Agenda kekacauan oleh segelintir kelompok di tengah pandemi Covid-19 baru saja terkuak oleh pihak berwenang. Namun di sisi lain, hal ini semakin meningkatkan potensi rambu kewaspadaan secara luas dan dinilai akan berujung pada kebijakan aturan sipil yang jauh lebih ketat.
PinterPolitik.com
Keresahan masyarakat di beberapa wilayah Indonesia belum selesai atas meningkatnya intensitas tindak kriminal yang dilakukan oleh eks napi yang bebas “jalur Corona”. Belakangan, muncul buih keresahan baru yang mengagendakan penjarahan dan berbagai kekacauan lain di seantero Pulau Jawa secara serentak pada 18 April mendatang.
Berdasarkan rilis aparat berwenang, agenda kekacauan tersebut diinisiasi oleh kelompok berusia muda bertitel Anarcho Syndicalism. Melihat tujuan, momentum serta target kelompok ini, nampaknya memunculkan indikasi bahwa agenda besar mereka dinilai ingin memprovokasi serta memanfaatkan psikis publik saat ini yang sedang mengalami kesulitan, baik secara sosial maupun ekonomi.
Pandemi Covid-19 dipandang semakin memperjelas dinamisnya disrupsi serta dampak sosial dan ekonomi masyarakat Indonesia saat ini. Satu hal yang tidak kalah mengkhawatirkan akan dan telah terjadi ialah perubahan psikososial masyarakat di tengah krisis kesehatan publik ini.
Dong Lu dalam tulisannya berjudul “Public Mental Health Crisis during Covid-19 Pandemic” menyatakan bahwa kesehatan mental masyarakat saat pandemi ini juga menjadi sebuah kedaruratan. Potensi dampak negatif psikososial di masyarakat, baik dari kalangan berusia muda hingga yang lebih tua sangat mungkin terjadi dan harus segera diintervensi oleh ahlinya secara memadai.
Merujuk pada tulisan Lu tersebut, terkuaknya ancaman kekacauan oleh anak muda terpelajar “berjubah” Anarcho Syndicalism ini tidak hanya disebabkan oleh berkilaunya idealisme serta pencarian jatidiri semata. Lebih dalam lagi, hal ini turut diindikasikan sebagai munculnya konsekuensi psikososial ketika mereka memiliki waktu lebih untuk berekspresi dalam “kebebasan” isolasi dari dampak pandemi Covid-19 di Indonesia saat ini.
Buih anarkisme dan narasi kekacauan ini memang dinilai banyak kalangan agaknya terlalu dini dan terlampau sepele karena dibangun oleh kelompok berusia remaja. Namun satu hal yang harus diwaspadai, potensi bagi eskalasi ketidakstabilan keamanan oleh dan di masyarakat masih tetap mengintai saat ketidakpastian dampak pandemi Covid-19 semakin tidak pasti.
Di sisi lain, menyeruaknya Anarcho Syndicalism di saat-saat seperti ini juga menimbulkan beragam tanda tanya menarik seputar kaitannya dengan dinamika politik dan pemerintahan kekinian lainnya. Apa sajakah itu?
Signifikansi Ancaman
Seberapa berbahayakah kelompok Anarcho Syndicalism di Indonesia saat ini? Pertanyaan ini agaknya tepat untuk membuka lebih dalam manuver mereka dan relevansinya terhadap stabilitas keamanan.
Anarcho Syndicalism sendiri merupakan gerakan berbasis perjuangan buruh yang memiliki jejak di berbagai negara. Berawal di Warsawa, Polandia pada tahun 1922, uniknya gerakan ini tidak memiliki hierarki organisasi dan anggotanya leluasa bergerak atas idealisme masing-masing. Hal inilah yang kemudian menarik bagi kaum muda khususnya, untuk berekspresi secara bebas terhadap aspek lain seperti isu sosial hingga pemerintahan.
Sementara manuver gerakan ini di Indonesia pertama kali mendapat ekspos besar dari publik pada peringatan hari buruh tahun 2019. Tito Karnavian sebagai Kapolri ketika itu menyebut gerakan anak muda beratribut serba hitam, yang dinilai masih cukup asing bagi publik tersebut, sebagai provokator kericuhan aksi hari buruh di Bandung.
David Burstein dalam “Fast Future: How the Millennial Generation Is Shaping Our World” menyatakan satu frasa menarik yang menjadi kerangka berpikir milenial saat ini yaitu pragmatic idealism. Frasa tersebut merujuk pada mindset kaum muda yang kompleks dan multi visi antara pragmatis, idealis dan skeptis.
Berkaca pada publikasi Burstein tersebut, pragmatic idealism nampaknya tepat menjelaskan pendorong kelompok usia muda yang aktif pada gerakan Anarhco Syndicalism di Indonesia. Sosok-sosok tersebut mayoritas berusia muda serta mendapatkan akses pendidikan formal yang memadai.
Perjuangan atas Hak Asasi Manusia (HAM), melawan kapitalisme, penindasan buruh, hingga kesetaraan ekonomi rakyat menjadi isu yang diangkat kelompok tersebut. Faktanya, isu-isu ini juga berhembus melalui aspek seni budaya yang menggugah hasrat milenial.
Sampel kecil misalnya, melalui lagu beraliran indie, alteratif, hingga punk rock yang digandrungi anak muda, supremasi idealisme akan sistem negara yang lebih baik jamak disenandungkan dan menjadi daya tarik tersendiri serta sesuatu yang pantas diperjuangkan.
