secara sukarela mengangkat sumpah atau menyatakan janji setia kepada negara asing atau bagian dari negara asing tersebut.
Isu pembakaran paspor yang dilakukan WNI eks-ISIS juga menjadi sorotan pemerintah. Hal ini kemudian menjadi alasan untuk tidak memulangkan mereka. Sebab, hal tersebut dinyatakan sebagai perilaku tidak mengakui diri mereka sebagai WNI.
Namun, ketua Program Studi Kajian Terorisme Universitas Indonesia (UI) Muhammad Syauqillah menjelaskan secara hukum dan konstitusi pemerintah harus memulangkan para WNI eks-ISIS. Pasalnya, menurut beliau Indonesia tidak pernah mengenal prinsip hukum kehilangan kewarganegaraan dan dwi kewarganegaraan.
Selain itu, kedudukan ISIS juga bukanlah sebagai negara karena tidak memenuhi unsur-unsur sebuah negara. Oleh sebab itu, konteks UU No. 12/2006 tidaklah relevan bila dikaitkan – untuk sementara – dengan situasi WNI eks-ISIS ini.
Maka dari itu, perlu kiranya bagi pemerintah untuk melakukan pengkajian ulang yang lebih cermat dan komprehensif lagi terkait keputusan itu. Jangan sampai keputusan itu lantas mengesampingkan aspek keadilan. Kita masih mengakui bahwa keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia adalah sebuah kewajiban yang harus ditegakkan.
Tulisan milik Muhammad Kamarullah, mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional di Universitas Muhammadiyah Malang.
“Disclaimer: Opini adalah kiriman dari penulis. Isi opini adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis dan tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi PinterPolitik.com.”
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.