Site icon PinterPolitik.com

Benny Tjokro, “Kambing Hitam” Jiwasraya?

Tersangka kasus Jiwasraya, Benny Tjokrosaputro

Tersangka kasus Jiwasraya, Benny Tjokrosaputro (Foto: Indopolitika)

Setelah kasus Jiwasraya bergulir ke hadapan publik, Benny Tjokrosaputro (Bentjok) kemudian ditetapkan sebagai tersangka utama dalam kasus tersebut. Akan tetapi, belakangan terdapat dugaan bahwa Benny Tjokro sebetulnya hanya dijadikan sebagai “kambing hitam” dalam kasus yang disinyalir memiliki pertautan dengan Pemilu 2019 tersebut.


PinterPolitik.com

Sedari awal, memang terdapat kecurigaan tersendiri dari berbagai pihak terkait kasus perusahaan asuransi pelat merah Jiwasraya. Mantan Sekretaris Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Muhammad Said Didu misalnya, menyebut terdapat dugaan bahwa Jiwasraya telah mengalami perampokan oleh pihak tertentu.

Tidak hanya diisukan telah dirampok, berbagai pihak, seperti Wakil Ketua Umum Partai Gerindra, Arief Poyuono, bahkan menyebutkan bahwa Jiwasraya telah dirampok untuk mendanai kampanye Pemilu 2019 lalu.

Pernyataan Arief Poyuono tersebut kemudian semakin runcing dengan keluarnya pernyataan resmi dari Ketua Umum Partai Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang menyebutkan bahwa dugaan dana dari Jiwasraya diperuntukkan untuk pendanaan kampanye Pemilu 2019 harus ditindaklanjuti dan dibuka sebesar-besarnya ke hadapan publik.

Konteks pernyataan SBY tentu sangat menarik, menimbang pada sosoknya sebagai mantan Presiden yang berkuasa selama sepuluh tahun, tentu memahami persoalan intrik politik semacam itu.

Menariknya, berbagai dugaan bahwa Jiwasraya telah dirampok sepertinya mendapatkan pembenarannya. Bagaimana tidak, dalam keterangan terbaru Kejaksaan Agung (Kejagung) selaku pihak yang menangani kasus tersebut, telah disebutkan bahwa kasus gagal bayar Jiwasraya telah direncanakan sejak awal – dikutip dari koran Rakyat Merdeka.

Direktur Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus), Febrie Adriansyah bahkan menyebutkan bahwa kondisi transaksi saham di Jiwasraya memang didesain untuk merugi. Simpulan tersebut misalnya dibuktikan Febrie dengan mencontohkan beberapa saham yang dibeli Jiwasraya dengan harga tinggi justru nilai sahamnya kemudian jatuh.

IG POTRAIT SIZE SQUARE

Merujuk pada hal tersebut, pada titik ini menjadi masuk akal dugaan pengacara tersangka kasus Jiwasraya Benny Tjokrosaputro, Muchtar Arifin bahwa kliennya telah dijadikan ”kambing hitam” dalam kasus tersebut.

Menurutnya, terdapat indikasi bahwa pihak tertentu ingin menutupi kerugian negara pada kasus Jiwasraya dengan menggunakan aset kliennya – yang mana berbagai aset Benny Tjokro telah disita sampai saat ini. Masalahnya adalah Benny Tjokro bukanlah satu-satunya emiten Jiwasraya.

Konteksnya bukan pada persoalan bahwa mantan Komisaris PT Hanson International Tbk tersebut tidak bersalah, melainkan pada persoalan bahwa Benny Tjokro telah dilimpahkan persoalan yang melebihi tanggung jawabnya.

Tidak hanya terhadap Benny Tjokro, tersangka utama lainnya, yakni Heru Hidayat juga disinyalir mengalami hal serupa. Itu misalnya terlihat dari Kejagung yang  menyerahkan PT Gunung Bara Utama, yang merupakan tambang batu bara yang dimilikinya di kawasan Kutai, Kalimantan Timur untuk dititipkan pengelolaannya kepada BUMN.

Tentu pertanyaannya, benarkah terdapat upaya dalam menjadikan tersangka utama Jiwasraya, Benny Tjokro sebagai kambing hitam dalam kasus kerugian perusahaan asuransi lokal terbesar di Indonesia tersebut?

Memahami Jiwasraya Lewat Hermeneutika Gadamerian

Pada konteks adanya dua pemaknaan terhadap kasus Jiwasraya, yang mana di satu sisi dipahami sebagai suatu kesalahan investasi atau murni bisnis, sementara di sisi lain dipahami sebagai suatu kejahatan politik, dapat dipahami melalui pisau analisis yang disebut sebagai Hermeneutika Gadamerian.

Secara sederhana, hermeneutika dapat dipahami sebagai suatu metode interpretasi atas teks. Akan tetapi, seiring dengan perkembangannya, hermeneutika juga dikembangkan untuk menganalisis fenomena sosial-budaya karena dinilai dapat dikonfigurasi dalam bentuk teks.

