Site icon PinterPolitik.com

Soekarno, Poliglot Musuh Belanda

Soekarno, Poliglot Musuh Belanda

Presiden Soekarno (kiri) berbincang-bincang kala menghadiri sebuah kegiatan. (Foto: Lowy Institute)

Tidak banyak yang tahu bahwa Ir. Soekarno (Bung Karno) yang dikenal sebagai Bapak Proklamator Kemerdekaan Indonesia merupakan seorang poliglot – sebutan untuk individu yang menguasai banyak bahasa. Mengapa sang poliglot ini menjadi musuh bebuyutan Belanda?


PinterPolitik.com

Di hari yang cerah pada 28 Desember 1949, para warga Jakarta berkumpul di suatu lapangan untuk menyaksikan pidato Ir. Soekarno – sosok yang dikenal sebagai Bapak Proklamator Kemerdekaan Indonesia. Momen ini terjadi sehari setelah Belanda akhirnya memberikan pengakuan kedaulatan atas Indonesia.

Karisma Soekarno yang begitu besar tergambar jelas dari bagaimana masyarakat berbondong-bondong datang dan berusaha menyaksikan pidatonya itu. Tak diragukan lagi, hal-hal yang demikian inilah yang membuat pria yang juga akrab disapa sebagai Bung Karno itu dianggap layak menjadi orang yang membawa beban kepemimpinan negara di awal-awal kemerdekaan.

Namun, Soekarno juga manusia – memiliki hal-hal yang baik sekaligus yang buruk. Sosok yang memiliki nama kecil Kusno itu memang berakhir menjadi penguasa yang berkuasa layaknya raja-raja Jawa. Politik mercusuarnya keras. Perlakuannya kepada kawan dan lawan politik juga keras.

Sementara, di saat yang sama, kehidupan masyarakat justru tengah berada dalam kondisi sulit secara ekonomi. Tak heran, aktivis seperti Soe Hok Gie pernah menyebut Soekarno sebagai “manusia yang baik tetapi tragis hidupnya”.

Lalu, seperti apa sejarah awal pemimpin yang menguasai setidaknya sembilan bahasa ini dan mengapa sampai sekarang banyak orang Belanda masih membencinya?

Mengenal Soekarno

Ir. Soekarno lahir di Soerabaja (sekarang Surabaya), Hindia Belanda, pada 6 Juni 1901. Penentuan tempat lahirnya ini sempat jadi polemik karena, di era Orde Baru, terjadi upaya pengaburan fakta sejarah terkait Soekarno dan ia disebut lahir di Blitar. Ini sempat ramai gara-gara pidato Presiden Jokowi di tahun 2015 lalu yang menyebut Soekarno lahir di Blitar.

Soekarno kecil awalnya diberi nama Koesno Sosrodihardjo. Namun, karena sering sakit-sakitan, namanya diganti menjadi Soekarno ketika berumur 11 tahun.

Baca Juga: Ketika I.J. Kasimo “Tertawakan” Nasakom Soekarno

Soal kisah nama ini juga menarik karena di beberapa negara di Timur Tengah, Soekarno juga dikenal dengan nama Ahmad Soekarno atau Achmed Soekarno. Soekarno sendiri kurang suka dengan nama itu dan menyebutnya sebagai nama yang diberikan oleh para wartawan selayaknya kebiasaan penamaan di Barat yang punya nama depan.

Ida Ayu Nyoman Rai, ibu kandung Soekarno adalah perempuan asal Bali dari keturunan bangsawan. Sementara, ayah Soekarno, Raden Soekemi Sosrodihardjo, disebut berasal dari keturunan Sultan Kediri. Dari pernikahan mereka, lahirlah dua anak yang bernama Soekarmini dan Soekarno.

Latar belakang keluarga Soekarno ini bisa dibilang berasal dari keluarga bangsawan. Makanya, tidak heran ketika melihat perjalanan dan perjuangan hidupnya, Soekarno selalu merefleksikannya dari posisinya sebagai bagian dari golongan kelas atas – demikian seperti ditulis dalam buku Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia.

Sebagai seorang guru, ayah Soekarno memang selalu menyempatkan diri mengajari putranya untuk membaca dan menulis. Latar belakang keluarga inilah yang juga membuat Soekarno selalu kaya akan ide dan gagasan.

