Sutan Sjahrir memiliki andil yang penting dalam perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia. Sayangnya, Sjahrir harus berakhir sakit dan meninggal dunia ketika Soekarno berkuasa. Bagaimana sejarah dan jasa dari Sjahrir terhadap Indonesia?
“Dengan penandatanganan Persetujuan Linggarjati ini sekarang, berlaku suatu kejadian yang besar artinya serta akan besar pula akibatnya” – Sutan Sjahrir, Ketua Delegasi Perjanjian Linggarjati 1947
Ini adalah pernyataan Sutan Sjahrir saat menjadi Ketua Delegasi Indonesia dalam Perjanjian Linggarjati pada 25 Maret 1947. Sjahrir memang menjadi kunci dari pertemuan yang hasilnya adalah pembentukan Republik Indonesia Serikat (RIS) dengan Indonesia menjadi bagian dari negara-negara persemakmuran Belanda.
Yang jelas, peristiwa ini adalah simpul posisi Sjahrir sebagai Perdana Menteri (PM) pertama Indonesia dan termuda di dunia kala itu karena usianya masih 36 tahun, serta sumbangsihnya yang besar untuk perjalanan negara ini sebelum akhirnya diberikan status sebagai Pahlawan Nasional.
Namun, selalu banyak cerita menarik di belakangnya – terutama bagaimana peliknya hubungannya dengan Soekarno di akhir masa hidupnya, di mana Sang Bung Besar itu menuduh Sang Bung Kecil Sjahrir sebagai salah satu dalang di balik upaya pembunuhannya lewat bom di Jalan Cendrawasih, Makassar, pada tahun 1962. Penasaran bagaimana kisahnya?
Mengenal Sutan Sjahrir
Sutan Sjahrir lahir di Padang Panjang, Sumatera Barat pada 5 Maret 1909. Ayahnya bernama Mohammad Rasad yang bergelar Maharaja Soetan bin Soetan Leman dan ibunya bernama Puti Siti Rabiah yang berasal dari Koto Gadang, Agam, Sumatera Barat.
Ayahnya adalah seorang penasihat Sultan Deli dan kepala jaksa di Medan. Sjahrir bersaudara seayah dengan Rohana Kudus (Roehana Koeddoes) – aktivis serta wartawan wanita yang terkemuka.
Sjahrir kecil memulai pendidikannya di Europeesche Lagere School (ELS) atau setingkat sekolah dasar, kemudian masuk di Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) yang setingkat dengan SMP.
Tamat dari MULO pada tahun 1926, ia kemudian pindah ke Bandung dan bersekolah di Algemeene Middelbare School (AMS). Ia disebut aktif dan ikut mendirikan Jong Indonesie yang menjadi salah satu kelompok yang berperan besar dalam Sumpah Pemuda 1928.
Setamat dari AMS, ia kemudian berangkat ke Belanda pada tahun 1929 dan melanjutkan kuliahnya di fakultas hukum Universitas Amsterdam – sebelum akhirnya pindah ke Universitas Leiden.
Baca Juga: Pelopor Feminis Eksistensialis Bangsa
Di Belanda, Sjahrir berteman dengan Salomon Tas, seorang Ketua Klub Mahasiswa Sosial Demokrat. Dalam catatannya Souvenirs of Sjahrir yang diterjemahkan Ruth McVey, Sal Tas – demikian ia dipanggil – menyebutkan bahwa Sjarir tertarik dengan pemikiran sayap kiri karena kubu ini di Belanda kala itu adalah kelompok yang mendukung kaum nasionalis Indonesia, terutama dalam tujuan melepaskan diri dari kolonialisme.
Kisah tentang persahabatan Sal Tas dan Sjahrir ini juga menarik karena melibatkan romansa dengan seorang perempuan bernama Maria Duchateau yang kelak sempat menjadi istri Sjahrir di kemudian hari, walaupun saat itu si Maria ini adalah istri dari Sal Tas.
Di Belanda, Sjahrir juga bekerja di Sekretariat Federasi Buruh Transportasi Internasional. Ia juga bergabung dalam Perhimpunan Indonesia (PI) yang dipimpin oleh Mohammad Hatta.
