“Seolah-olah poros Makkah itu Islami, pribumi. Sementara poros Beijing itu dekat dengan asing dan aseng. Publik saat ini sudah cukup cerdas bisa memahami apa yang diistilahkan tak seperti yang mereka bayangkan,” ~ Pengamat politik Unpad, Muradi.
PinterPolitik.com
[dropcap]G[/dropcap]uys, udah denger istilah poros Makkah dan poros Beijing? Istilah ini diperkenalkan pertama kali oleh Sekjen Sekretariat Bersama (Sekber), Muhamad Idrus saat berjumpa dengan Rizieq Shihab di Arab Saudi. Eng ing eng, wacana itu kemudian memicu kontroversi di masyarakat. Nah, eike kira juga apa. Gegara asal jeplak jadi riweuh kan, hadeuh.
Belakangan, kubu partai oposisi yang tergabung dalam Sekber atau dikenal dengan Koalisi Keumatan memang kerapkali mendikotomi partai berdasarkan perspektif agama. Ya, sebut aja munculnya istilah ‘Partai Allah’ dan ‘Partai Setan’. Hal ini ditambah dengan nama dari koalisinya sendiri yang menyebut diri mereka ‘keumatan’.
Kontroversi yang terbaru ya mengenai poros Makkah dan poros Beijing ini. Menurut Idrus sendiri, poros Beijing merupakan rezim Jokowi yang dekat dengan kebijakan Tiongkok belakangan ini. Akibatnya, Indonesia kini diserbu tenaga kerja asing dari Tiongkok dan hutang dari negara tersebut terus meningkat.
Justifikasinya kok agak berasa maksa gitu ya? Padahal, apa yang dilakukan Pemerintah Indonesia bisa jadi salah satu strategi untuk melepaskan diri dari ketergantungan hegemoni Amerika Serikat. Jadi, sebenarnya gak hanya ke Tiongkok aja loh, negara lain seperti Rusia dan Jepang juga termasuk.
Toh semua demi kebaikan negeri ini. Terus ngapain didramatisir segala sih, pake menyebut dengan istilah poros Beijing? Lebay ah. Kalau tujuan pengkotak-kotakan dari pernyataan ini berujung pada kepentingan politis, ya jangan mengatasnamakan agama dung. Gak etis keles.
Apa ujung-ujungnya mau mengatakan kalau poros Beijing itu ingin mengatakan bahwa kubu Presiden Jokowi itu pro Tiongkok yang komunis, yang anti-Islam, yang menjadi biang kerok membanjirnya tenaga kerja asal Tiongkok di Indonesia? Tujuannya untuk membuat masyarakat ilfeel dan beralih ke poros Makkah.
Eike sih gak bisa menilai dikotomi poros semacam ini baik apa buruk bagi Indonesia. Tapi kalau pernyataan itu muncul dalam ranah politik, ya pasti tujuannya politis gitu deh. Toh dalam sudut pandang tertentu, politik dapat juga diartikan seni untuk merebut dan mempertahankan kekuasaan. Dan karena wacana ini muncul dari kubu oposisi, ya udah pasti tujuannya adalah ingin merebut kekuasaan.
Jadi gimana caranya, sekalipun itu menjual nilai-nilai agama, ya pasti tetap akan dilakukan demi bisa mewujudkan ambisi merebut kekuasaan. Karena ketika berbicara mengenai uang dan kekuasaan, setiap orang memiliki agama yang sama. Seperti perkataan filsuf Voltaire(1694-1778): “When it is a question of money, everybody is of the same religion.” (K16)