HomeSejarahSejarah Perang Coca-Cola vs Pepsi

Sejarah Perang Coca-Cola vs Pepsi

Coca-Cola dan Pepsi mungkin sudah dikenal sebagai perusahaan produsen soda yang tersebar di banyak negara. Namun, ada kisah menarik di balik persaingan cola wars ini. Bagaimanakah sejarah yang terjadi di antara keduanya?


PinterPolitik.com

Siapa yang tidak kenal dengan soda jenis cola. Soda yang biasanya berwarna hitam gelap ini merupakan salah satu jenis soda yang bisa ditemui di negara mana pun.

Namun, seperti yang kita tahu, ada juga berbagai merek dan perusahaan yang menjual soda minuman jenis ini. Mungkin, dua merek yang paling populer adalah Coca-Cola dan PepsiCo.

Meski Pepsi kini tidak lagi hadir di Indonesia, dua merek populer ini saling bersaing di berbagai belahan dunia. Bahkan, persaingan keduanya ini disebut sebagai cola wars.

Tajuk cola wars ini bukan asal nama. Lihat saja bagaimana strategi marketing dua perusahaan soft drink terbesar di dunia ini bersaing satu sama lain. Mulai dari selebriti, atlet, pesepakbola, ajang olahraga, dan lain sebagainya, laris manis jadi bintang iklannya. Dikotomi ini pun terjadi di berbagai sektor hiburan, seperti: Beyonce dengan Pepsi vs Taylor Swift dengan Coca-Cola, Lionel Messi dengan Pepsi vs LeBron James dengan Coca-Cola, dan seterusnya.

Namun, pernahkah kalian berpikir bagaimana sebetulnya persaingan ini bisa terjadi? Benarkah tajuk cola wars ini dimenangkan oleh Coca-Cola?

Asal-Usul Dua Raksasa Soft Drinks

Dibandingkan Pepsi, Coca-Cola telah ada lebih dahulu. The Coca-Cola Company berdiri pada tahun 1892 di Atlanta, Georgia, Amerika Serikat (AS), walaupun sebenarnya formula resep Coca-Cola telah ditemukan oleh pharmacist John Stith Pemberton pada tahun 1886.

Baca Juga: Saatnya Minum “Jamu” ala Jokowi?

Sementara, PepsiCo sebagai perusahaan memang baru berdiri pada 1965. Namun, merek minuman ini telah ada sejak tahun 1893 dengan nama Brad’s Drink dan diperkenalkan oleh Caleb Bradham – sebelum diubah namanya menjadi Pepsi-Cola pada tahun 1898. 

Coca-Cola awalnya dibuat untuk obat – berbeda dengan Pepsi yang sedari awal memang sudah dibuat untuk minuman ringan bersoda. Coca-Cola bahkan awalnya punya kandungan cocaine di dalamnya – meskipun kadar kandungannya kecil – yang kemudian dihapuskan oleh presiden perusahaan tersebut, Asa Candler, pada 1903.

Sementara, Pepsi mendapatkan namanya dari Pepsis atau Pepsin yang dari bahasa Yunani yang artinya pencernaan. Walaupun belum bersaing sengit, sejak awal Pepsi memang dituduh sebagai “peniru” Coca-Cola.

Pada tahun 1932, Pepsi yang saat itu dimiliki oleh Charles Guth sempat bangkrut dan sempat ditawarkan kepada Robert Winship Woodruff yang saat itu menjadi Presiden Coca Cola Company. Namun, tawaran itu ditolak. Artinya, Coca-Cola sebetulnya sudah bisa “menghancurkan” Pepsi jika saat itu tawarannya diterima.

Saat Perang Dunia II bergulir, Woodruff yang merasa bisnisnya terancam akibat rationing atau pembatasan penjualan gula pergi ke Gedung Putih dan bicara pada pemerintah bahwa Coca-Cola adalah kebutuhan mendesak masa perang alias wartime necessity. Upayanya berhasil dan Coca-Cola dipasok ke banyak kamp militer Amerika Serikat.

Ini juga menjadi penanda bagaimana Coca-Cola dan iklannya menjadi icon patriotism AS di kancah internasional ketika logonya juga ada di berbagai medan perang yang didatangi tentara AS – selain juga karena tampil di Olimpiade. Hal ini tidak didapatkan oleh Pepsi – utamanya terkait sugar rationing tersebut.