Kisah Sjahrir dan Hatta adalah beberapa contoh pemimpin Indonesia yang punya latar belakang pendidikan Barat, sehingga wawasan mereka tentang bernegara sedikit berbeda dibandingkan tokoh-tokoh yang hanya mengenyam pendidikan di Indonesia, misalnya Soekarno. Sal Tas menyebut Sjahrir tertarik pada sains dan sangat antusias dalam belajar dan berdiskusi – yang mana Soekarno sempat “mengkritik” kebiasaan diskusi Hatta dan Sjahrir ini.
Hatta dan Sjahrir sempat mengundurkan diri dari Perhimpunan Indonesia karena menganggap organisasi tersebut sudah terlalu banyak dipengaruhi oleh kelompok kiri komunis. Pada tahun 1931, Hatta meminta Syahrir pulang lebih dulu ke Indonesia untuk mengembangkan Pendidikan Nasional Indonesia atau PNI-baru, sekalipun ia sebetulnya belum selesai kuliah. Sjahrir kemudian banyak terlibat di surat kabar Daulat Rakyat yang menjadi media PNI-baru.
Akibat aktivitas nasionalisnya, ia sempat ditangkap dan dibuang ke Boven Digul kemudian Banda Neira dan akhirnya ke Sukabumi oleh pemerintah Hindia Belanda, sebelum akhirnya Indonesia dikuasai oleh Jepang.
Saat masa kekuasaan Jepang, beberapa sumber menyebutkan bahwa Soekarno, Hatta, dan Sjahrir berbagi peran dalam mengupayakan kemerdekaan Indonesia. Sjahrir disebut bergerak di bawah tanah dan cenderung resistan terhadap kekuasaan Jepang. Sementara, Soekarno dan Hatta cenderung kooperatif.
Ini salah satunya ditulis oleh Rudolf Mrazek dalam bukunya Sjahrir: Politics and Exile in Indonesia. Sikap Sjahrir yang anti-Jepang membuatnya bisa lebih diterima oleh Belanda ketika masuk dalam perundingan-perundingan.
Baca Juga: Soekarno, Poliglot Musuh Belanda
Singkat cerita, Indonesia berhasil merdeka dan Sjahrir ditunjuk sebagai PM. Ia mengupayakan diplomasi dengan Belanda agar mengakui kedaulatan Indonesia secara de facto. Namun, mispersepsi muncul karena pemberitaan media-media kala itu – utamanya media Belanda – yang menyebut Sjahrir “menjual” Indonesia kepada Belanda.
Hal ini menimbulkan penolakan dari kelompok oposisi yang berujung pada penculikan Sjahrir pada 26 Juni 1946 di Solo. Kelompok yang tergabung dalam Persatuan Perdjuangan ini menginginkan Tan Malaka untuk memimpin perjuangan Indonesia. Sjahrir kemudian dibebaskan setelah Soekarno membuat pidato lewat siaran radio.
Dinamika dan tekanan politik yang ada kala itu pada akhirnya membuat posisi Sjahrir sebagai PM berakhir pada tahun 1947. Ia kemudian lebih banyak terlibat dalam Partai Sosialis Indonesia (PSI) yang dibentuk untuk menjadi oposisi dari PKI.
Kebiasaan Sjahrir yang tertarik pada pengetahuan dan ruang diskusi pada akhirnya mempengaruhi cara pandang dan pendekatan politiknya. PSI yang dipimpinnya, misalnya, adalah partai kader yang bertumpu pada ruang-ruang diskusi. Pendekatan ini berbeda, misalnya, dengan PKI yang merupakan partai massa yang fokus kegiatannya adalah berbasis agitasi.
Banyak intelektual muda dan cendekiawan yang lebih tertarik pada gagasan Sjahrir. Anggota PSI juga merupakan keturunan keluarga berada dengan tingkat pendidikan yang tinggi. Namun, PSI tak bisa menjadi besar karena seret dalam merekrut anggota. Ini juga dapat terjadi karena ide tentang sosial demokrasi yang dibawa Sjahrir gagal ditransfer ke masyarakat bawah.
