Belum selesai kegeraman Presidium Alumni 212 atas kasus La Nyalla, kini muncul ‘geng’ baru bernama Garda 212 yang konon lebih menjanjikan bagi para alumnus 212 yang ingin terjun ke politik. Massa 212 diperebutkan?
PinterPolitik.com
“Sebagai negara hukum, semua harus berjalan atas hukum, bukan atas dasar pemaksaan kehendak, apalagi dengan menggunakan kekuatan massa.” ~ Jokowi.
[dropcap]D[/dropcap]i tahun politik, seperti 2018 ini, para pencari kekuasaan mulai berkeliaran. Mereka bergerilya mencari dukungan. Segala cara pun dimainkan, ada yang main uang, main koneksi, dan tak sedikit pula yang main dukungan. Pokoknya semua yang bisa dimainkan akan dilakukan.
Salah satu yang ikut bermain-main, ternyata para pemimpin yang mengatasnamakan massa Bela Islam 212. Mainnya enggak tanggung-tanggung, udah dilevel gubernur dengan jumlah penduduk ketiga terbesar di Indonesia. Tapi sayangnya, tokoh ini ternyata ditolak para partai politik yang sebelumnya “mengelus-elus” mereka.
Gara-gara enggak diajak main ini, si tokoh ini pun ngambek berat. Pokoknya yang jelek-jelek dikeluarin semua. Mungkin ia berpikir, kalau orang-orang dikasih tau kejelekan pemimpin partai itu, nama baiknya akan tercoreng moreng dan dijauhi orang-orang. Sayangnya, ternyata ia salah.
Ada presidium 212, Garda 212, Alumni 212, Partai 212, Alumni 212 Garis lurus, Alumni 212 Garis bengkok, dll.
Meski banyak aliran, mereka tetap saudara seperguruan Wiro Sableng 212 murid eyang Sinto Gendheng.— SETYAKu (@Falahfajar) January 14, 2018
Sebab baru beberapa hari ‘musuhan’, ternyata mainan miliknya direbut orang. Dengan menggunakan nama Garda 212, massa umat Muslim yang tergabung dalam Alumnus 212 diambilalih temannya sendiri. Plus pake iming-iming akan diajak main di Pilkada Serentak lagi. Tentu saja si tokoh ini jadi makin keki, dia aja ditolak kok malah ditawarin ke orang lain? Hmmm.
Tapi yang jadi pertanyaan, si tokoh maupun temannya kok percaya diri banget sih, kalau ia punya massa jutaan orang yang akan ngintilin semua yang mereka katakan? Apakah para alumnus itu sudah di sumpah setia atau bagaimana? Mungkinkah jutaan orang yang turun di aksi Bela Islam 212 lalu akan setuju bila mereka berkuasa? Segitu gampangnya kah?
Aksi Bela Islam 212 lalu bukankah terjadi akibat adanya solidaritas keagamaan yang ada saat itu? Massa yang terkumpul tentu tidak terikat oleh ikatan politis dengan tokoh ataupun partai tertentu, tapi mengapa mereka begitu yakin kalau massa itu adalah massa ‘milik’ mereka? Ataukah mereka hanya terbuai dengan jumlah massa yang semu, percaya kalau mereka mampu menggerakkannya demi alasan politis semata? Bagaimana menurutmu? (R24)