“The plague will come to an end. This nightmare will be done” – Jun Ji Hyun, Kingdom
PinterPolitik.com
Di sini ada yang sudah pernah nonton film serial Korea Selatan (Korsel) yang judulnya Kingdom? Kalau belum, kalian harus nonton sih. Meski ini anjuran sederhana dari mimin, tetapi memang penting, minimal biar gak cuma soal cinta dari oppa–oppa saja yang dikonsumsi.
Selain itu, film ini memiliki plot cerita yang hampir mirip dengan apa yang sedang kita alami, yakni wabah ‘zombie’ dan politik. Film itu juga membuktikan bahwa selain pembinaan sepak bola yang sudah pernah juara di Indonesia, industri perfilman di Korsel juga disiplin dan tidak main-main.
Secara garis besar, film Kingdom hendak menunjukkan bahwa pandemi dan politik ini dua hal yang tidak bisa dipisahkan, cuy. Si pemeran utama, Lee Chang, harus bekerja ekstra keras untuk mengusir pandemi ini.
Pasalnya, penyebaran pandemi justru diperparah oleh pilihan sang ratu dan klan Cho untuk mempertahankan pandemi – hanya agar Lee Chang yang lahir dari selir raja ini tidak jadi dilantik sebagai penguasa kerajaan. Pemerintahan kerajaan pun akhirnya diisi oleh orang-orang korup dan birokrasi yang politis sesuai kemauan ratu juga klan Cho, sampai kemudian Lee Chang berhasil melewati perang terbesar ‘blood will spill’.
Nah, kelihatannya hampir sama dengan yang saat ini terjadi di Indonesia nih, gengs. Ternyata, soal penanganan pandemi ini, bumbu politiknya agak keasinan. Bikin lidah gelinjatan gitu, gaes. Hehehe.
Antar lini saling adu mulut, meski tidak terlalu vulgar. Komentar yang terbaru datang dari Kepala Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 dan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Doni Monardo. Dalam forum curahan hati bareng Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Pak Doni cerita begini, cuy, “Inilah saya katakan tadi kita punya tiga persoalan, pertama penyakitnya yaitu Covid-19 itu sendiri, kedua birokrasi kita tidak terintegrasi, ego sektoral, yang ketiga pemberitaan negatif.”
Tuh kan, soal birokrasi dan ego sektoral jadi penghambat kerja toh? Berarti memang birokrasi kita ini kurang saling bahu-membahu guna meredakan pandemi Covid-19. Hadeuhhh, ayo akur sedikit dong.
Mimin nih sebenarnya tahu kalau seluruh warga Indonesia memiliki niat baik memutus rantai dan mengusir si kecil Covid-19 ini. Mulai dari Istana sampai ibu rumah tangga, semuanya punya niat dan keinginan yang sama. Soal niatnya siapa yang tulus, bisa dilihat dari upaya merealisasikannya. Biar tidak seperti orang lapar tapi cuman mantengin nasi saja.
Maksud mimin begini, cuy. Semua orang bisa ikhtiar dan itu sesuai kadar kemampuan. Abang tukang bakso dibanding birokrasi pemerintah tentu takarannya beda dong. Abang bakso bisa usaha melawan Covid-19 ini barangkali dengan membatasi antrean pembeli dan jam buka warung. Kecil, sih kelihatannya, tapi besar banget dampak dari usahanya ini.
Nah, kalau abang bakso saja bisa berusaha semaksimal mungkin, masa birokrasi kita gak bisa sih? Kan tinggal rancang program, buat prosedur, pilih tim, jalankan, dan evaluasi kerja. Sebenarnya as simple as that, cuy. Apa susah? Atau jangan-jangan seperti pernyataan Dwight Waldo kalau memang fungsi administrasi dalam birokrasi ini isinya politiksaja?
Jadi, masih ada pertimbangan untung dan ruginya, atau bagaimana, nih? Hadeuhhh, ini urusannya menjamin kesehatan dan keselamatan warga lho. Klise sih memang, tapi soal kemanusiaan memang tidak bisa dikesampingkan.
Jadi ayo, dong, birokrasi se-Indonesia raya ini mbok yo kompak, mulai dari pusat sampai daerah, mulai atasan sampai bawahan. Harusnya, sih, sedikit malu ya sama amanat reformasi birokrasi yang kita dendangkan terus-terusan. Upsss. (F46)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.