Site icon PinterPolitik.com

Corona, Dalih Jokowi “Peluk” IMF?

Presiden Jokowi di pertemuan tahunan IMF-Bank Dunia di Bali pada 2018

Presiden Jokowi di pertemuan tahunan IMF-Bank Dunia di Bali pada 2018 (Foto: Suarabali)

Setelah sebelumnya pemerintah selalu menekankan bahwa Indonesia berstatus negatif virus Corona, minggu lalu Presiden Jokowi secara mengejutkan mengumumkan terdapat dua WNI yang terdampak virus dari Wuhan, Tiongkok tersebut. Menariknya, itu bertepatan dengan International Monetary Fund (IMF) yang mengumumkan akan memberikan dana pinjaman sebesar US$ 50 miliar atau sekitar Rp 705,6 triliun untuk penanganan virus Corona.


PinterPolitik.com

Tidak seperti biasanya, Wakil Ketua Umum Partai Gerindra, Fadli Zon justru memuji Presiden Joko Widodo (Jokowi) karena keberaniannya dalam mengkritik lembaga keuangan dunia, yakni International Monetary Fund (IMF), Bank Dunia, dan Asian Development Bank (ADB) dalam Konferensi Asia-Afrika pada 22 April 2015 lalu.

Tidak tanggung-tanggung, pada saat itu Presiden Jokowi menegaskan bahwa penyelesaian persoalan ekonomi dunia hanya dapat diselesaikan oleh IMF, Bank Dunia, dan ADB adalah pandangan yang usang. Mantan Wali Kota Solo tersebut bahkan menyerukan agar negara-negara Asia dan Afrika untuk membangun tatanan ekonomi dunia baru.

Menariknya, tiga bulan berselang, atau tepatnya pada 29 Juni 2015, Indonesia bersama dengan 57 negara lainnya mendirikan Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB). Kendati didirikan oleh banyak negara, dengan Tiongkok yang memiliki 26,6 persen hak suara atau yang tertinggi, mudah untuk menyimpulkan bahwa negeri Tirai Bambu adalah nahkoda dari lembaga baru tersebut. Atas itu pula AIIB banyak dikenal sebagai rival bagi IMF, Bank Dunia, ataupun ADB.

Sejak saat itu, Presiden Jokowi disebut membangun relasi yang tidak umum terlihat dari presiden sebelumnya, yakni mantan Gubernur DKI Jakarta tersebut justru memiliki hubungan yang lebih dekat dengan Tiongkok daripada dengan Amerika Serikat (AS) dan Eropa – negara Barat.

Hal tersebut memang tidak terlepas dari visi besar Presiden Jokowi yang ingin membangun berbagai infrastruktur, yang mana hal tersebut seayun dengan visi One Belt One Road (OBOR) dari Tiongkok.

Akan tetapi, seiring dengan merebaknya virus Corona, yang mana itu disebut-sebut dapat menjadi preseden bagi resesi ekonomi Tiongkok. Indonesia nampaknya telah mengalami “kegamangan” karena investor infrastruktur terbesarnya tengah mendapatkan hempasan hebat.

Atas kondisi tersebut, terdapat dugaan yang menyebutkan bahwa diumumkannya dua warga negara Indonesia (WNI) yang positif terkena virus Corona oleh Presiden Jokowi minggu lalu memiliki motif politik dan ekonomi. Pasalnya, itu bertepatan dengan IMF yang mengumumkan bahwa pihaknya telah menyiapkan dana pinjaman sebesar US$ 50 miliar atau sekitar Rp 705,6 triliun untuk penanganan virus Corona.

Singkat kata, pengumuman tersebut diduga agar pemerintah Indonesia memiliki alasan untuk mendapatkan dana pinjaman dari IMF.

Kendati dugaan tersebut telah dibantah oleh Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP), Ali Mochtar Ngabalin. Dengan kondisi ekonomi Tiongkok yang tengah melemah, tentu menjadi masuk akal apabila berseliweran dugaan yang menyebutkan bahwa Presiden Jokowi tengah menengok kembali IMF selaku “kawan lama” Indonesia, menimbang pada biaya penanganan virus Corona memakan biaya yang cukup menguras keuangan negara.

Lantas, benarkah pengumuman dua kasus virus Corona oleh Presiden Jokowi tersebut bertujuan sebagai “dalih” untuk meminjam dana dari IMF?

Swimmer’s Body Illusion

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, sangat menarik untuk menengok pernyataan tegas Direktur Eksekutif dari Institute Development Economics and Finance (Indef), Tauhid Ahmad terkait desas desus yang menyebutkan bahwa pengumuman kasus virus Corona di Indonesia memiliki hubungan dengan dana pinjaman dari IMF.

Menurutnya, selaku lembaga yang memang menyediakan pinjaman, ada atau tidaknya wabah virus Corona, IMF memang merupakan lembaga yang menyediakan utang bagi negara yang membutuhkan, tak terkecuali Indonesia.

Konteks pernyataan Tauhid tersebut adalah apa yang disebut oleh polimatematikawan sekaligus penulis buku Black Swan, Nassim Nicholas Taleb sebagai swimmer’s body illusion atau ilusi tubuh perenang.

