Sampai saat ini, Harun Masiku masih belum juga ditemukan oleh pihak berwenang. Ini tentu menjadi pertanyaan tersendiri di masyarakat terkait mengapa sosok ini begitu sulit ditemukan meskipun diketahui telah berada di dalam negeri. Atas berbagai keganjilan yang menyertai kasus tersebut, banyak pihak yang menduga bahwa Harun Masiku tengah dilindungi oleh pihak berotoritas. Aktivis Haris Azhar bahkan menyebutkan bahwa kasus ini mirip dengan yang terjadi pada aktivis HAM, Munir. Benarkah demikian?
PinterPolitik.com
Atas terkuaknya kasus suap yang melibatkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) dengan PDIP beberapa waktu lalu, membuat nama politisi PDIP, Harun Masiku benar-benar telah mengisi ruang-ruang berpikir publik. Banyak tanya yang muncul, namun tidak banyak yang mampu dijawab.
Dengan adanya fakta bahwa Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri dan Sekretaris Jenderal PDIP, Hasto Kristiyanto sendiri yang menandatangani surat agar Harun Masiku ditetapkan sebagai pengganti Nazaruddin Kiemas yang telah meninggal sebagai anggota DPR RI, terang saja hal tersebut membuat publik gempar dengan mempertanyakan: “Siapa sebenarnya Harun Masiku?”
Tidak hanya awam, nyatanya sosok-sosok terkenal, yang berseliweran di panggung politik nasional juga tidak ketinggalan mempertanyakan hal tersebut. Pada 14 Januari 2020 lalu, di acara Indonesia Lawyers Club (ILC), pakar hukum tata negara, Zainal Arifin Mochtar juga turut mempertanyakan hal tersebut sebelum memulai keterangannya.
Lalu ada pula sosok pakar hukum tata negara lainnya, Refly Harun dalam acara ILC pada 28 Januari 2020 lalu juga menunjukkan keheranannya terkait mengapa Harun Masiku begitu didorong oleh PDIP untuk melanggeng ke Senayan. Menurutnya, dengan fakta adanya dorongan tersebut, mestilah Harun Masiku merupakan sosok yang begitu berkontribusi bagi partai.
Dugaan yang lebih keras kemudian dilayangkan oleh Direktur Eksekutif Lokataru, Haris Azhar dalam acara yang sama dengan Refly Harun bahwa kasus Harun Masiku ini mengingatkannya pada kasus Munir pada 2004 lalu.
Terangnya, ketika terjadi kasus tersebut, anehnya 43 kamera CCTV di bandara mati seketika. Atas keganjilan tersebut, Haris Azhar menyebut mestilah terdapat pihak berotoritas yang berada di belakangnya.
Menariknya, konteks serupa juga ada dalam kasus Harun Masiku, yakni terkait adanya sistem Keimigrasian yang disebut eror sampai tanggal 23 Januari 2020.
Hal inilah yang disebut membuat pihak berotoritas seperti Menteri Hukum dan HAM (Menkumham), Yasonna Laoly menegaskan bahwa Harun Masiku masih berada di luar negeri, kendati investigasi Tempo telah menunjukkan berbagai bukti yang menepis pernyataan tersebut.
Pertanyaannya adalah, benarkah kasus Munir, di mana terdapat pihak berotoritas yang bermain di belakang, juga terjadi di kasus Harun Masiku?
Ada Otoritas yang Menjaga?
Konteks adanya otoritas yang mengatur seperti yang diduga oleh Haris Azhar terjadi di kasus Munir dapat kita baca melalui konsep yang disebut dengan political power atau kekuatan politik.
Kekuatan politik adalah kemampuan untuk membentuk dan mengendalikan perilaku politik orang lain dan untuk memimpin dan membimbing perilaku mereka ke arah yang diinginkan oleh orang, kelompok, atau lembaga yang menggunakan kekuatan politik.
Dengan kata lain, kekuatan politik adalah kemampuan satu aktor politik – misalnya, seorang warga negara, keluarga, kelompok kepentingan, komite aksi politik, partai politik, atau pemerintah – untuk melakukan perubahan yang diinginkan dalam perilaku aktor-aktor politik lain, membujuk atau memaksa entitas tertentu untuk bertindak sesuai dengan arahan dari yang memiliki kekuatan politik.
Pada hematnya, mereka yang memiliki kekuataan politik yang cukup untuk mempengaruhi dan mengendalikan perilaku politik pihak lain adalah mereka yang memiliki jabatan-jabatan penting atau bercokol di pos-pos berwewenang tinggi di dalam suatu pemerintahan.
Kendati belum dapat dikonfirmasi secara pasti, namun persepsi publik sepertinya sudah mulai menangkap bahwa terdapat kekuatan politik tertentu yang menyelimuti kasus Harun Masiku, sehingga begitu sulit untuk dijadikan terang benderang.
Persepsi itu memang tidak terjadi secara kebetulan, melainkan terbentuk dari berbagai keganjilan yang terjadi di kasus Harun Masiku.
Tidak hanya perihal sistem keimigrasian yang diklaim eror. Ternyata, belakangan diketahui bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sempat mendeteksi keberadaan Harun Masiku di sekitaran Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) ketika terjadi proses penyelidikan saat terjadinya operasi tangkap tangan (OTT) terhadap Komisioner KPU, Wahyu Setiawan.
