Mengerucutnya kandidat calon gubernur di Pilgub Jatim yang keduanya berasal dari poros NU, menimbulkan pengharapan akan adanya Pilkada terpuji di Jatim.
PinterPolitik.com
“Lahirnya seorang gubernur yang baik, butuh rakyat yang kritis dan terdidik. Daerah yang maju tak ditentukan gubernurnya, tapi dari mutu warga pemilihnya.” ~ Catatan Najwa.
[dropcap]C[/dropcap]oretan dari Najwa Shihab di atas, seolah menjadi pengharapan bagi seluruh warga Indonesia. Terutama pada beberapa wilayah yang pada Juni mendatang akan menyelenggarakan pemilihan kepala daerah (Pilkada), baik di tingkat gubernur, kabupaten atau kota, maupun desa.
Sebagai konsekuensi dari Pilkada langsung, pemimpin daerah akan ditentukan sendiri oleh masyarakat. Sehingga mutu dari kiprah dan perbuatan kepala daerah tersebut, juga tak lepas dari mutu para pemilihnya. Jakarta misalnya, karena pemilihnya kebanyakan lebih banyak terpicu pada masalah SARA di Pilkada lalu, maka gubernur yang terpilih pun pidato sambutannya ya jadi harus bawa-bawa SARA juga. Benarkan?
Tapi untungnya, cita-cita seseorang di negeri Onta sana untuk meng-copy paste Pilkada Jakarta di Jatim enggak kesampaian. Bagaimana mau bawa SARA kalau kedua kandidat calon gubernurnya dari padepokan yang sama? Sama-sama Hijau dan berbendera Nahdlatul Ulama, belum lagi deretan kiai besar yang ada di belakang keduanya.
Yang menarik dari Pilgub jatim adalah bukan persaingan antar Cagubnya tetapi pertarungan antara Cagub gagal dan Capres gagal.
? ? ? ? ? #Salam_Watashttps://t.co/yJo22M4yy9 pic.twitter.com/5RxjCVNo2I— makLambeTurah (@makLambeTurah) January 12, 2018
Mau membenturkan SARA di Pilgub Jatim? Hebat deh kalau bisa, sebab kedua pasangan yang maju bukan hanya memiliki kekuatan ilmu agama semata tapi juga keilmuan akademis lainnya yang meyakinkan. Daripada sibuk nyari-nyari kesalahan atau keaiban lawan, mending saling puji akan kelebihan yang dimiliki masing-masing.
Sebelum kampanye di mulai, saling memuji bukanlah larangan. Malah melalui pujian itu, masing-masing pasangan bisa saling menilai dan mengetahui kelebihan serta kelemahannya masing-masing. Gus Ipul misalnya, sebagai petahana karena sudah dua kali menjabat sebagai wakil gubernur Jatim, tentu memiliki pengalaman dan pengetahuan yang lebih luas dibanding Khofifah.
Begitu pun kubu Khofifah, walaupun dua kali selalu kalah oleh Gus Ipul, namun kali ini ia didampingi oleh Emil Dardak. Meski masih berusia 32 tahun, namun ia sudah menggondol sekian banyak gelar akademis, bahkan sampai doktoral. Kemampuannya dibidang pengembangan wilayah pun dianggap mumpuni.
Dengan kualitas calon gubernur yang dimiliki Jatim, kini sekarang tinggal tergantung dari masyarakatnya. Karena percuma memiliki calon pemimpin yang cerdas, bila masyarakatnya juga tidak berlaku cerdas. Jadi mungkinkah Pilkada Jatim nantinya akan menjadi Pilkada terpuji yang patut dicontoh wilayah lain? (R24)