Senjakala Sang Perdana Menteri
PSI pada akhirnya dibubarkan Soekarno pada tahun 1960 akibat dituduh terlibat dalam pemberontakan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Sumatera. Pada tahun 1962, Sjahrir ditangkap atas tuduhan sebagai dalang percobaan pembunuhan terhadap Soekarno dalam aksi pelemparan granat di Jalan Cendrawasih, Makassar. Tuduhan langsung dilontarkan kepada orang-orang Republik Persatuan Indonesia (RPI), yang merupakan terusan dari pemberontakan PRRI, dan berujung pada penangkapan tokoh-tokoh PSI dan Masyumi.
Rudolf Mrazek menyebutkan bahwa ada desas desus tentang “Bali connection” – sebutan yang diberikan oleh Soebandrio, Kepala Badan Poesat Intelijen (BPI) terhadap kelompok rahasia yang merencanakan pembunuhan Soekarno dengan Sjahrir sebagai salah satu anggotanya. Lebih jauh, tuduhan kemudian mengarah kepada pimpinan-pimpinan PSI dan Masyumi, termasuk Sutan Sjahrir.
Baca Juga: Bila Indonesia Jadi Negara Serikat
Soekarno sendiri disebut percaya terhadap informasi dari BPI tersebut dan diungkapkan dalam otobiografinya yang disusun oleh penulis Amerika Serikat, Cindy Adams. Sjahrir ditangkap dan dipenjara tanpa diadili.
Ia ditahan dan kondisi stres dalam penjara membuat tekanan darah tingginya memburuk. Ia akhirnya kena stroke saat ditahan di Rumah Tahanan Militer (RTM) Budi Utomo, Jakarta. Apalagi, di sana, Sjahrir ditempatkan pada sebuah kamar yang lembap yang persis di sebelah kamar mandi/toilet.
Hatta sebagai kawan lama Soekarno dan Sjahrir sempat meyakinkan sang presiden lewat sepucuk surat bahwa kepercayaannya pada dugaan BPI adalah salah. Hatta menyebut bahwa Sjahrir memang tidak segan menjadi oposisi yang keras dalam berpolitik tetapi, untuk mengikuti cara teror, itu adalah hal yang tak mungkin. Walaupun demikian, Soekarno tampaknya lebih mempercayai informasi intelnya.
Dalam penjara, kesehatan Sjahrir terus memburuk dan bahkan kiriman makanan dietnya dari rumah tidak boleh masuk sama sekali, demikian ditulis Rosihan Anwar dalam Perdjalanan Terachir Pahlawan Nasional Sutan Sjahrir. Beberapa sumber menyebut dirinya pernah jatuh pingsan pada suatu malam dan para tentara penjaga tak kunjung memberikan bantuan medis karena harus memerlukan izin dari Jaksa Agung.
Barulah di pagi harinya ia dibawa ke dokter tetapi putra Minang itu tak lagi bisa bicara. Hasjim Ning – pengusaha dan sahabat Sjahrir dan Soekarno menemui sang presiden dan memintanya untuk mengizinkan Sjahrir berobat keluar negeri. Meskipun awalnya ditolak, Soekarno akhirnya mengizinkannya berobat dengan catatan: “Jangan ke Belanda dan tetap sebagai tahanan politik.”
Istri Sjahrir, Siti Wahjunah alias Poppy, membawanya berobat pada 21 Juli 1965 ke Zurich, Swiss. Semua biaya pengobatan ditanggung oleh negara.
Sjahrir berada di Swiss hingga meninggal dunia pada 9 April 1966. Meski begitu, di hari meninggalnya, Soekarno meneken SK Presiden RI No. 76 Tahun 1966 yang isinya menyatakan Sutan Sjahrir sebagai Pahlawan Nasional.
Kisah Sjahrir adalah perjalanan panjang seorang pejuang bangsa yang tak takut mengeluarkan ide-idenya. Ini juga menggambarkan sengitnya politik kekuasaan di era-era awal kemerdekaan Indonesia.
Baca Juga: Buya Hamka: Tak Dendam Meski Dipenjara Soekarno
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.