Menariknya, PTIK yang merupakan tempat dideteksinya keberadaan Harun Masiku, juga merupakan tempat di mana Sekjen PDIP, Hasto Kristiyanto diduga “bersembunyi” agar tidak ditangkap dalam OTT KPK.
Lalu, dengan adanya fakta bahwa Menkumham, Yasonna Laoly membawahi keimigrasian dan ternyata pada September 2019 lalu dirinya dikukuhkan sebagai Guru Besar Ilmu Kriminologi di PTIK membuat publik sulit untuk melepaskan sosok Yasonna dari lenyapnya keberadaan Harun Masiku.
Tidak hanya itu, melacak track record-nya, pada Februari 2015 lalu, ketika kasus Budi Gunawan (BG) yang disebut-sebut sebagai orang dekat Megawati menjadi sorotan publik, Yasonna menuai perhatian karena namanya disebutkan bersama dengan Hasto Kristiyanto dan Menkopolhukam, Tedjo Edhy Purdijatno muncul di surat kaleng dan disebut sebagai pihak yang mengatur praperadilan BG. Dan seperti yang kita ketahui, BG kemudian memenangkan praperadilan melawan KPK kala itu.
Sedikit tidaknya, variabel-variabel fenomena tersebut turut merangkai persepsi publik bahwa sosok macam Yasonna, atau lebih luasnya adalah PDIP memiliki pertautan yang erat dengan hilangnya keberadaan Harun Masiku.
Bedanya Nazaruddin dengan Harun Masiku
Jika memang benar terdapat usaha dari pihak-pihak terkait yang memiliki kekuatan politik untuk menutupi keberadaan Harun Masiku, seperti pernyataan Zainal Arifin Mochtar dan Refly Harun, mestilah Harun Masiku merupakan sosok yang begitu penting bagi PDIP.
Pertanyaan terkait seberapa penting sosok Harun Masiku bagi PDIP memang menjadi puzzle yang hilang dalam misteri kasus ini. Pasalnya, Harun Masiku sebelumnya adalah politikus Partai Demokrat dan belum lama bergabung di PDIP. Ini tentu menjadi pertanyaan tersendiri mengapa sosok yang belum lama di partai menjadi begitu didorong untuk masuk ke Senayan ataupun dilindungi dari proses hukum.
Jika benar Harun Masiku punya peran yang sangat besar di PDIP, maka dapat dipastikan bahwa sosok ini dapat membongkar “gunung es” persoalan di tubuh partai banteng. Asumsi seperti itu tentu saja wajar muncul di masyarakat.
Sedikit melihat lebih jauh terhadap kasus serupa di mana terdapat sosok penting yang tengah diburu oleh KPK, publik tentu masih ingat akan sosok mantan Bendahara Partai Demokrat, Nazaruddin yang sampai melarikan diri ke Kolombia sebelum akhirnya ditangkap.
Tidak dapat dipungkiri lagi, bahwa Nazaruddin adalah sosok yang benar-benar begitu penting karena mengetahui alur keuangan ataupun intrik-intrik politik yang bermuara pada kasus korupsi.
Namun, pada saat itu, menariknya, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Partai Demokrat dengan bijak justru mempersilahkan Nazaruddin diringkus oleh KPK.
Jemmy Setiawan dalam tulisannya Pemberantasan Korupsi di Era SBY Tercatat Paling Progresif di Dunia, menyebutkan bahwa kendati terjadi berbagai kasus korupsi yang melibatkan kader Partai Demokrat – seperti kasus Nazaruddin – Presiden SBY nampak tidak meninggalkan komitmennya dalam mendukung penindakan terhadap kasus korupsi dengan tidak memberikan perlindungan hukum.
Alhasil, itu membuat SBY menelan “Pil Pahit” karena elektabilitas Partai Demokrat merosot dengan tajam, di mana imbasnya partai berlambang mercedes tersebut gagal mempertahankan kursi kekuasaannya.
Membandingkan era SBY dengan era Jokowi terkait adanya skandal korupsi yang disebut membahayakan masa depan partai yang tengah berkuasa, suka atau tidak kita memang melihat adanya perbedaan yang jelas.
Konteks ketegasan atau konsistensi komitmen, setuju ataupun tidak, sampai saat ini belum ditunjukkan oleh pemerintahan Jokowi. Bahkan Presiden Jokowi sendiri sampai saat ini belum memberikan pernyataan khusus terkait kasus ini.
Terkait hal tersebut, beberapa pihak kemudian menyimpulkan, perbedaan tersebut terjadi karena adanya perbedaan signifikan antara Presiden SBY dengan Presiden Jokowi.
Jika benar pernyataan Kornelius Purba dalam tulisannya How History will Eventually Write Megawati, bahwa Megawati adalah presiden yang sesungguhnya (de facto), maka dapat ditarik kesimpulan bahwa perbedaan signifikan tersebut adalah tidak berlakunya Presiden Jokowi sebagai pembuat keputusan (decision maker) seperti halnya Presiden SBY.
Di luar berbagai konstruksi simpulan tersebut, tentu saja hal-hal yang disebutkan masih dalam tataran spekulasi semata. Atas kasus belum ditemukannya Harun Masiku, tentu saja kita berharap sosok misterius ini akan segera diitemukan agar kasus suap yang melibatkan KPU dan PDIP ini menjadi terang benderang. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (R53)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.