HomeNalar Politik2024, Jokowi Persiapkan Oligarki Baru?

2024, Jokowi Persiapkan Oligarki Baru?

Kendati Pilpres 2024 masih lama, bau-bau manuver politik berbagai parpol dan politisi telah banyak tercium untuk menghadapi kontestasi elektoral lima tahunan tersebut. Terdepan, tentu saja adalah PDIP sebagai satu-satunya parpol yang memenuhi presidential threshold 20 persen. Lalu terdapat manuver gencar Nasdem yang terlihat mendekati PKS. Menariknya, dibaca pula terdapat manuver Presiden Jokowi yang disebut tengah mempersiapkan kekuatan politik lain untuk menghadapi Pilpres 2024. Lantas, mungkinkah ketiga kubu tersebut bersaing pada Pilpres 2024 mendatang?


PinterPolitik.com

Banyak pihak mungkin tidak membayangkan, bagaimana PDIP yang tidak menikmati kursi empuk Istana selama sepuluh tahun di masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), justru menjadi partai politik (parpol) yang paling berkuasa dan berpengaruh saat ini.

Salah satu faktor besar atas hal tersebut memang tidak terlepas dari jelinya Ketua Umum (Ketum) PDIP, Megawati Soekarnoputri dalam mengusung Jokowi Widodo (Jokowi) menjadi calon gubernur pada Pilgub DKI Jakarta 2012, serta sebagai calon presiden pada Pilpres 2014 dan 2019 lalu.

Atas berhasilnya Jokowi memenangkan tiga kontestasi elektoral besar tersebut, berbagai pihak kemudian menyebutkan bahwa Mega adalah kingmaker bagi mantan Wali Kota Solo tersebut.

Akan tetapi, kendati Mega dan PDIP begitu berperan dalam karir politik Jokowi, hal tersebut nampaknya tidak membuat hubungan keduanya menjadi akur, melainkan dipenuhi dengan riak retak perseteruan.

Merujuk pada tulisan Leo Suryadinata dalam Golkar’s Leadership and the Indonesian President, riak retak hubungan Jokowi dan PDIP sebenarnya telah terjadi sejak Pilpres 2014 karena berbagai sosok internal partai banteng tersebut disebut tidak menyukai sosok ayah dari Gibran Rakabuming Raka itu.

Menurut Suryadinata, Mega sebenarnya mengetahui kondisi internal tersebut. Namun, karena tingginya elektabilitas Jokowi, putri Soekarno tersebut terpaksa tetap mengusungnya sebagai calon presiden.

Atas tidak harmonisnya hubungan keduanya, terlebih lagi dengan kondisi Jokowi yang tidak mungkin lagi diusung di Pilpres 2024, mudah untuk menyimpulkan bahwa sosok yang terkenal karena mobil Esemka tersebut akan ditinggalkan oleh PDIP.

Senada, Ketua DPP PKS, Mardani Ali Sera juga mengutarakan bahwa dengan Jokowi tidak dapat lagi diusung, kemungkinannya untuk ditinggalkan oleh PDIP menjadi besar.

Menariknya, pengamat politik, Rocky Gerung beberapa waktu yang lalu memberikan analisis bahwa terdapat indikasi kuat di mana Jokowi ingin melepaskan diri dari bayang-bayang Mega.

Atas dasar itu pula, menurutnya, pecah kongsi antar keduanya akan terjadi menjelang Pilpres 2024. Oleh karena itu, Rocky menduga bahwa Jokowi tengah menyiapkan oligarki baru sebagai penggantinya.

Jika benar bahwa Jokowi tengah menyiapkan oligarki baru, lantas siapa patron politik yang akan mendukungnya?

Jokowi Mencari Sosok Baru?

Menariknya, selain Jokowi, terdapat pula parpol lain yang disebut tengah mempersiapkan kekuatan politik karena hubungannya dengan Mega telah memburuk, yakni Partai Nasdem.

Kendati terdapat berbagai bantahan atas memburuknya hubungan Ketum Nasdem, Surya Paloh dengan Mega, berbagai bantahan tersebut nampaknya sulit untuk dipercaya melihat pada berbagai indikasi yang ada.

Yang paling kentara tentu saja ketika Mega tidak menjabat tangan Surya pada pelantikan anggota DPR RI beberapa waktu yang lalu.

Menurut pakar komunikasi politik dari Universitas Paramadina, Hendri Satrio, manuver politik Nasdem yang membajak berbagai kader parpol lain – termasuk PDIP – disebut telah membuat Mega meradang.

Akan tetapi, kendati Jokowi dan Nasdem sama-sama memiliki hubungan yang buruk dengan Mega dan tengah mempersiapkan kekuatan politik agar dapat terlepas dari bayang-bayang PDIP, keduanya nampaknya tidak akan berada di kubu yang sama.

Pasalnya, saat ini Nasdem disebut tengah membangun kekuatan politik bersama dengan PKS. Masalahnya adalah, basis massa PKS adalah kelompok-kelompok Islam, yang selama ini menempatkan diri sebagai pihak yang berseberangan dengan Jokowi.

Artinya, jika Jokowi bergabung, itu akan menciptakan gejolak yang dapat merugikan PKS. Selaku pihak yang ingin mendapatkan keuntungan politik dari PKS, tentunya Nasdem tidak ingin hal tersebut terjadi.

Kembali mengacu pada Leo Suryadinata, Jokowi sebenarnya menyadari bahwa dirinya tidak disukai oleh internal PDIP. Oleh karena itu, mantan Gubernur DKI Jakarta tersebut disebut telah membangun relasi yang baik dengan Golkar sejak 2014.

