Kebakaran hutan dan lahan di Australia sampai sekarang belum bisa dihentikan. Menariknya, sebagian pihak mengaitkan bencana paling mematikan itu sebagai akibat dari sikap abai pemerintah Australia. Jika ditarik lebih jauh, kasus serupa juga dialami di Indonesia. Bahwa kesamaan antara pemerintah Australia dan Indonesia adalah kedua negara belum punya komitmen untuk mendorong sistem mitigasi bencana yang baik.
PinterPolitik.com
Kebakaran yang terjadi di Australia beberapa bulan terakhir disebut yang paling terparah sepanjang sejarah. Beberapa bahkan menyebut bencana tersebut belum pernah terjadi sebelumnya.
Luas kebakaran mencapai 5,8 juta hektar. Sebanyak 25 warga tewas akibat kebakaran, ditambah 1200 rumah hancur total termasuk 2 rumah milik warga Indonesia. Tidak hanya itu, ratusan juta satwa liar juga diperkirakan musnah.
Sampai sekarang kebakaran terus merambat dengan cukup cepat ke sejumlah titik seiring kencangnya tiupan angin. Disebutkan, lebih dari 110 kebakaran masih menyala di New South Wales dan Queensland. Sementara di Australia bagian selatan terdapat lebih dari 40 kebakaran melanda kawasan itu. Bahkan, kota terbesar di wilayah itu, Adelaide sampai sekarang masih diselimuti kabut asap.
Selain itu, di negara bagian Victoria terdapat lebih dari 800.000 hektar wilayah yang turut terbakar. Kondisi terburuk juga terjadi di ibu kota negara Australia, Canberra, di mana asap kebakaran membuat kualitas udara menjadi yang terburuk ketiga dari semua kota besar di dunia.
Menyaksikan kebakaran yang tak lazim itu, banyak pihak mencoba mengaitkan fenomena alam tersebut dengan beragam argumen. Ada yang menyebutnya sebagai dampak dari perubahan iklim global, sementara yang lainnya menyangkutpautkannya dengan kebijakan Perdana Menteri Australia, Scott Morrison yang kurang tanggap terhadap potensi bencana itu sendiri.
Morrison konon telah diperingatkan berulang kali oleh kepala pemadam kebakaran Australia tentang akan terjadinya kebakaran hutan dalam skala luas. Peringatan itu telah disampaikan pada April 2019 lalu, sebelum kebakaran paling mengerikan itu benar-benar terjadi. Sayangnya, Morison disebut berulang kali menolak peringatan dini tersebut.
Belakangan baru disadari pemerintah Australia, kalau ternyata peringatan itu benar-benar terjadi. Ibarat “nasi sudah jadi bubur”, tak banyak yang dapat dilakukan selain mencari cara untuk memadamkan kobaran api yang menyambar dengan cukup cepat.
Muncul pertanyaan, apa yang menjadi penyebab kebakaran di Australia sehingga terjadi begitu parah? Kemudian apa yang bisa ditarik dari fenomena tersebut dalam kaitannya dengan kebijakan mitigasi bencana di Indonesia?
Silang Pendapat Seputar Penyebab Kebakaran
Usai kejadian itu, banyak pihak turut mengutarakan pendapatnya, mulai dari pakar kebakaran hutan, kritikus lingkungan, akademisi hingga politisi. Masing-masing berpegang teguh pada argumennya dan tak jarang terlibat debat kusir.
Namun, yang menarik di antara seliweran pendapat, pandangan kubu yang melihat kebakaran hutan dan lahan di Australia sebagai dampak atau kaitan dengan fenomena perubahan iklim global banyak mendapat sambutan luas.
Sebut saja pandangan Paul Krugman dalam Apocalypse Becomes the New Normal, yang menyebut ada keterkaitan antara kebakaran hutan di Australia dengan perubahan iklim yang bedampak pada perubahan cuaca. Hal itu menjadi pemicu terjadinya kebakaran hutan di Australia.
