HomePolitikCacat Normatif Kenaikan Iuran BPJS

Cacat Normatif Kenaikan Iuran BPJS

Oleh Emerald Magma Audha, Emerald Magma Audha, alumnus Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman dengan konsentrasi bidang Hukum Tata Negara

Kecil Besar

Di tengah pandemi virus Corona (Covid-19), pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) memutuskan kebijakan kenaikan terhadap iuran BPJS Kesehatan. Namun, kebijakan ini bisa saja cacat secara normatif.


PinterPolitik.com

Kebijakan pemerintah menaikkan kembali besaran iuran BPJS Kesehatan melalui Perpres 64/2020 — tentang Perubahan Kedua Atas Perpres 82/2018 tentang Jaminan Kesehatan — pada awal Mei lalu, dikritik dan diprotes banyak pihak meskipun tidak sedikit pula muncul dalil pembenaran dari pihak pemerintah. Alasan menaikkan kembali besaran iuran kurang lebih masih sama: mengatasi kondisi defisit keuangan BPJS Kesehatan.

Padahal sebelumnya, Mahkamah Agung (MA) telah menguji dan membatalkan kebijakan serupa pada Perpres 75/2019—tentang Perubahan Atas Perpres 82/2018. Dalam amar Putusan No. 7 P/HUM/2020, MA menyatakan bahwa Pasal 34 ayat (1) dan (2) Perpres 75/2019 (yang menjadi dasar hukum kenaikan iuran BPJS sebelumnya) bertentangan dengan Pasal 2 UU 40/2004 tentang SJSN dan Pasal 2 UU 24/2011 tentang BPJS.

Kabarnya kebijakan tersebut digugat lagi ke MA. Saya mendukung langkah itu. Apabila ditinjau dari segi normatif, saya kira, kehadiran Perpres 64/2020 memang bermasalah. Berikut ini saya akan coba menguraikan beberapa alasan kenapa Perpres 64/2020 bermasalah dan cacat secara normatif.

Pertama. Dari pihak pemerintah mengatakan salah satu alasan lain penerbitan Perpres 64/2020 adalah berkaitan dengan kekosongan hukum akibat putusan MA. Putusan MA memang menyatakan bahwa Pasal 34 ayat (1) dan (2) Perpres 75/2019 tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Konsekuensi yuridis amar putusan tersebut seharusnya bermakna bahwa ketika pasal tersebut menjadi tidak berlaku, secara otomatis membawa akibat hukum (legal effect) pada berlakunya kembali ketentuan pada peraturan sebelumnya.

Itu artinya, tanpa perlu menerbitkan perpres baru sekalipun, ketentuan terkait besaran iuran BPJS Kesehatan semestinya didasarkan kembali pada Pasal 34 Perpres 82/2018. Dengan begitu, pada kasus ini, putusan MA tersebut sama sekali tidak memunculkan kondisi kekosongan hukum.

Kedua. Sebagaimana isi putusan MA, Pasal 34 ayat (1) dan (2) Perpres 75/2019 menjadi batal demi hukum dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Oleh sebab itu, segala akibat hukum yang ditimbulkan oleh ketetapan, kebijakan, dan keputusan (in casu kenaikan iuran BPJS) yang didasarkan pada ketentuan tersebut, dengan sendirinya dianggap tidakpernah ada (ex tunc).

Dengan kalimat lain, besaran iuran BPJS Kesehatan pada per Januari, Februari, Maret 2020, dan seterusnya sampai sebelum diundangkannya Perpres 64/2020, semestinya masih mendasarkan pada ketentuan Perpres 82/2018.

Berkenaan hal pembentukan peraturan perundang-undangan, menurut Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto dalam tulisan mereka yang berjudul Peraturan Perundang-Undangan dan Yurisprudensi, salah satu dari enam asasnya yaitu peraturan perundang-undangan tidak berlaku surut (non-retroaktif).

Namun begitu, materi muatan pada ketentuan Perpres 64/2020 malah berlaku secara surut: terlihat pada kenaikan besaran iuran bulan Januari, Februari, dan Maret 2020 dalam Pasal 34 ayat (7) Perpres 64/2020. Apalagi nominalnya sama persis dengan ketentuan Perpres 75/2019 yang telah diuji secara ex tunc.

Atas dasar itu, ketentuan Perpres 64/2020 bisa dikatakan melanggar salah satu asas peraturan perundang-undangan di atas. Pun pembatalan kenaikan iuran yang diakomodasi Perpres 64/2020—yang nominal iurannya sesuai Perpres 82/2018—hanya berlaku untuk bulan April, Mei, dan Juni 2020.

