Site icon PinterPolitik.com

Asa KPU Larang Koruptor Berlaga

KPU wacanakan koruptor tidak bisa ikut Pemilu

KPU kembali wacanakan koruptor dilarang ikut Pilkada 2020 (Foto:RMOL)

Mantan koruptor tampaknya akan kembali terancam setelah Komisi Pemilihan Umum (KPU) kembali mewacanakan akan dilarangnya keikutsertaan mereka dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020. Akan tetapi, melihat realitas sebelumnya tampaknya akan sulit bagi KPU untuk mendorong terealisasi nya kebijakan tersebut. Sebenarnya, seberapa mendesakkah aturan ini dibuat? Lalu, apakah langkah KPU ini akan berakhir sama seperti sebelumnya?


PinterPolitik.com

KPU tampaknya sangat bersikeras mengenai aturan pelarangan mantan narapidana (napi) kasus korupsi untuk ikut serta dalam pemilihan kepala daerah (Pilkada). Hal ini ditunjukkan dengan desakan kuat dari KPU untuk terus mendorong diakomodasinya kebijakan ini dalam sistem pemilu Indonesia.

Baru-baru ini, KPU melalui ketuanya Arief Budiman kembali mewacanakan hal tersebut. KPU bahkan langsung bertemu Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk membahas aturan tersebut.

Upaya KPU tersebut tampaknya harus kembali melalui jalan yang sulit dan terjal. Pasalnya, pada Pemilu 2019 lalu, KPU telah mengeluarkan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 20 Tahun 2018 tentang pelarangan keikutsertaan mantan koruptor dalam pemilu.

Akan tetapi, aturan tersebut akhirnya harus kandas di Mahmakah Agung setelah Wa Ode Nurayati Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Hanura Sulawesi Tenggara mengajukan gugatan dan dikabulkan.

Permasalahan di atas tampaknya menjadi isu sentral yang selama ini digaungkan oleh KPU namun selalu terbentur dengan berbagai kepentingan politik yang ada di negeri ini.

Lingkaran Setan?

Kembali ditangkapnya Bupati Kudus, Muhammad Tamzil oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali mencuatkan isu ini. Bupati Kudus sebelumnya juga merupakan mantan napi korupsi pada 2003-2008 dan kemudian terpilih lagi.

Ditolaknya PKPU Nomor 20 Tahun 2018 yang ramai digaungkan oleh para politisi, dengan dalih koruptor yang telah dihukum sudah bertobat dan harus mendapatkan kembali hak politiknya tampaknya terbantahkan dengan kasus tersebut.

Ibarat sebuah lingkaran setan, keikutsertaan eks koruptor akan terus terjadi jika memang tidak ada regulasi yang mengaturnya.

Pemilu di Indonesia merupakan hal yang menarik, di mana mantan terpidana koruptor masih memiliki peluang dengan tingkat elektabilitas yang tinggi di masyarakat.

Hal diatas dapat didasari pada penelitian Lembaga Survei Indonesia (LSI). Menurut LSI, 27 % masyarakat di daerah yang minim pendidikan memaklumi tindakan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Sikap permisif di atas tentu dapat membantu mantan napi korupsi terpilih kembali menjadi kepala daerah.

Terlebih lagi, dalam Pilkada 2020 mendatang mayoritas daerah yang menjadi peserta pilkada merupakan daerah yang memiliki indeks pembangunan manusia (IPM) yang rendah seperti provinsi Kalimantan Barat, Sulawesi Barat, Nusa Tenggata Timur dan Papua.

Kondisi demografi masyarakat seperti di atas ditambah dengan kurangnya komitmen negara dalam melakukan pencegahan tentu akan menimbulkan kembalinya para koruptor pada berbagai jabatan publik di daerah.

Kondisi di atas dapat terlihat dari dicopotnya Bupati Tulungagung setelah dilantik. Keduanya terbukti bersalah dalam kasus korupsi yang memaksanya meletakan jabatannya.