Anggapan serupa juga ditemukan dalam tulisan Spencer Bokat-Lindell, The Crucial Lessons from Australia’s Wildfires. Ia menyebut kebakaran di Australia termasuk sesuatu yang lumrah.
Tak hanya itu, ia bahkan menunjukkan ada kemiripan gejala kebakaran di Australia dengan yang terjadi di California, Amerika Serikat. Bahwa kedua negara memang secara alamiah memiliki potensi terjadi kebakaran. Namun, perubahan iklim global merupakan faktor penting di balik kebakaran tersebut.
Gugus pandangan serupa diperkuat oleh temuan American Meteorological Society (AMS) yang merilis laporan terkait gas rumah kaca yang dilepas ke atmosfer Bumi yang mencapai rekor tertinggi pada 2018. Imbasnya, pemanasan global meningkat 43 persen lebih tinggi dibandingkan pada 1990.
Laporan tersebut juga mengungkapkan sejumlah penemuan penting, yakni tahun 2018 sebagai tahun terpanas. Kebakaran di Australia karenanya berkaitan erat dengan efek perubahan iklim tersebut.
Kendati demikian, seperti dilansir The Guardian, Morrison disebut-sebut paling bertanggung jawab lantaran sikap penolakannya selama ini terhadap peringatan bahaya perubahan iklim. Morrison dinilai gagal mendorong kebijakan iklim yang berdampak terhadap kebakaran.
Namun, ia selalu berkilah bahwa upaya pencegahan telah ia lakukan sebelumnya. Morrison misalnya, mengatakan kebijakan iklim yang ditelurkan pada masa pemerintahannya telah mengalahkan target pengurangan emisi hingga mencapai 50 juta ton lebih. Angka tersebut diklaim yang paling tertinggi bahkan melampaui apa yang pernah dicapai pemerintah sebelum-sebelumya.
Lantas, jika komitmen terhadap pengurangan emisi untuk menjaga kestabilan iklim global telah dilakukan pemerintah Australia, mengapa realitasnya justru bertolak belakang?
Artinya, langkah pemerintah Australia, jika mengacu pada pendapat Morrison sebetulnya sudah tepat. Dengan begitu, argumen yang menyebut pemerintah tidak berkomitmen mendorong kebijakan iklim, sehingga memicu kebakaran dahsyat di Australia mestinya terpatahkan.
Pendapat lain yang tak kalah menarik menyebut akar penyebab kebakaran tersebut bukan disebabkan oleh perubahan iklim, melainkan sebuah konspirasi oleh para pencinta lingkungan yang bermaksud “mengunci” taman nasional dan mencegah dari bahaya kebakaran melalui kegiatan pengurangan atau pencegahan bahaya (hazard reduction).
Kegiatan tersebut meliputi pengelolaan “bahan-bahan yang mudah terbakar” dan dapat dilakukan melalui pembakaran yang ditentukan. Kegiatan tersebut kerap dikenal sebagai metode pembakaran terkendali, yakni untuk menghilangkan pohon dan vegetasi, baik yang mati maupun yang masih hidup. Hal itu dimaksudkan untuk mencegah terjadinya kebakaran skala besar.
Metode hazard reduction umumnya dilakukan oleh pihak otoritas kebakaran ataupun staf taman nasional dan pemilik properti individu yang mengajukan izin untuk membersihkan area di sekitar bangunan mereka. Koordinasi kegiatan biasanya melalui komite manajemen kebakaran hutan setempat.
Namun, lagi-lagi pendapat tersebut dikritik karena dianggap tidak masuk akal. Kritik misalnya dilayangkan oleh Direktur Pusat Penelitian Kebakaran University of Tasmania, David Bowman, yang menilai mengaitkan kebakaran dengan isu hazard reduction hanyalah retorika politik yang malas.
Rendahnya Political Will Pemimpin?