Seperti namanya, konsep tersebut bertolak dari kesalahan yang sering terjadi dalam menilai tubuh perenang. Pertanyaannya adalah, apakah perenang memiliki tubuh yang bagus karena mereka berenang? Atau karena memiliki tubuh yang bagus yang membuat mereka menjadi perenang?

Bagi mereka yang tidak mengetahui tentang olahraga renang, umumnya akan menjawab bahwa berenang akan membuat tubuh menjadi bagus. Padahal, untuk menjadi seorang perenang profesional, tubuh yang bagus jusrtu yang harus terlebih dahulu dimiliki.

Poinnya adalah, di sini Taleb menyimpulkan bahwa kerap kali terjadi kekeliruan dalam menentukan antara sebab dan akibat, atau yang disebut dengan kausalitas yang keliru (false causality).

Kembali pada kasus dugaan pengumuman dua kasus virus Corona dengan dana pinjaman dari IMF, cukup jelas telah terjadi swimmer’s body illusion, atau telah terjadi kekeliruan dalam menentuan mana sebab dan mana akibat.

Seperti yang diungkapkan oleh Tauhid, bukan karena wabah virus Corona yang menyebabkan pemerintah Indonesia katakanlah akan meminjam dana dari IMF, melainkan karena IMF memang merupakan lembaga yang menyediakan pinjaman untuk penanganan wabah tersebut.

Jauh sebelumnya, tepatnya pada tahun 1739, salah satu filsuf epistemologi terbesar asal Skotlandia, David Hume dalam magnum opus atau karya besarnya A Treatise of Human Nature, telah terlebih dahulu mewanti-wanti bahwa manusia memang kerap kali menyimpulkan dua peristiwa yang hanya karena berdekatan sebagai suatu kausalitas.

Apalagi, seperti yang diungkapkan oleh pengamat politik dari Universitas Indonesia, Ade Reza Hariyadi, merujuk pada dimasukkannya Indonesia sebagai negara maju oleh AS, praktis Indonesia tidak termasuk negara berpenghasilan rendah dan menengah yang dapat mengakses pinjaman dari IMF terkait virus Corona.

Memang Tidak Tinggalkan IMF?

Natasha Hamilton-Hart dan Dave McRae dalam tulisannya Indonesia: Balancing the United States and China, Aiming for Independence, menyebutkan kendati Presiden Jokowi disebut menjalin hubungan yang erat dengan Tiongkok, itu sebenarnya hanyalah hubungan pragmatis dalam rangka untuk mendapatkan investor dalam ambisi pembangunan infrastruktur.

Itu misalnya terlihat dari Indonesia yang masih mendapat pinjaman dari Bank Dunia ataupun ADB, kendati telah menerima hujanan dana pinjaman dari Tiongkok ataupun AIIB.

Pada 10 Maret 2017 misalnya, Bank Dunia diketahui menyetujui pinjaman sebesar US$ 100 juta atau sekitar Rp 1,4 triliun untuk penyediaan fasilitas air dan sanitasi, jalan, serta transportasi dalam proyek bernama Regional Infrastructure Development Fund (RIDF). Menariknya, dalam proyek tersebut AIIB juga disebut mengucurkan jumlah pinjaman yang sama.

Pun begitu dengan ADB yang pada 2017 lalu diketahui menggelontorkan dana sebesar US$ 2,034 miliar atau sekitar Rp 29,2 triliun untuk Indonesia.

Singkat kata, kendati tidak meminjam dana dari IMF secara langsung, akan tetapi Indonesia diketahui masih meminjam dana dari lembaga yang berada di klaster yang sama dengan IMF, yakni Bank Dunia dan ADB – yang mana ketiganya disebut sebagai representasi dari AS atau negara Barat.

Kembali pada swimmer’s body illuison, dengan adanya fakta bahwa Indonesia masih memiliki hubungan dengan Bank Dunia dan ADB, itu semakin mempertegas simpulan bahwa bukan karena wabah virus Corona yang akan membuat Indonesia melirik kembali IMF, melainkan karena selama ini hubungan keduanya memang masih terjaga.

Masih terjaganya hubungan tersebut misalnya terlihat jelas dari pemerintah Indonesia yang bahkan rela menggelontorkan dana sebesar Rp 1 triliun dalam menyelenggarakan pertemuan tahunan IMF dan Bank Dunia di Bali pada 2018 lalu.

Konteks prioritas tersebut semakin terasa, menimbang pada saat itu tengah terjadi bencana gempa bumi di Lombok, Nusa Tenggara Barat. Dengan adanya fakta bahwa dana Rp 1 triliun tersebut lebih diprioritaskan untuk penyelenggaraan pertemuan tersebut daripada untuk korban gempa Lombok, itu tentu menunjukkan betapa pentingnya pertemuan tersebut bagi pemerintah Indonesia.

Pada akhirnya, mungkin dapat dipahami bahwa adanya dugaan bahwa pengumuman kasus virus Corona di Indonesia sebagai dalih untuk meminjam dana dari IMF sekiranya merupakan false causality. Akan tetapi, seperti yang diungkapkan oleh berbagai pihak, pemerintah tentu harus memberikan respon yang tepat dan bijak agar dugaan tersebut tidak menjadi “bolar liar” yang dapat memperkeruh situasi politik. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (R53)

► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Exit mobile version