Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Ma’ruf Amin telah dinyatakan sebagai pasangan presiden dan wakil presiden terpilih dalam Pilpres 2019. Kini, sang presiden perlu mempersiapkan kabinet barunya guna menyongsong masa pemerintahannya yang kedua. Mungkinkah ada sosok-sosok demagog yang dapat menghantui pemerintahannya?
PinterPolitik.com
Konfigurasi dan dinamika perpolitikan tanah air pasca-pemilihan umum serentak sontak mengalami frekuensi pengenduran. Sebelumnya, ketegangan meningkat di jagat siber antara pendukung paslon nomor urut 01 dan 02.
Masing-masing saling memberikan label dan stereotip negatif, yakni cebong untuk pendukung Joko Widodo (Jokowi)-Ma’ruf Amin dan kampret bagi pendukung Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. Dua kubu ini saling serang satu sama lain dalam media sosial.
Suhu ketegangan sempat memanas ketika perolehan suara Jokowi-Ma’ruf dikatakan unggul atas pasangan Prabowo-Sandi. Berbagai isu-isu pun muncul ke permukaan, mulai dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang dianggap bias dalam melaksanakan tugasnya hingga kecurangan yang terstruktur, sistematis, dan masif (TSM).
Kala itu, situasi kembali memanas menjelang pengumuman atas pasangan presiden dan wakil presiden terpilih dalam Pilpres 2019. Beberapa aksi bahkan berujung pada kerusuhan dan meninggalkan beberapa korban jiwa usai pengumuman KPU tersebut.
Terkait peristiwa tersebut, beberapa pendukung Prabowo-Sandi dijerat dengan dugaan makar. Di sisi lain, pihak aparat keamanan disinyalir telah melakukan sejumlah pelanggaran hak asasi manusia (HAM) terhadap demonstran, seperti penggunaan peluru tajam.
Rentetan peristiwa tersebut merupakan pernak-pernik dalam sistem demokrasi yang menggunakan pemilihan umum secara langsung untuk menjaring seorang pemimpin dan wakil rakyat. Namun, pernak-pernik tersebut turut menyisakan pertanyaan. Bagaimana masa depan demokrasi di Indonesia yang telah kita perjuangkan selama ini?
Hilangnya Demokrasi
Jokowi mendapatkan banyak perhatian dari berbagai kalangan terutama para penggiat HAM. terkait pidato Visi Indonesia-nya yang dinilai telah mengabaikan persoalan demokrasi, hukum, dan HAM. Sang presiden dinilai terlalu menggebu-gebu dan bersemangat untuk membuka kran investasi secara besar-besaran agar lapangan pekerjaan terbuka lebih banyak.
Meski begitu, demokrasi sendiri sampai saat ini tetap eksis dan berkembang di berbagai negara. Seiring perkembangan zaman, banyak negara mulai bertransisi menjadi demokrasi. Negara-negara yang dahulunya berhaluan otoriter juga beralih ke sistem demokrasi.
Tentunya, postulat tersebut perlu diuji kembali sebab dalam sebuah buku yang berjudul How Democracies Die, Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt melihat bahwa terdapat ancaman yang apabila tidak direspons dapat berujung pada hilangnya demokrasi, terutama di Amerika Serikat. Komitmen Donald Trump akan norma-norma demokrasi dan terpilihnya bintang televisi tersebut sebagai presiden dianggap disebabkan oleh kelalaian dan ketidakcermatan partai republik dalam menarik outsider (orang luar) politik yang bisa jadi tak berkomitmen terhadap persoalan demokrasi.
Demokrasi – selain menyediakan prosedur atau piranti guna menghasilkan seorang pemimpin yang berkualitas dan berintegritas – tampaknya turut menjadi lahan subur untuk bertumbuhnya para demagog.
Istilah demagog sendiri dapat dipahami sebagai seseorang pemimpin yang populer di masyarakat tetapi memiliki sifat yang memecah belah. Sebagian besar demagog biasanya menggunakan cara-cara kepemimpinan otoritatif, seperti Adolf Hitler, Benito Mussolini, dan Hugo Chavez.
Sosok-sosok tersebut merupakan outsider politik yang populis dan terkenal kala itu dengan mengambil peran oposisi dalam pemerintahan tetapi berhasil menyedot legitimasi rakyat tanpa kudeta atau pun revolusi.