Hal tersebut memang tidak telepas dari Jokowi yang disebut memiliki kedekatan dengan sosok-sosok berpengaruh di Golkar seperti Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan, pernah dekat juga dengan almarhum BJ Habibie, serta beberapa tokoh senior Golkar, termasuk mantan Wakil Presiden Try Sutrisno.

Tidak hanya dekat dengan Golkar, terdapat pula selentingan kabar yang menyebutkan bahwa keberanian Jokowi dalam membentuk kekuatan politik juga ditengarai karena telah mendapat dukungan dari Ketum Gerindra, Prabowo Subianto.

Selain Golkar dan Gerindra, terdapat pula dua parpol biru yang sepertinya tengah mendekat, yakni Demokrat dan PAN. Hal tersebut misalnya terlihat dari kedua ketum parpol, SBY dan Zulkifli Hasan yang tampak memberikan dukungan kepada Jokowi.

Tiga Kubu di 2024?

Akan tetapi, manuver politik Nasdem dan Jokowi yang ingin lepas dari bayang-bayang PDIP, sebenarnya masih menyimpan tanda tanya. Pasalnya, PDIP adalah satu-satunya parpol yang memenuhi presidential threshold (PT).

Dengan kata lain, untuk apa “berjudi” dengan berusaha membentuk koalisi, yang belum tentu akan benar-benar terbentuk, sehingga belum tentu pula dapat mengusung kandidat di Pilpres 2024, ketimbang tetap bersama dengan PDIP yang sudah pasti partisipasinya di kontestasi elektoral tertinggi tersebut?

Pertanyaan tersebut sepertinya dapat kita jawab menggunakan hasil studi dari University of Cologne, University of Groningen dan Columbia University.

Studi tersebut ingin menjawab pertanyaan mengenai pilihan di antara kondisi dapat mempengaruhi atau mengontrol orang lain, dengan kondisi berotonomi atau terbebas dari kontrol orang lain. Pertanyaannya adalah kondisi mana yang lebih memuaskan hasrat individu akan kekuasaan?

Berdasarkan berbagai eksperimen yang dilakukan, hasilnya menunjukkan bahwa hasrat akan kekuasaan partisipan ternyata lebih terpuaskan dengan kondisi berotonomi daripada kondisi mengontrol orang lain.

Mengacu pada studi tersebut, mungkin dapat dipahami bahwa motivasi atas partisipasi yang pasti di Pilpres 2024, sepertinya telah kalah dari motivasi untuk memiliki kekuasaan berotonomi alias ingin melepaskan diri dari bayang-bayang PDIP.

Atas itu pula, dapat dipahami bahwa Jokowi dan Nasdem, nampaknya ingin mengusulkan kandidatnya masing-masing.

Terkhusus Jokowi, ia sepertinya ingin menjadi seorang kingmaker, sehingga kandidat yang diusungnya dapat meneruskan berbagai program kerja yang telah direncanakan, seperti pembangunan infrastruktur dan pemindahan ibukota.

Sinyal dukungan Jokowi terhadap sosok tertentu, beberapa waktu yang lalu sempat mencuat ketika menyebut nama Sandiaga Uno sebagai sosok yang berpotensi menggantikan dirinya. Jika benar Sandi diusung dan menang di Pilpres 2024, dengan dukungan dari Prabowo juga, dapat dipastikan bahwa kelanjutan program pemindahan ibu kota dapat terlaksana.

Lalu, di kubu Nasdem dan PKS, sampai saat ini dukungan sepertinya masih mengerucut pada sosok Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan. Selain itu, Anies juga didukung oleh berbagai kelompok Islam, di mana itu dapat menjadi modal politik yang besar.

Akan tetapi, karena gabungan suara Nasdem dan PKS masih belum memenuhi PT, keduanya tentu harus menarik parpol lain untuk bergabung.

Di sisi PDIP, beberapa nama diisukan untuk diusung. Namun, nama yang terdepan sepertinya adalah Wali Kota Surabaya, Tri Rismaharini, dan Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo. Selaku parpol yang memenuhi PT, partai banteng tentunya tidak akan mengalami kesulitan berlebih dalam menentukan kandidat seperti kubu yang lainnya.

Pada akhirnya, mungkin dapat disimpulkan, kendati Pilpres 2024 masih jauh, sepertinya telah terlihat tiga kubu yang akan bersaing di kontestasi elektoral tersebut, yaitu kubu PDIP, kubu Nasdem-PKS, dan kubu Jokowi. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (R53)

► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Baca juga :  Gibran Wants to Break Free?
spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Ganjar Kena Karma Kritik Jokowi?

Dalam survei terbaru Indonesia Political Opinion, elektabilitas Ganjar-Mahfud justru menempati posisi ketiga. Apakah itu karma Ganjar karena mengkritik Jokowi? PinterPolitik.com Pada awalnya Ganjar Pranowo digadang-gadang sebagai...

Anies-Muhaimin Terjebak Ilusi Kampanye?

Di hampir semua rilis survei, duet Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar selalu menempati posisi ketiga. Menanggapi survei yang ada, Anies dan Muhaimin merespons optimis...

Kenapa Jokowi Belum Copot Budi Gunawan?

Hubungan dekat Budi Gunawan (BG) dengan Megawati Soekarnoputri disinyalir menjadi alasan kuatnya isu pencopotan BG sebagai Kepala BIN. Lantas, kenapa sampai sekarang Presiden Jokowi...