Belajar dari kesalahan Partai Demokrat yang tersungkur setelah berkuasa selama 10 tahun, PDIP nampaknya tengah menyiapkan berbagai manuver guna mempertahankan kekuasaannya. Namun, dengan tidak lagi dapat mengusung Jokowi, dan adanya rongrongan dari partai lain – bahkan dari Jokowi sendiri – partai banteng tersebut nampaknya tengah berhadapan dengan jalan yang begitu terjal. Atas itu pula, dengan status PDIP sebagai satu-satunya partai yang hampir memenuhi presidential threshold 20 persen, partai yang dipimpin oleh Megawati tersebut nampaknya akan “dikeroyok” oleh berbagai kekuatan politik lainnya.
PinterPolitik.com
Selaku partai yang menempatkan kadernya di berbagai pos kekuasaan politik, PDIP boleh jadi tengah mengalami surplus kepercayaan diri. Akan tetapi, di tengah euforia kekuasaan tersebut, partai banteng sepertinya tengah dihantui oleh “kutukan kekuasaan”.
Sebagaimana yang dikemukakan oleh ahli ekonomi, Vilfredo Pareto dalam teori “sirkulasi elite”, di dalam setiap sejarah selalu terdapat sirkulasi elite atau pergantian elite yang berkuasa, entah itu elite yang satu diganti oleh elite yang lainnya, ataupun non-elite yang justru menggantikan elite yang tengah berkuasa.
Kita tentu masih ingat pada kasus Partai Demokrat, di mana partai berlambang mercedes tersebut justru menjadi pesakitan saat ini, padahal sebelumnya menjadi partai yang benar-benar berkuasa, seperti halnya PDIP saat ini.
Politikus Partai Demokrat, Jemmy Setiawan dalam tulisannya “Pemberantasan Korupsi di Era SBY Tercatat Paling Progresif di Dunia”, menyebutkan bahwa faktor besar turunnya elektabilitas Partai Demokrat adalah komitmen Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang justru tidak memberikan perlindungan hukum terhadap berbagai kader partainya yang terjerat kasus korupsi.
Sadar akan faktor tersebut, publik tentu menangkap terdapat indikasi dari PDIP bahwa partai banteng tersebut tengah memberikan perlindungan hukum kepada Hasto Kristiyanto selaku sekjen partai, dalam kasus suap yang diduga menyeretnya, guna menghindari penurunan elektabilitas seperti yang terjadi di kasus Partai Demokrat.
Akan tetapi, kendati tidak mengulang kesalahan yang sama seperti Partai Demokrat, ancaman lain nampaknya tengah bersiap-siap memukul mundur PDIP di Pilpres 2024. Lantas, ancaman apakah itu?
Pilpres 2024, PDIP Dikeroyok?
Ancaman utama terhadap keberlangsungan kekuasaan PDIP adalah besarnya kemungkinan partai banteng tersebut “dikeroyok” oleh berbagai partai lain di Pilpres 2024 mendatang. Hal tersebut setidaknya terjadi karena beberapa alasan.
Pertama, PDIP adalah satu-satunya partai yang hampir memenuhi presidential threshold (PT) 20 persen, dengan suara mencapai 19,33 persen. Secara psikologis mudah untuk memahami bahwa kondisi tersebut dapat membuat partai banteng menjadi begitu percaya diri. Artinya, akan terdapat tendensi untuk tidak ingin bergantung kepada partai lainnya.
Kedua, terdapat dugaan bahwa Presiden Jokowi tengah membangun kekuatan politik bersama Partai Golkar dan Partai Gerindra.
Terkait kedekatan dengan Golkar, hal tersebut tidak terlepas dari kedekatan mantan Wali Kota Solo tersebut dengan berbagai tokoh berpengaruh di Golkar, seperti Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan, mantan Wakil Presiden Try Sutrisno, hingga almarhum BJ Habibie.
Lalu terkait kedekatan dengan Gerindra, Waketum Gerindra, Arief Poyuono pernah menegaskan bahwa secara historis partai berlambang burung garuda tersebut memiliki kedekatan khusus dengan Jokowi karena telah berjasa menjadikannya pemimpin bersama dengan PDIP.
Menurut pengamat politik Rocky Gerung, Jokowi disebut memiliki keinginan untuk melepaskan diri dari bayang-bayang Megawati Soekarnoputri selaku Ketum PDIP.
Hal tersebut misalnya terlihat dari Jokowi yang tiba-tiba menyebut nama Sandiaga Uno sebagai kandidat yang berpotensi mengganti dirinya setelah muncul narasi yang menyebutkan PDIP tengah menyiapkan Wali Kota Surabaya, Tri Rismaharini sebagai “Jokowi kedua”.
Marcus Mietzner dalam tulisannya Jokowi: Rise of a Polite Populist, menyebutkan bahwa Jokowi telah menjadi ikon PDIP sejak tahun 2013. Artinya, dengan kehilangan mantan Wali Kota Solo tersebut, itu tentu berpotensi untuk menurunkan suara partai banteng.
Ketiga, Partai Nasdem dan PKS nampak jelas akan membentuk koalisi menimbang pada kedua partai tersebut telah bertemu sebanyak dua kali di kantor masing-masing.
Menimbang pada memburuknya hubungan Ketum Partai Nasdem, Surya Paloh dengan Megawati, serta PKS yang kemungkinan kecil mau bergabung dengan Jokowi, kubu Nasdem-PKS nampaknya akan menjadi poros ketiga.
Dengan demikian, sampai saat ini setidaknya sudah terlihat indikasi bahwa terdapat dua kubu yang akan menjadi lawan PDIP di Pilpres 2024, yakni kubu Jokowi dan kubu Nasdem-PKS.
Modal Politik Setiap Kubu?
Modal politik utama tentunya adalah perolehan suara, di mana PDIP adalah yang terdepan dalam hal ini.
Selain keunggulan suara, partai banteng juga memiliki modal ekonomi yang besar. Hal tersebut terlihat dari PDIP yang menempatkan diri sebagai partai dengan dana kampanye terbesar pada Pemilu 2019 dengan nilai mencapai Rp 345,02 miliar.
Tidak hanya itu, terdapat kabar pula yang menyebutkan bahwa PKB akan merapat dengan PDIP di Pilpres 2024 mendatang. Hal tersebut misalnya terlihat dari Ketum PKB, Muhaimin Iskandar (Cak Imin) yang pernah menyebut Megawati sebagai ibunya.
Cak Imin juga menyebutkan bahwa dalam sejarahnya, PKB selalu dekat dengan PDIP karena Gus Dur adalah kawan baik dari Megawati.
Sebagaimana yang dikemukakan oleh Greg Fealy dari Australian National University dalam tulisannya Nahdlatul Ulama and the Politics Trap, sejak berakhirnya era Orde Baru pada tahun 1998, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menjadikan PKB sebagai afiliasi utama nahdliyyin atau warga NU.
Dengan demikian, PDIP akan mendapatkan tambahan basis massa yang besar dari NU. Selaku organisasi Islam terbesar di Indonesia, dengan klaim massa mencapai 40 juta jiwa, tentu itu akan menjadi tambahan dukungan yang sangat menguntungkan.
Lalu, sama halnya dengan PDIP, PKB juga memiliki modal ekonomi yang besar, di mana partai tersebut menempatkan diri sebagai partai yang memiliki dana kampanye terbesar kelima pada Pemilu 2019 dengan nilai yang mencapai Rp 142 miliar.
Dengan jumlah suara yang mencapai 9,69 persen, gabungan PDIP dan PKB dengan total 29,09 persen suara tentu sudah cukup untuk mengusung kandidat di Pilpres 2024.
Terakhir, dengan masih bercokolnya Budi Gunawan sebagai Kepala Badan Intelijen Negara (BIN), dapat dipastikan PDIP dapat memiliki basis informasi yang baik untuk membuat strategi politik. Bukan rahasia lagi jika dua tokoh tersebut punya kedekatan satu sama lain.
Kemudian di kubu Jokowi, Golkar yang mendapatkan suara sebesar 12,31 persen dan Gerindra sebesar 12,57 persen, gabungan keduanya telah mencapai PT dengan total suara mencapai 24,88 persen.
Modal ekonomi kubu ini juga sangat besar, di mana Golkar menempatkan diri sebagai partai yang memiliki dana kampanye terbesar kedua di Pemilu 2019 dengan nilai mencapai Rp 307 miliar. Terlebih lagi, kedua partai tersebut juga memiliki banyak pengusaha selaku kadernya.
Ada pula keuntungan kapabilitas dalam melakukan iklan politik karena di kubu Golkar terdapat berbagai pengusaha yang memiliki stasiun televisi, seperti Aburizal Bakrie yang memiliki TvOne dan ANTV.
Lalu dengan diangkatnya anak Chairul Tanjung, Putri Tanjung sebagai salah satu Staf Khusus Presiden, pemilik Trans TV dan Trans 7 tersebut kemungkinan besar akan bergabung di kubu Jokowi.
Tidak lupa pula terdapat anak Hary Tanoesoedibjo, Angela Tanoesoedibjo yang diangkat menjadi Wakil Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, nampaknya akan membuat bos MNC Group tersebut akan membawa Perindo bergabung di kubu Jokowi.
Terakhir, dengan diangkatnya Ketum PKPI sekaligus anak A. M. Hendropriyono, Diaz Hendropriyono menjadi salah satu Staf Khusus Presiden, kubu Jokowi akan memiliki dukungan dari seorang Jenderal TNI yang memiliki kapabilitas untuk mengimbangi kemampuan intelijen Budi Gunawan.
Dengan demikian, setidaknya terdapat 5 partai yang sepertinya berada di kubu Jokowi, yakni Golkar, Gerindra, PKPI, Perindo, dan PSI.
Teruntuk partai yang terakhir, tentu mudah terbaca bahwa partai yang mengklaim diri sebagai partai milenial tersebut dengan jelas memberikan sinyal akan terus mendukung Jokowi.
Kemudian di kubu Nasdem-PKS, kendati kubu ini memiliki berbagai modal politik yang bagus seperti besarnya basis massa kelompok Islam di PKS, modal ekonomi yang besar di Nasdem, sampai pada Surya Paloh yang memiliki MetroTV, kubu ini memiliki kekurangan karena belum memenuhi PT.
Dengan suara Nasdem sebesar 9,05 persen, dan PKS sebesar 8,21 persen, kubu ini hanya memiliki modal suara sebesar 17,26 persen. Artinya, partai ini tentu harus segera mencari partai lain agar dapat mengusung kandidat di Pilpres 2024.
Dalam upaya tersebut, kubu ini mungkin dapat melirik PAN, PBB, dan Demokrat selaku partai yang masih samar dalam menunjukkan sinyal keberpihakannya.
Menyimpulkan seluruh modal politik setiap kubu, kubu Jokowi nampaknya masih menjadi lawan terberat bagi kubu PDIP. Lalu kubu Nasdem-PKS, kendati memiliki potensi modal politik yang besar, kubu ini memiliki beban yang besar karena harus terlebih dahulu memenuhi PT. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (R53)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.