Namun di sisi lain, akses yang terbatas untuk menyalurkan aspirasi dan hasrat berekspresi, membuat beberapa dari mereka menempuh cara pragmatis melalui gerakan beraliran serupa yang tidak jarang berhaluan ekstrem seperti Anarhco Syndicalism.
Di sisi lain, hal ini dinilai menjadi sebuah anomali ketika sudah cukup lama kaum muda tidak tampil secara masif di lapangan untuk bersuara mengenai isu sosio-ekonomi. Namun sayangnya, perilaku mudah lepas kendali serta visi anarkistis seolah menjadi bumerang untuk mendiskreditkan suara dan gerakan mereka sendiri.
Meskipun beberapa pengamat menilai, buih anarkisme Anarcho Syndicalism saat Covid-19 ini belum secara signifikan mengancam ketertiban, namun isu akan kekisruhan terlanjur hadir di benak masyarakat dan membangun persepsi bahwa kemungkinan tersebut dapat terjadi.
Agenda anarkisme yang dibawa oleh Anarcho Syndicalism juga sedikit menyentak publik dengan membawa isu relevan namun dikemas secara ekstrem. Interpretasi menyeruak ketika isu anarkisme muncul saat pandemi Covid-19 berpotensi membawa perekonomian masyarakat Indonesia ke titik terpuruk di tengah ketidakpastian.
Selain itu, isu darurat sipil yang beberapa waktu lalu sempat bergema dari Istana juga turut mewarnai dinamika ini. Melihat rangkaian posibilitas tersebut, bagaimana jika nyatanya kemudian eskalasi kekacauan di masyarakat terjadi dan menjadi justifikasi tertentu bagi pemerintah untuk meredamnya?
Rambu Anarki Politik?
Elizabeth McLeay dalam publikasinya berjudul “Defining Policing Policies and the Political Agenda” menyatakan bahwa isu public disorder dapat memberikan sebuah gambaran tentang agenda politik di masa lalu yang kemudian membentuk “jendela kebijakan” masa depan melalui isu-isu politik sebelumnya.
Apa yang dikemukakan McLeay tersebut cukup relevan jika kita refleksikan pada peristiwa kekacauan atau public disorder terhadap perkembangan politik dan pemerintahan di Indonesia. Aksi massa yang terstruktur, masif serta anarkis yang menimbulkan public disorder sendiri bukanlah hal baru. Krisis multi dimensi pada tahun 1998 menjadi panggung berdarah bagi sejumlah elemen massa yang “terjebak” situasi anarkis dalam medan sejarah perjuangan bangsa.
Mulai dari aliansi mahasiswa, lembaga swadaya masyarakat, serikat buruh, hingga massa “hasil kloning” tandingan bernama Pam Swakarsa dapat kita telaah melalui berbagai literatur kredibel saat ini terkait masing-masing perannya dalam membentuk spektrum politik dan pemerintahan Indonesia pasca reformasi.
Sementara saat ini, keresahan publik Indonesia memang sedang benar-benar diuji kala Covid-19 juga membombardir perekonomian masyarakat. Kemunculan agenda Anarcho Syndicalism saat ini seolah dinilai “membuntuti” peningkatan tingkat kriminalitas yang dilakukan eks napi “bebas jalur Corona”. Belum lagi bayang-bayang konsekuensi tak terlihat – intangible threat – dari PHK massal yang menghantui kelompok ekonomi rentan saat pandemi Covid-19.
Hampir tidak ada masyarakat yang menginginkan anarkisme atau kekacauan dalam bentuk apapun terjadi sebagai dampak Covid-19 saat ini. Namun peluang tersebut agaknya terus terkonstruksi berbanding lurus dengan implikasi sosio-ekonomi dari pandemi Covid-19 yang entah kapan akan berakhir.
Jika skenario terburuk itu terjadi, akan ada beberapa hal yang dinilai berpengaruh terhadap spektrum politik Indonesia. Pertama, status kedaruratan keamanan, baik darurat sipil atau militer, disinyalir akan diberlakukan pemerintah untuk mengendalikan keadaan. Hal ini dinilai akan mempengaruhi tingkat restriksi – pembatasan – pemerintah dalam kontrol kebebasan publik.
Secara rasional, tidak serta merta semua pihak sepakat akan langkah ini. Akan selalu ada pihak, baik tokoh nasional yang terafiliasi politik ataupun tidak, yang dinilai tampil menyuarakan kendali situasi yang persuasif tanpa sedikitpun merenggut kebebasan rakyat.
Lalu di sisi lain, bagi pihak yang terbukti lamban merespon keadaan atau bahkan terlihat memperburuk situasi, akan menjadi preseden buruk baginya ke depan. Sebaliknya, pihak yang dinilai sukses memadamkan keadaan dengan baik, dinilai akan mendapatkan legitimasi politik yang positif dari rakyat.
Pada akhirnya, potensi skenario tersebut juga dinilai dapat memproyeksikan pihak yang sekiranya berpeluang mengambil keuntungan politis maupun strategis dari situasi yang ada.
Bagaimanapun, terjadinya berbagai bentuk anarkisme dan kekacauan akan menelan konsekuensi yang sangat mahal dalam jalannya politik dan pemerintahan, serta kehidupan masyarakat secara umum. Deteksi dini akan potensi gangguan keamanan tentu harus disikapi dengan bijak, baik oleh pemerintah maupun masyarakat, demi ketahanan seluruh elemen bangsa kala ujian pandemi Covid-19. Menarik untuk menanti dinamika selanjutnya. (J61)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.