Ada catatan yang mengatakan bahwa, selama era Perang Dunia II, para tentara dan sukarelawan perang AS mengonsumsi 10 miliar botol Coca-Cola. Bisa jadi, strategi di perang ini tercatat sebagai salah satu strategi marketing yang paling brilian dalam sejarah.

Di era Perang Dunia II ini juga, Coca-Cola memperkenalkan brand Fanta yang pertama kali diproduksi oleh Coca-Cola Company cabang Jerman akibat embargo yang diterapkan Adolf Hitler – membuat banyak bahan pembuatan Coca-Cola dari AS tak bisa masuk ke negara tersebut.

Baca Juga: Minuman Ringan Kena Cukai Sri Mulyani?

The Old vs The New

Pasca-Perang Dunia II, Coca-Cola merasa menjadi pemenang. Kedekatannya dengan pemerintah juga menjadi salah satu kunci utamanya. Namun, semuanya berubah perlahan sejak tahun 1950-an hingga 1960-an ketika industri soft drink dunia mengalami perubahan signifikan.

Perusahaan-perusahaan soft drink mulai menciptakan lebih dari satu brand minuman dengan rasa yang bervariasi. Selain itu, tak seperti Coca-Cola yang dikuasai secara tunggal oleh Woodruff, Pepsi misalnya punya lebih dari satu tokoh kunci perusahaan sehingga membuat dinamika dan inovasi berjalan lebih lancar – seperti iklan di televisi (TV).

Pepsi juga tidak berfokus pada generasi Perang Dunia II, tetapi pada generasi muda kala itu. Generasi peminum Pepsi juga diidentikkan dengan anak-anak muda yang tidak tradisional. Pangsa pasar Pepsi terus meningkat.

Hal ini bertambah buruk bagi Coca-Cola ketika pada tahun 1975, Pepsi meluncurkan Pepsi challenge. Jadi mereka melakukan semacam blind taste test dan memperlihatkan bahwa ketika konsumen tak tahu produk mana yang mereka minum, mereka cenderung lebih suka rasa dari Pepsi.

Kala itu, diklaim ada sekitar 11 juta orang di seluruh AS ikut dalam challenge ini. Momen inilah yang meningkatkan posisi market share Pepsi – bahkan mampu melampau Coca-Cola di tahun 1980-an di beberapa wilayah penjualan. Dekade ini memang menjadi “masa agak suram” bagi Coca-Cola.

Untuk menghadapi persaingan dengan Pepsi, perusahaan tersebut bahkan mempertimbangkan untuk mengubah “secret ingredient” alias resep rahasianya yang akhirnya berujung pada peluncuran produk bernama New Coke. Namun, penerimaannya jauh dari yang diharapkan. Masyarakat AS tak menyukai rasa baru tersebut dan melihatnya sebagai “pendobrakan tradisi”.

Bahkan, banyak orang membentangkan spanduk “Anti-New Coke”, menelepon perusahaan tersebut puluhan ribu kali untuk komplain, dan lain sebagainya. Banyak yang bahkan berseloroh bahwa mengubah rasa Coca-Cola lebih buruk daripada mengganti Konstitusi AS.

Baca Juga: Hengkangnya Pepsi dan Regulasi Sri Mulyani

PepsiCo putuskan berhenti berjualan di Indonesia

Kejadian ini menjadi perayaan tersendiri bagi Pepsi yang merasa diri sebagai pemenang dari The Cola Wars. Pepsi yang dahulunya dituduh sebagai imitator bahkan merayakannya dengan meliburkan semua pegawainya selama sehari.

Akibat kejadian ini, Coca-Cola akhirnya kembali meluncurkan produk klasik mereka dengan resep yang sebelumnya dipakai. Ini perlahan kembali menaikkan nama mereka dalam persaingan dengan Pepsi yang terus terjadi hingga saat ini.

Pada tahun 2018 lalu, nilai Coca-Cola Company mencapai US$230.6 miliar atau sekitar Rp 3.342 triliun dengan market share di AS mencapai 43,3 persen. Sementara, pada saat yang sama PepsiCo bernilai US$182.8 miliar atau sekitar Rp 2.649 triliun dengan market share di AS mencapai 24,9 persen. