Setelah mengetahui terjadi kerusakan, otoritas Pemerintah Kabupaten Raja Ampat langsung berkomunikasi dengan pihak kapal, yang kemudian berjanji akan bertanggung jawab. Mereka bersedia mengganti kerugian, yang berarti, Indonesia dimungkinkan menuntut secara perdata.
PinterPolitik.com
[dropcap size=big]K[/dropcap]apal pesiar MV Caledonian Sky sudah empat kali melayari perairan Raja Ampat, Provinsi Papua Barat. Kunjungan kempat, membawa 102 wisatawan untuk mengamati burung, kurang mulus lantaran kapal buatan Inggris itu kandas di perairan dangkal. Agar dapat lepas, kapal itu terpaksa ditarik oleh kapal tunda.
Pada saat itulah terjadi perusakan terumbu karang, yang kemudian dipermasalahkan Pemerintah Indonesia. Kerusakan terumbu karang di kawasan wisatawan kesohor itu diperkirakan seluas 13.522 meter persegi, jauh lebih luas dari perkiraan awal 1.600 m2.
Direktur Jenderal Pengendalian Kerusakan dan Pencemaran Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Karliansyah, menyebutkan, informasi bahwa Caledonian Sky sudah empat kali ke perairan Raja Ampat diketahui dari laporan Kepala Syahbandar dan Otoritas Pelabuhan Sorong, Jhonny Rumbu Silalahi.
Berbicara kepada wartawan di atas kapal navigasi KN Kofiau, yang berlabuh di perairan Raja Ampat, Kaliansyah mengatakan, dalam empat kali kedatangan itu nakhoda kapal selalu berbeda-beda.
“Nah, yang terakhir ini, kalau dilihat rutenya, dia menyimpang setengah mil dari titik yang diberikan,” katanya, seperti diberitakan detik.com.
Siap Bertanggung Jawab
Setelah mengetahui terjadi kerusakan, otoritas Pemerintah Kabupaten Raja Ampat langsung berkomunikasi dengan pihak kapal, yang kemudian berjanji akan bertanggung jawab. Mereka bersedia mengganti kerugian, yang berarti, Indonesia dimungkinkan menuntut secara perdata.
“Kita hadir di sini sekali lagi biar tahu persis (keadaan) di lapangan. Kaitannya, persiapan untuk penuntutan ganti rugi. Tentunya data yang kita siapkan, yang kita berikan, harus valid,” katanya.
Tim gabungan dari berbagai instansi, mulai Kemenko Kemaritiman, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Pemerintah Kabupaten Raja Ampat, hingga organisasi konservasi alam dan kelautan, kembali mengecek kerusakan terumbu karang. Rapat-rapat sudah diadakan yang juga dihadiri tim kuasa hukum Caledonian Sky.
Pemerintah menyiapkan tiga tuntutan. Pertama, pihak kapal bisa dikenai unsur pidana sesuai undang-undang. Kedua, pihak kapal bisa dikenai unsur perdata. Ketiga, sanksi administrasi, bisa berupa pencabutan izin. Sistem international maritime jelas, untuk pelanggaran oleh nakhoda bisa dicabut izinnya. Indonesia berhak menutup pelayaran mereka untuk masuk ke wilayah ini.
Mengenai kerusakan terumbu karang, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya, mengatakan, berdasarkan data visual yang dilaporkan kawan-kawan di lapangan, tergolong gawat.
Siti Nurbaya, ketika ditemui di Kompleks Istana Kepresidenan, menunjukkan gambar-gambar terumbu karang yang rusak di telepon genggamnya kepada wartawan.
Menurut Menteri KLH, luas terumbu karang yang rusak mencapai 13.522 meter persegi. Dibutuhkan waktu hingga 20 tahun untuk membuat terumbu karang yang rusak kembali ke keadaan seperti semula. Berdasarkan catatan Pusat Penelitian Sumber Daya Laut Universitas Papua, kawasan terumbu karang yang rusak terdapat di delapan genus (jenis), di antaranya, acropora, porites, montipora, dan stylophora.
Kasus Lain, Pencemaran
Kasus perusakan dan pencemaran laut di perairan Indonesia sering terjadi. Di antaranya, pencemaran laut Timor NTT akibat meledaknya kilang minyak Montara di Blok Atlas Barat Laut Timor, pada 21 Agustus 2009.
Seperti diberitakan, Muh Hatta, koordinator nelayan asal Kelurahan Oesapa, Kecamatan Kelapa Lima, Kota Kupang, Senin (22/8/2016), mengatakan, sepekan setelah kasus ledakan kilang minyak tersebut, dia beberapa kali melihat pesawat milik Australia berwarna merah menyemprotkan cairan di atas Laut Timor.
“Saat itu kami berada di titik koordinat 124 derajat Bujur Timur dan 35 derajat Lintang Selatan di sekitar perairan Kolbano, Kabupaten Timor Tengah Selatan, NTT. Kami melihat pesawat dari Australia menyemprotkan cairan di atas gumpalan minyak di wilayah perairan Kolbano,” katanya.
Ketua Tim Advokasi Petani Rumput Laut NTT, Ferdi Tanoni, mengatakan, Pemerintah Federal Australia harus ikut bertanggung jawab atas kasus pencemaran minyak di Laut Timor itu.
“Australia tidak bisa lepas tangan dalam kasus ini karena sejumlah saksi mata melihat pesawat Australia terbang rendah di atas Laut Timor sambil menyemprotkan cairan di atas gumpalan minyak tersebut,” ucap Ferdi, yang juga Ketua Yayasan Peduli Timor Barat (YPTB).
Berkembangnya industri minyak dunia disusul ramainya lalu lintas tanker yang mengangkut produk-produk minyak dari negara produsen ke berbagai negara mengakibatkan kecelakaan di laut tak bisa dihindarkan. Tumpahan minyak mengapung di atas permukaan laut dan akhirnya terbawa arus ke pantai.
Beberapa contoh kecelakaan kapal di lautan yang menjadi sorotan dunia, kasus Torrey Canyon di lepas pantai Inggris pada 1967, yang mengakibatkan 100.000 burung mati. Kecelakaan Showamaru di Selat Malaka pada 1975 dan kasus Amoco Cadiz di lepas pantai Prancis, pada 1978.
Lainnya, kasus tumpahan minyak yang merusak dan mencemarkan lingkungan di Teluk Meksiko, Louisiana, Amerika Serikat oleh perusahaan minyak Inggris British Petroleum, pada 2010. Dalam kasus tersebut, BP diminta mengganti kerugian atas seluruh kerusakan yang timbul berikut seluruh biaya operasional untuk membersihkan minyak.
Penyebab kecelakaan tanker adalah kebocoran lambung, kandas, ledakan, kebakaran, dan tabrakan. Beberapa kasus di perairan Selat Malaka karena perairan dangkal yang dilewati kapal bermuatan penuh.
Tercatat beberapa kasus kecelakaan besar di dunia, antara lain, pada 19 Juli 1979 tanker Atlantic Empress bocor di perairan Tobago, setelah tabrakan dengan tankerl Aegean Captain di tengah hujan deras, yang menumpahkan minyak 287.000 ton ke laut. Kemudian, kasus terbakarnya kapal Haven pada 1991 di perairan Genoa, Italia, yang menumpahkan minyak 144.000 ton.
Pencemaran minyak di laut membawa dampak luas terhadap hewan dan tumbuh-tumbuhan. Tumpahan minyak berbahaya bagi kehidupan burung laut yang suka berenang di atas permukaan air. Mangrove dan daerah air payau juga rusak. Mikro-organisme yang terkena pencemaran akan segera menghancurkan ikatan organik minyak, sehingga banyak daerah pantai yang terkena ceceran minyak secara berat, dan baru dapat bersih kembali setelah 1 atau 2 tahun.
Memang sumber pencemaran laut tidak hanya tumpahan minyak, tapi juga logam berat (benda padat atau cair). Logam berat, seperti merkuri (Hg), timbal (Pb), arsenik (As), kadmium (Cd), kromium (Cr), seng (Zn), dan nikel (Ni), adalah bentuk materi anorganik yang sering menimbulkan berbagai permasalahan cukup serius di perairan. Penyebab terjadinya pencemaran logam berat di perairan, biasanya berasal dari masukan air yang terkontaminasi oleh limbah buangan industri dan pertambangan.
Ingat tragedi Minamata, dari tahun 1953 sampai 1975, yang menyebabkan banyak warga tewas akibat terpapar merkuri. Ketika itu, salah satu industri kimia menggunakan merkuri khlorida (HgCl2) sebagai katalisator dalam memproduksi acetaldehyde sintesis. Setiap memproduksi satu ton acetaldehyde menghasilkan limbah antara 30-100 gr merkuri dalam bentuk methyl mercury (CH3Hg) yang dibuang ke laut Teluk Minamata.
Pencemaran sampah plastik di laut lepas juga menjadi masalah global. Menurut data, 80 persen sampah di laut adalah plastik, komponen yang terakumulasi sejak akhir Perang Dunia II. Plastik di laut berbahaya untuk satwa liar dan perikanan. Organisme perairan dapat terancam akibat terbelit atau memakan sampah plastik.