Wacana KPU Larang Napi Korupsi ikut Pemilukada 2020

Mantan napi koruptor sendiri dapat dilihat sebagai sebuah komoditas yang masih strategis bagi partai politik (parpol) di daerah. Umumnya, mereka merupakan elit lokal dan masih memiliki basis kekuatan sosial maupun keagamaan yang kuat di daerah. Hal ini memunculkan pragmatisme parpol untuk kembali menggaet eks napi koruptor daripada kader baru yang bersih.

Iklim Pemilu dan Good Governance

Bishop Matthew Hassan Kukah dalam Democracy, Political Parties, Electoral Integrity And Good Governance melihat pemilu yang berintegritas sangatlah penting dalam menciptakan good governance (tata kelola pemerintah yang baik).

Peserta pemilu yang berintegritas merupakan salah satu indikator dari penyelenggaran pemilu yang berintegritas. Hal ini dikarenakan peserta pemilu merupakan orang yang akan menduduki berbagai jabatan strategis publik.

Sehingga jika sistem pemilu yang ada dapat menciptakan adanya kualitas dalam peserta pemilu, maka dipastikan akan tercipta sistem pemerintahan yang baik.

Pewacanaan KPU di atas tentu menjadi sebuah hal yang sangat penting. Pasalnya, pemerintahan daerah merupakan salah satu lahan subur dari berkembangnya praktik KKN di Indonesia. Pada tahun 2019 saja, 28 dari 30 operasi tangkap tangan (OTT) KPK merupakan para bupati dan wali kota.

Hal di atas juga bukan menjadi sesuatu yang mengherankan, tata kelola pemerintahan daerah di Indonesia masih belum berdasarkan pada aspek good governance. Indonesia Governance Index (IGI) mengungkapkan, Yogyakarta yang merupakan provinsi terbaik dalam tata kelola pemerinatahan saja hanya mendapatkan skor 6.8 dari angka maksimal 10.

Konflik Kepentingan?

Wacana yang dilontarkan KPU ini tentu akan kembali menuai banyak kontroversi seperti sebelumnya. Hal ini dikarenakan pemilu dalam negara demokrasi seperti Indonesia merupakan satu-satunya sarana dalam mencapai kekuasaan.

Ketika terdapat pengetatan dan hambatan yang dilakukan oleh suatu institusi yang akan membatasi kelompok kepentingan lainnya tentu akan menciptakan tensi politik yang tinggi.

PKPU No 20 tahun 2018 mudah mendapatkan kontra karena KPU pada saat itu tidak memiliki aliansi yang kuat untuk mendukung kebijakannya. Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang harusnya menjadi mitra strategis KPU dalam menciptakan pemilu yang berintegritas saja, justru tidak mendukung kebijakan tersebut.

Tentu bukan tidak mungkin jika langkah KPU saat ini juga akan menghadapi nasib yang sama seperti sebelumnya.

Mekanisme yang memungkinkan asa KPU ini dapat terwujud hanya dengan diubahnya Undang-Undang (UU) mengenai pemilihan umum. Diubahnya UU pemilu akan mensikronkan semua kepentingan yang ada dan akan menjadikan kebijakan yang dihasilkan semakin kuat.

Hal diatas sesuai dengan apa yang diungkapkan oleh Chriss Ansel dan Alison Gash dalam Collaborative Governance in Theory and Practice. Keduanya melihat kolaborasi dan dukungan dari setiap aktor dalam pembuatan aturan akan membuat aturan menjaadi semakin kuat dan mengikat.

Akan tetapi, dalam kasus ini tampaknya sulit untuk dilakukan. Pasalnya, jika melihat konfigurasi anggota perlemen  sekarang, 60% masih didominasi oleh anggota periode sebelumnya.

Manuver langsung yang dilakukan oleh KPU dengan menyasar presiden menunjukkan intensi KPU untuk mendorong dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) dalam kebijakan ini. Akan tetapi, upaya tersebut juga tampaknya akan sulit karena isu ini belum dilihat sebagai isu yang urgen bagi banyak pihak.

Langkah KPU tampaknya memang harus segera direalisasikan mengingat dengan adanya pelemahan KPK akan semakin sulit bagi sistem pemilu di Indonesia untuk mencegah adanya okupasi para mantan napi korupsi untuk masuk kembali sebagai peserta pemilu.

► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut

Exit mobile version