Ketika berusia enam tahun, Soekarno dan keluarganya pindah ke Mojokerto. Ia bersekolah di Tweede Inlandsche School (Sekolah Ongko Loro) untuk anak-anak bumiputra – di mana ayahnya menjadi kepala sekolah. Lulus dari Sekolah Ongko Loro, Soekarno melanjutkan ke Europesche Lagere School (ELS). Setelah lulus dari ELS, ia pindah ke Soerabaja untuk bersekolah di Hogere Burgerschool (HBS) Soerabaja (sekarang SMA Kompleks di Surabaya).

Sejak berusia 14 tahun, Soekarno telah jadi anggota organisasi kepemudaan Jong Java. Saat di HBS, Soekarno tinggal di rumah tokoh Sarekat Islam (SI) yang bernama H.O.S. Tjokroaminoto. Tjokroaminoto adalah guru, bapak kos, dan ke depannya menjadi mertua Soekarno sendiri. Sebagaimana diketahui, Sukarno menikahi Oetari, anak Tjokroaminoto, di usia 22 tahun.

Usai dari HBS Surabaya, Soekarno melanjutkan kuliah jurusan teknik sipil di Technische Hoogeschool di Bandung (sekarang ITB). Pada tahun 1926, Soekarno mendirikan kelompok studi bernama Algemeene Studie Club yang menjadi cikal bakal berdirinya Partai Nasional Indonesia (PNI).

Baca Juga: Saat Soekarno Bertemu Atatürk

Karena aktivitasnya di PNI ini, pada 29 Desember 1929, Soekarno dijebloskan ke penjara. Ia baru dibebaskan pada 31 Desember 1931 dan kemudian ikut dengan Partai Indonesia (Partindo) pada 1932. Selang beberapan tahun, Soekarno lagi-kagi ditangkap dan diasingkan ke Ende, Flores – tepatnya pada Agustus 1933 sampai sekitar tahun 1938.

Tak cukup sampai di sana, Soekarno kemudian diasingkan lagi ke Gading Cempaka, Bengkulu. Ia baru dibebaskan pada 1942 menjelang Jepang menduduki Indonesia. Di Bengkulu ini pula, Soekarno bertemu dengan Fatmawati yang kemudian menjadi ibu negara di kemudian hari.

Sang Poliglot Musuh Belanda

Akibat aktivitas-aktivitas politiknya, Soekarno memang menjadi tokoh berkarisma. Gagasan-gagasannya dan kemampuannya berorasi memukau banyak orang dan memang membuat Belanda ketar-ketir. Soekarno sendiri disebut menguasai banyak bahasa, mulai dari bahasa Jawa, Sunda, Bali, Arab, Belanda, Jerman, Prancis, Inggris dan Jepang.

Kemudian, selama masa pendudukan Jepang, sejumlah tokoh pergerakan Indonesia – termasuk Soekarno – diwadahi dalam Pusat Tenaga Rakyat (Putera) dan Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Di sidang BPUPKI pertama itulah, pada 1 Juni 1945, Sukarno melahirkan gagasan konsep tentang dasar negara yang kini dikenal sebagai Pancasila.

Setelah BPUPKI dibubarkan dan diganti menjadi Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada 7 Agustus 1945, Soekarno terpilih sebagai ketua. Kisah selanjutnya tentu saja adalah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945.  Sehari setelah merdeka, PPKI kembali bersidang dan menetapkan Soekarno dan Moh. Hatta sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia.

Boleh jadi, kemampuan Soekarno dalam menggerakkan masyarakat lewat pidatonya kemudian menjadi alasan banyak orang Belanda membencinya hingga sekarang. Mereka kembali ke Indonesia setelah kekalahan Jepang dalam Perang Dunia II dengan inti sari “membebaskan” Indonesia. Namun, Soekarno malah mengajak rakyat untuk melawan orang-orang Belanda itu.

Menurut Bonnie Triyana, rasa permusuhan terhadap sosok Soekarno bisa jadi karena ada kebutuhan untuk menghadirkan wujud musuh itu sendiri. Ini semacam personifikasi musuh untuk membenarkan tindakan brutal pemerintah Belanda pada era 1945-1949. Apapun itu, yang jelas Soekarno akan dikenang lewat gagasan-gagasan dan orasi-orasi briliannya.

Baca Juga: Mengapa Megawati “Kultuskan” Soekarno?


► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Exit mobile version