Dalam kasus kerusakan terumbu karang, menurut Dr. Nerilie Abrahams dari Universitas Nasional Australia, juga tidak terlepas dari keasaman laut. Jumlah karbon dioksida yang dipompakan ke atmosfer memperburuk keasaman laut. Bahayanya, terumbu karang akan hancur dan larut oleh keasaman laut.
Sebagai negara kepulauan yang diapit oleh dua benua, menjadikan perairan Indonesia sebagai jalur perdagangan dan transportasi antarnegara. Banyak kapal pengangkut minyak dan kargo barang yang melintasi perairan Indonesia, yang menyebabkan negara kita rentan terhadap polusi laut.
Ditambah posisi sebagai penghasil minyak bumi, dan beberapa perairan dan pelabuhan Indonesia dijadikan sebagai terminal bongkar-muat minyak bumi serta lokasi bangunan pengeboran lepas pantai, dapat menambah risiko tercemarnya perairan Indonesia.
Etika Bumi
Membedah kasus perusakan dan pencemaran lingkungan (termasuk perairan laut), ada baiknya kita mengingat akan pandangan filsuf dan pakar mengenai pentingnya menjaga kelestarian ekosistem.
Peter Singer, Profesor Bioetika di Universitas Princeton dan pakar James Rachel menyampaikan pembelaannya akan kepentingan dan kelangsungan hidup semua spesies di bumi, karena sama-sama mempunyai hak hidup yang sama dan pantas mendapatkan perlindungan dan perhatian yang sama.
Peter Singer mendasarkan teorinya pada prinsip moral perlakuan yang sama dalam kepentingan. Perlakuan yang sama dalam relasi antara manusia didasarkan pada pertimbangan bahwa manusia mempunyai kepentingan yang sama.
Aldo Leopold, ilmuwan Amerika yang berpengaruh dan penulis buku terkenal A Sand County Almanac, lebih dari 2 juta kopi terjual sejak dirilis pada 1949, menekankan pentingnya keutuhan ciptaan dan bahwa setiap ciptaan merupakan bagian integral dari komunitas kehidupan.
Bumi dan segala isinya adalah subyek moral yang harus dihargai, tidak hanya alat dan obyek yang bisa dimanfaatkan manusia sesuka hati, karena bumi bernilai pada dirinya sendiri. Teori etika bumi menekankan bahwa keutuhan seluruh makhluk ciptaan tidak bertentangan dengan kepentingan masing-masing ciptaan.
Pengelola Kapal Patut Diapresiasi
Dalam kasus kandasnya Caledonian Sky di perairan Raja Ampat hingga terjadinya kerusakan terumbu karang, kita mengapresiasi kesiapan pihak pengelola kapal untuk bertanggung jawab. Hal itu mengisyaratkan bagi mereka perihal kelestarian lingkungan juga sangat penting.
Sekarang, tinggal bagaimana pemerintah kita mengejar pertanggungjawaban tersebut, sebagai bagian dari kewajibannya untuk memenuhi etika bumi, dalam bentuk yang mungkin sederhana, yakni memberikan ganti rugi untuk memperbaiki kembali kondisi yang rusak ke bentuk semula, supaya tetap dapat dinikmati oleh pihak lain.
Tentu penyelesaian tersebut sesuai koridor hukum, di antaranya, Pasal 98 UU Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Selain itu, Indonesia sudah meratifikasi United Nations Convention On The Law Of The Sea (UNCLOS), yaitu Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Hukum Laut. Pasal 192 UNCLOS menjelaskan “Negara-negara mempunyai kewajiban untuk melindungi dan melestarikan lingkungan laut.” Negara-negara dimaksud aalah yang suah meratifikasi konvensi UNCLOS.
Pada saat yang sama, pemerintah pun, terutama otoritas langsung yang membawahi perairan Raja Ampat hendaknya lebih luas menegakkan peraturan dalam mengelola objek wisata dunia tersebut. Misalnya, tidak sampai membiarkan kapal mana pun untuk memasuki perairan dangkal, yang menjadi habitat bagi keanekaan sumber hayati, termasuk terumbu karang.
Kasus kandasnya kapal pesiar di perairan Raja Ampat mengingatkan kita pada etika bumi, yang sepatutnya pula dipatuhi. Penyelesaian yang sama-sama menyenangkan kedua belah pihak dapat menjadi “patron” dalam menyelesaikan perkara serupa di kemudian hari. (Berbagai sumber/E19)