Hermeneutika Gadamerian sendiri adalah metode interpretasi yang dikembangkan oleh filsuf Jerman, Hans-Georg Gadamer yang menyebut bahwa suatu teks atau fenomena (objek) tidak dapat dipahami melalui sudut pandang tunggal.

Menurutnya, suatu hasil pemahaman yang disebutnya “fusi” diperoleh melalui peleburan “horizon teks” – pemaknaan umum tentang objek yang dikaji – dengan “horizon pembaca” – pemaknaan dari sang interpreter tentang objek.

Hasilnya, Hermeneutika Gadamerian menghasilkan pemahaman yang selalu melahirkan kebaruan (novelty) karena dinilai tidak terdapat suatu pemahaman yang bersifat final – anti-finalitas.

Pada kasus Jiwasraya, dapat dilihat dua horizon, yakni horizon teks atau pemaknaan umum terkait kasus tersebut, dan horizon pembaca, yakni pemaknaan interpreter tentang kasus tersebut.

Pada horizon teks, dapat dimaknai bahwa kasus Jiwasraya merupakan suatu kesalahan bisnis karena banyak berinvestasi di saham-saham berisiko. Akan tetapi, pada horizon pembaca justru dilihat bahwa kasus tersebut memiliki dimensi politik yang kental karena diduga dananya dibobol untuk kepentingan Pemilu 2019.

Menggunakan Hermeneutika Gadamerian, kedua horizon tersebut sebenarnya tidak bertentangan, melainkan justru saling melengkapi satu sama lain.

Penghubung utama antar kedua horizon tersebut adalah pernyataan Direktur Penyidikan pada Jampidsus, Febrie Adriansyah yang menyebutkan bahwa kondisi transaksi saham di Jiwasraya memang didesain untuk merugi.

Dengan demikian, dapat ditarik pemahaman atau fusi bahwa pihak tertentu yang disebut sebagai aktor intelektual dalam kasus tersebut, sengaja berinvestasi di saham milik Benny Tjokro yang memang diketahui memiliki rekam jejak sebagai pelaku manipulasi pasar atau penggorengan saham.

Kasus tersebut misalnya terjadi pada tahun 1997 ketika Benny Tjokro melakukan praktik manipulasi pasar, yang mana ia melakukan transaksi fiktif dalam saham PT Bank Pikko.

Tidak tanggung-tanggung, ia bertransaksi dengan menggunakan 13 nama yang berbeda. Akan tetapi, saat itu Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) justru hanya memberi sanksi pengembalian dana keuntungan dari transaksi PT Bank Pikko sebesar Rp 1 miliar kepada negara.

Artinya, seperti yang diungkapkan oleh Febrie, kasus Jiwasraya memang telah didesain untuk merugi di kemudian hari. Dengan adanya Benny Tjokro, itu akan menjadi “alibi” yang bagus bagi aktor intelektual tersebut untuk menyebutkan bahwa dibobolnya Jiwasraya adalah kasus kesalahan investasi.

Akan tetapi, perlu untuk digarisbawahi bahwa fusi yang terbentuk dari Hermeneutika Gadamerian tidak dipahami sebagai suatu pemahaman yang niscaya, melainkan sebagai suatu interpretasi semata.

Terjadi State Crime?

Terlepas dari benar tidaknya Benny Tjokro adalah kambing hitam dalam kasus Jiwasraya, publik tentu punya penilaian yang berbeda-beda. Namun, jika hal tersebut memang benar terjadi, maka kita dapat memahami fenomena tersebut sebagai suatu state crime, yakni suatu kejahatan atau aktivitas ilegal yang dilakukan oleh negara, atau dengan keterlibatan lembaga negara.

Dengan demikian, seperti yang diungkapkan oleh pengacara Benny Tjokro, Muchtar Arifin, ini adalah skenario yang dilakukan oleh pihak-pihak yang memiliki kekuatan besar. Kendati tidak secara spesifik menyebut siapa pihak yang dimaksud, tentu mudah untuk menyimpulkan bahwa pihak tersebut mestilah memiliki pengaruh politik yang kuat, yang mana pasti memiliki pertalian dengan lembaga negara.

Konteks serupa sepertinya dapat direfleksikan dalam kasus mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Antasari Azhar, yang diduga telah dijebak dalam rekayasa kasus pembunuhan Direktur Utama PT Putra Rajawali Banjaran, Nasrudin Zulkarnaen pada 2009 lalu. Kasus itu sendiri telah membuat Antasari Azhar mendekam di penjara dalam waktu yang cukup lama.

Apapun itu, benar tidaknya Benny Tjokro telah menjadi kambing hitam dalam kasus Jiwasraya, yang jelas negara harus hadir dalam penyelesaian kasus yang telah merugikan ribuan nasabah tersebut.

Seperti halnya yang diungkapkan oleh filsuf Inggris, John Locke, bahwasanya salah satu alasan keberadaan negara adalah untuk melindungi properti dari warga negaranya, yang dalam konteks ini adalah uang para nasabah. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (R53)

► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Exit mobile version