Ketiga, dalam putusan MA bahwa meski pemerintah telah melakukan penyesuaian dan penyuntikkan dana untuk menutupi defisit BPJS Kesehatan, tetapi nyatanya anggaran BPJS tetap saja defisit. Maka menurut MA, akar masalah dari defisitnya anggaran BPJS: manajemen dan tata kelola BPJS secara keseluruhan.

Dalam Perpres 64/2020, kenaikan besaran iuran secara bertahap yang mulai berlaku per 1 Juli 2020 memang lebih rendah dari Perpres 75/2019. Akan tetapi, substansi materi muatan pada ketentuan Perpres 64/2020 dan Perpres 75/2019 masih tetap sama, yakni menaikkan besaran iuran BPJS Kesehatan. Padahal, substansi putusan MA justru melarang membebankan masyarakat dengan kenaikan iuran.

MA malah berpendapat, terkait kesalahan dan kecurangan (fraud) dalam pengelolaan dan pelaksanaan program jaminan sosial oleh BPJS yang menyebabkan defisit Dana Jaminan Sosial (DJS) Kesehatan, pemerintah harus memperbaiki masalah tersebut tanpa membebankan masyarakat untuk menanggung kerugian tersebut. Apakah pihak pemerintah memang sudah memperbaiki carut marut manajemen dan tata kelola BPJS — sebagaimana dalam putusan MA —sebelum mengundangkan Perpres 64/2020?

Berdasarkan Pasal 28 juncto Pasal 31 UU 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, mengenai perencanaan penyusunan perpres, dalam konteks ini, semestinya mendasarkan pada kebutuhan putusan MA. Akan tetapi di atas, terlihat bahwa substansi Perpres 64/2020 justru menyimpang dari substansi putusan MA yang melarang kenaikan iuran.

Dikutip dari Teori dan Pengujian Peraturan Perundang-Undangan oleh Ni’matul Huda dan R. Nazriyah, dalam ajaran tata urutan peraturan perundang-undangan, menurut Bagir Manan, mengandung beberapa prinsip, salah satunya: isi atau muatan peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh menyimpang atau bertentangan dengan peraturan perundangan-undangan yang lebih tinggi tingkatannya.

Oleh karena UU berada di atas perpres dalam jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan (sesuai konstruksi Pasal 7 UU 12/2011), maka boleh dikatakan keberadaan Perpres 64/2020 turut menyimpangi prinsip tata urutan peraturan perundang-undangan tersebut.

Keempat, pasca-amandemen UUD 1945, sistem ketatanegaraan Indonesia telah menganut doktrin pemisahan kekuasaan (separation of power). Jimly Asshiddiqie, dalam buku Konstitusi dan Konstitusionalime Indonesia, berpandangan kedaulatan rakyat ditentukan dan dibagikan secara horizontal dengan cara memisahkannya (separation of power) menjadi kekuasaan yang dinisbatkan sebagai fungsi lembaga-lembaga negara yang sederajat dan saling mengendalikan satu sama lain berdasarkan prinsip check and balances. Artinya, kedudukan antarcabang kekuasaan baik eksekutif, legislatif, dan yudikatif adalah setara satu sama lain.

Namun demikian, melalui Perpres 64/2020, tindakan pemerintah sebagai pelaku cabang eksekutif malah menyimpangi putusan MA yang sifatnya final dan mengikat. Kondisi tersebut membawa gambaran bahwa pemerintah memosisikan kedudukannya melebihi MA sebagai pelaku kekuasaan kehakiman.

Padahal, menurut buku UUD 1945 dan Gagasan Amandemen Ulang oleh Ni’matul Huda, sistem pemisahan kekuasaan (horizontal) dimaksudkan supaya ada keseimbangan dan saling mengawasi di antara lembaga negara. Maka dari itu, upaya judicial review oleh MA terhadap perpres sebelumnya, seharusnya dimaknai sebagai bentuk kontrol MA terhadap tindakan pemerintah. Dengan begitu, boleh dikatakan jika tindakan pemerintah mengundangkan Perpres 64/2020, merupakan bentuk pengingkaran doktrin pemisahan kekuasaan.

