Site icon PinterPolitik.com

Beraninya Ia Mengancamku!

Beraninya Ia Mengancamku!

KDRT bukan hanya terkait pada tindakan kekerasan fisik saja, tapi juga kekerasan psikis – termasuk hinaan hingga ancaman pada pasangannya.


PinterPolitik.com

[dropcap]H[/dropcap]idup di metropolitan layaknya Jakarta, bukan berarti kita bebas dari segala kasak kusuk para tetangga. Apalagi di perkampungan kumuh tempat aku dan keluargaku tinggal sejak berpuluh-puluh tahun yang lalu.

Sebagai anak pertama perempuan satu-satunya dari tiga bersaudara, melajang di usia di atas 35 tahun adalah pertanyaan yang akan selalu rutin ditanyakan oleh keluarga dan juga para ibu di sepanjang gang.

Hingga akhirnya, ibuku sudah tidak tahan lagi dan mengancam akan menjodohkan aku dengan lelaki pilihannya bila tidak juga segera menikah. Ya, ibuku yang dulu selalu meminta aku untuk tidak pacaran sebelum mandiri. Sekarang, setelah aku sudah mulai memiliki penghasilan sendiri, malah mengancam yang sebaliknya. Sedih rasanya.

Akhirnya, aku pun bertemu seorang pria yang menawan. Pria yang aku rasa cukup dewasa dan menyenangkan untuk diajak bicara. Gosip pun mulai beredar, ada yang menyuruh segera menikah, namun teman-temanku malah mencegah.

Atas saran ibu, kami pun menikah dan aku diboyong ke rumah kontrakannya. Selama ini, suamiku tidak pernah benar-benar menjelaskan apa sebenarnya profesi dirinya. Ia hanya berkata bekerja di sebuah perusahaan milik orang Korea.

Awalnya, aku tidak keberatan kalau ia tidak mau bercerita tentang pekerjaan sebenarnya. Karena selama ini, segala perkataannya memperlihatkan kalau dirinya begitu cerdas dan berwawasan luas.

Namun setelah beberapa bulan berjalan, aku menemukan kalau suamiku itu ternyata selama ini hanyalah seorang pekerja sales lepasan. Bahkan jelang usia setahun pernikahan kami, ia lebih banyak berada di rumah atau keluyuran tak jelas kemana perginya.

Kini setelah lima tahun menikah dan punya seorang anak, suamiku tetap enggan bekerja. Mungkin karena ia menganggap, gajiku lebih dari cukup untuk menghidupi kami. Tak jarang, ia pun meminta uang dengan alasan modal kerja dan bermacam lainnya. Tapi hasilnya? Tidak ada, habis sia-sia.

Terus terang, aku sudan jengkel dengan kelakuannya. Apalagi, kini ia jadi berani memaki dan menghina diriku. Selalu marah kalau aku pulang agak malam, kecemburuannya meledak dan tak jarang kata-katanya pun semakin tajam. Ia jadi mudah mencaci, merendahkan, bahkan meludahi.

Memang, ia tak pernah ringan tangan. Namun kalau kecemburuan atau kemarahannya datang, ia kerap menghancurkan barang-barang dan mengancam akan membunuhku dengan pisau ditangannya. Tak jarang, para tetangga sampai datang untuk membantu menenangkannya, sementara aku hanya bisa meringkuk di pojokan dengan si kecil yang gemetar dipelukan.

Inikah yang pernah dikhawatirkan teman-temanku dulu? Mereka bahkan langsung segera pulang ketika suamiku datang. Ternyata, dulu, suamiku memang dikenal lelaki pengangguran yang banyak gaya. Apakah dulu aku sudah begitu putus asanya menanggapi ancaman menikah dari keluarga?

Sepulang kerja, akhirnya aku memberanikan diri datang ke sebuah lembaga khusus yang menangani KDRT. Sebagai perempuan berpendidikan, tentu aku tahu KDRT, namun rasanya tak percaya kalau akhirnya aku akan menjadi salah satu korbannya. Dengan bantuan mereka, kini aku sudah bisa bernapas lega.

Melalui mediasi, aku pun melaporkan kekerasan psikis yang aku terima dari suami. Karena selama bertahun-tahun aku dan anakku tidak dinafkahi, permohonan ceraiku pun dikabulkan orangtua dan juga majelis hakim. Kini walau tidak bersuami, aku merasa jauh lebih bahagia. Bagi para istri di luar sana, mari mulai membuka mata. Kekerasan bukan hanya masalah fisik semata, tapi kekerasan psikis pun tak boleh ada. (R24)

Exit mobile version