Lepas dari silang kelindan pendapat yang ada, terdapat fakta menarik yang mesti dijadikan pembelajaran bagi para pengambil kebijakan (policy maker). Bahwa kebakaran di Australia sebagian besar merupakan bukti kelalaian pemerintah dalam menyediakan sistem mitigasi bencana yang baik.
Ketidakseriusan pemerintah Australia mempersiapkan sistem mitigasi bencana (kebakaran) yang baik terkonfirmasi lewat penggunaan teknologi deteksi kebakaran di negara Kanguru itu yang masih tergolong kuno.
Sebagai contoh, masyarakat di Australia sampai sekarang masih mengandalkan teknologi detektor asap sebagai alarm kebakaran yang dipasang di rumah-rumah warga. Padahal, teknologi tersebut dianggap paling banyak menelan korban dan pemerintah Australia diminta untuk bertanggung jawab atas kejadian tersebut.
Seperti dinyatakan pemadam kebakaran senior asal Amerika Serikat (AS), bahwa sejumlah alarm kebakaran yang mengandalkan detektor asap, tak lagi dianggap relevan dewasa ini. Dan jika terus digunakan tanpa adanya perbaruan teknologi, penggunaan alarm tersebut berisiko menelan lebih banyak korban dalam skenario situasi kebakaran.
Sebagai ganti, di AS telah diperkenalkan teknologi alarm kebakaran baru yang lebih mutakhir. Teknologi baru itu dinamai alarm fotoelektrik. Kini hampir sebagian besar rumah-rumah di AS menggunakan alat tersebut.
Lalu, apa yang bisa ditarik dari pengalaman Australia menangani masalah kebakaran untuk konteks penanganan bencana di Indonesia?
Bahwa dari sekian banyak hal yang bisa dikaji dari insiden terburuk itu, faktor kesadaran politik (political will) pemerintah dalam menyiapkan manajemen bencana yang baik menjadi poin penting untuk dipertegas.
Kurangnya persiapan dini mencegah terjadinya bencana alam oleh pemerintah Australia persis seperti yang kini dialami di Indonesia. Kedua negara sama-sama tidak memiliki kemauan politik dalam hal manajemen risiko atau penguatan sistem mitigasi bencana.
Jika Australia adalah negara dengan riwayat kebakaran hutan sepanjang sejarah, maka Indonesia memiliki riwayat banjir yang kerap menimbulkan banyak korban jiwa. Namun, pengalaman buruk itu tidak pernah menjadikan para pemimpin sadar dan mau belajar.
Sikap abai itu membuat banyak nyawa melayang lantaran bencana serupa kerap datang melanda. Andai saja para pemimpin kita memiliki manajemen bencana alam yang baik, tidak akan banyak korban berjatuhan sehingga banyak nyawa terselamatkan.
Bencana banjir yang baru-baru ini melanda ibu kota Jakarta, Jawa Barat dan Banten yang menelan korban jiwa hingga 67 orang adalah bukti nyata betapa rendahnya political will pemerintah dalam memperkuat sistem mitigasi bencana.
Nick Carter dalam Disaster Manajement mengatakan, kepemimpinan merupakan aspek paling penting dalam penanganan mitigasi bencana. Singkatnya, political will pemimpin sangat menentukan baik buruknya pencegahan dini terhadap bencana alam.
Pemimpin yang punya kemauan keras tentu akan menyiapkan sistem pencegahan dini yang baik dalam menyiasati terjadinya bencana. Sebaliknya, pemimpin yang tidak punya kepekaan terhadap bencana akan selalu menggadaikan nyawa warganya demi menebus kesalahannya.
Bencana kebakaran hutan yang terjadi di Australia dan banjir yang melanda wilayah Jakarta, Jawa Barat dan Banten, harusnya menjadi refleksi bersama bahwa kemauan politik penguasa juga menjadi penentu bagi hidup atau matinya warga dari terpaan bencana alam. (H57)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.