Sosok-sosok tersebut mulanya dapat menduduki kekuasaan karena mendapat dorongan bahkan ditarik oleh kalangan elite politik dan partai. Para elite politik dan partai menganggap bahwa dengan menarik orang luar yang populer dapat meningkatkan kinerja pemerintahan sebab mereka pada dasarnya adalah kalangan ahli ataupun profesional dalam bidangnya masing-masing ditambah tingkat popularitas di kalangan masyarakat.
Di samping itu, pemimpin-pemimpin tersebut juga ingin menunjukkan citra kepada masyarakat bahwa pengisian jabatan strategis seperti presiden dan menteri tidak melulu harus diisi oleh kalangan elite partai yang syarat dengan bagi-bagi kekuasaan sesama rekan koalisi. Jika diamati pola demikian menunjukkan keterbukaan dan sangatlah demokratis tetapi sebenarnya hanya lah nilai pseudo (semu) belaka.
Dalam psikoanalisis ala Sigmund Freud, setiap individu memiliki dorongan naluriah untuk memiliki dan menikmati sekaligus untuk menguasai bahkan menghancurkan. Kebanyakan demagog mempunyai kecenderungan dari kedua dorongan tersebut, terutama kecenderungan untuk menguasai, sehingga dapat merusak sendi-sendi demokrasi dengan memanfaatkan jalur-jalur konstitusional yang berlaku di negaranya.
Menteri Jokowi?
Sebagai seorang presiden yang terpilih secara demokratis, Jokowi seharusnya dapat berkaca dan mengambil pelajaran dari realitas yang mengancam demokrasi sebagaimana yang telah dicontohkan meskipun konteks dari contoh di atas adalah pemimpin negara. Namun, menjadi relevan apabila contoh tersebut dijadikan bahan evaluasi sekaligus pertimbangan guna memilih pembantu presiden dalam menjalankan pemerintahan.
Diharapkan ketika nanti Jokowi memilih menteri tidak sekedar asal pilih atau tarik begitu saja tetapi harus ada prasyarat yang menyertai, yakni komitmen terhadap jalannya demokrasi di Indonesia. Upaya yang perlu dilakukan oleh sang presiden ini nantinya menjadi salah satu unsur sine qua non bagi siapa saja yang akan memegang posisi menteri dalam kabinet Jokowi-Ma’ruf walaupun calon menteri tersebut memiliki keahlian dan kompetensi yang sesuai dengan lembaga kementerian yang akan dipimpinnya.
Pasalnya, Mantan Wali Kota Solo tersebut beberapa kali menyatakan bahwa dirinya telah terbebas dari beban-beban politik yang dibawanya pada periode pemerintahannya yang pertama. Oleh sebab itu, kabinet Jokowi 2.0 disinyalir akan diisi oleh berbagai kalangan profesional yang memiliki latar belakang non-politik.
Tentunya, jika mengacu pada kasus pemimpin-pemimpin demagog yang berasal dari kalangan non-politik di berbagai negara sebelumnya, tidak menutup kemungkinan posisi-posisi jabatan kabinet Jokowi 2.0 dapat menjadi batu loncatan bagi kemunculan demagog-demagog selanjutnya di Indonesia.
Mungkin, sang presiden perlu mempertimbangkan beberapa indikator pelaku otoritatif versi Juan Linz dalam bukunya yang berjudul Totalitarian and Authoritarian Regimes, yaitu menolak aturan main demokrasi dengan kata-kata atau perbuatan, menyangkal legitimasi lawan, menoleransi atau menyerukan kekerasan, dan menunjukkan kesediaan untuk membatasi kebebasan sipil lawan politik dan media.
Pada intinya, Jokowi perlu memanfaatkan hak prerogatif dengan sebaik-baiknya dan secermat-cermatnya untuk memilih sosok-sosok menteri yang berkomitmen terhadap jalannya demokrasi di Indonesia. Komitmen menteri tersebut harus lebih inklusif dan tidak hanya mendukung kelompok dominan yang berujung pada penghasutan populis (demagoguery).
Mungkin, dengan begitu, pidato-pidato pemerintahan Jokowi-Ma’ruf selanjutnya dapat terbebas dari pandangan bahwa negara telah mengabaikan penegakan HAM, hukum, dan demokrasi. Selain itu, diharapkan juga bahwa pemerintahan Jokowi-Ma’ruf dapat menyelesaikan persoalan-persoalan hukum dan HAM yang belum terselesaikan hingga saat ini.