Dari beberapa alasan normatif di atas, maka terdapat pokok substansi putusan MA yang tidak dan belum diakomodasi Perpres 64/2020, pun masih terdapat celah normatif dalam perpres tersebut. Seperti kata Fery Amsari, mematuhi putusan MA tidak cuma soal memasukkannya dalam konsiderans Perpres 64/2020.

Alangkah lebih bijak jika pemerintah terlebih dahulu melakukan upaya-upaya perbaikan sistem BPJS seperti yang digariskan putusan MA, tanpa terburu-buru menaikkan iuran. Maka tidak berlebihan jika banyak yang mengkritik Perpres tersebut layak dicabut.

Tulisan milik Emerald Magma Audha, alumnus Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman dengan konsentrasi bidang Hukum Tata Negara.

“Disclaimer: Opini adalah kiriman dari penulis. Isi opini adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis dan tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi PinterPolitik.com.”

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

spot_imgspot_img

#Trending Article

Return of the Wolf Warrior?

Retorika internasional Tiongkok belakangan mulai menunjukkan perubahan. Kira-kira apa esensi strategis di baliknya? 

Prabowo’s Revolusi Hijau 2.0?

Presiden Prabowo mengatakan bahwa Indonesia akan memimpin revolusi hijau kedua di peluncuran Gerina. Mengapa ini punya makna strategis?

Cak Imin-Zulhas “Gabut Berhadiah”?

Memiliki similaritas sebagai ketua umum partai politik dan menteri koordinator, namun dengan jalan takdir berbeda, Muhaimin Iskandar (Cak Imin) dan Zulkifli Hasan (Zulhas) agaknya menampilkan motivasi baru dalam dinamika politik Indonesia. Walau kiprah dan jabatan mereka dinilai “gabut”, manuver keduanya dinilai akan sangat memengaruhi pasang-surut pemerintahan saat ini, menuju kontestasi elektoral berikutnya.

Indonesia Thugocracy: Republik Para Preman?

Pembangunan pabrik BYD di Subang disebut-sebut terkendala akibat premanisme. Sementara LG “kabur” dari investasinya di Indonesia karena masalah “lingkungan investasi”.

Honey Trapping: Kala Rayuan Jadi Spionase

Sejumlah aplikasi kencan tercatat kerap digunakan untuk kepentingan intelijen. Bagaimana sejarah relasi antara spionase dan hubungan romantis itu sendiri?

Menguak CPNS “Gigi Mundur” Berjemaah

Fenomena undur diri ribuan CPNS karena berbagai alasan menyingkap beberapa intepretasi yang kiranya menjadi catatan krusial bagi pemerintah serta bagi para calon ASN itu sendiri. Mengapa demikian?

It is Gibran Time?

Gibran muncul lewat sebuah video monolog – atau bahasa kekiniannya eksplainer – membahas isu penting yang tengah dihadapi Indonesia: bonus demografi. Isu ini memang penting, namun yang mencuri perhatian publik adalah kemunculan Gibran sendiri yang membawakan narasi yang cukup besar seperti bonus demografi.

Anies-Gibran Perpetual Debate?

Respons dan pengingat kritis Anies Baswedan terhadap konten “bonus demografi” Gibran Rakabuming Raka seolah menguak kembali bahwa terdapat gap di antara mereka dan bagaimana audiens serta pengikut mereka bereaksi satu sama lain. Lalu, akankah gap tersebut terpelihara dan turut membentuk dinamika sosial-politik tanah air ke depan?

More Stories

Kerajaan-Kerajaan Ter-Epic: Dari Majapahit Hingga Dinasti Habsburg

https://youtu.be/1WxhA5Ojve8 Pinterpolitik.com – Dari Majapahit hingga Habsburg, ini adalah beberapa kerajaan yang meraih kejayaan di masanya dan meninggalkan banyak warisan dalam sejarah peradaban manusia. Berikut PinterPolitik merangkum...

Ini Strategi Putin Meraih Stabilisasi?

Oleh: Muhammad Ferdiansyah, Shafanissa Arisanti Prawidya, Yoseph Januar Tedi PinterPolitik.com Dalam dua dekade terakhir, nama Vladimir Putin telah identik dengan perpolitikan di Rusia. Sejak periode awal...

Pesta Demokrasi? Mengkritisi Pandangan Pemilu

Oleh: Noki Dwi Nugroho PinterPolitik.com Sejak kemerdekaannya pada Agustus 1945, pendiri bangsa Indonesia berkonsensus untuk menjadikan wilayah bekas jajahan Kerajaan Belanda yang bernama Hindia Belanda ini...