“Saya nggak tahu itu spontanitas atau memang ada cheerleaders-nya (pemandu sorak). Tapi ya bisa jadi ada cheerleaders-nya.” – Wakil Ketua DPR RI, Fadli Zon
PinterPolitik.com
[dropcap]P[/dropcap]as masa-masa Lebaran kayak gini emang waktu yang tepat untuk saling memaafkan.
Kalau punya dendam ya dimaafkan. Kalau pernah marah sama seseorang ya dimaafkan. Kalau punya salah sama seseorang ya minta maaf. Kalau punya utang? Jangan lupa dibayar lah. Haha.
Dul, utang nasi gorengmu sudah kau bayar belum?
Alamak! Abdul hampir lupa bayar utang nasi goreng sama Kang Asep. Nanti si akang kembali dari Sukabumi baru dibayar lah, biar sekalian saling memaafkan. Hehe
Hmm, baiklah. Tapi nyatanya suasana saling memaafkan itu tidak juga dialami oleh Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan.
Lha, kok bisa?
Ya lihat saja gimana reaksi masyarakat yang menyoraki Anies saat sang gubernur berkunjung ke Istana Bogor untuk bersilaturahmi dengan Presiden Jokowi.
Sebenarnya, kalau dilihat videonya sih tidak berlebihan sorak-sorakannya. Bahkan setelah itu warga pada salaman sama Anies dan istrinya serta bang Sandiaga Uno serta istrinya juga.
Mungkin warga pada nyorakin karena mereka harus mengantre, sementara Anies dan Sandi melenggang mulus menuju pintu tanpa halangan.
Tapi namanya politik ya, semuanya menginterpretasi sorakan itu layaknya astrofisikawan NASA yang menganalisis orbit Pluto!
Yang satu bilang ini gara-gara efek Pilkada Jakarta yang belum tuntas, yang lain bilang itu ulah pendukung Ahok yang gagal move on, sementara sisanya menganggap ini akibat kebijakan Anies yang seperti orbit Pluto, alias makin tidak bisa diprediksi dan tabrak sana tabrak sini.
Bahkan Fadli Zon sampai menyebut ada cheerleaders atau pemandu sorak di belakang aksi itu. Ia juga menyebutkan bahwa fenomena tersebut jelas menggambarkan belum adanya kedewasaan berpolitik.
Ngeri kali bang istilah itu. Hmm, emang begitu kah? Apa bukan karena kebijakan Anies yang bikin ia disoraki?
Kalau zaman dulu, menyoraki seseorang seringkali menjadi sebuah bentuk hukuman. Ketika penjahat diarak misalnya, masyarakat menyorakinya sebagai pelampiasan kemarahan atau kekecewaan.
Apalagi jika yang diarak itu adalah pejabat publik, maka hal ini sekaligus juga menunjukkan ketidakpuasan terhadap kerja sang pejabat, atau korupsi yang dilakukannya, dan lain sebagainya.
Trus, apakah ini berarti masyarakat tidak puas terhadap gubernur kita, Dul?
Ya, bisa jadi.
Tapi, bisa jadi juga ini hanya strategi politik untuk mengangkat pamor Anies. Kata tukang siomay langganan Abdul, istilahnya playing victim. Bisa jadi Anies bakal dapat simpati politik gara aksi-aksi ini. Namanya lalu terangkat, makin moncer elektabilitasnya, lalu tinggal pilih mau jadi capres atau cawapres.
Yang jelas, seperti kata om Franklin D. Roosevelt: “In politics, nothing happens by accident. If it happens, you can bet it was planned that way.” Syalala. (S13)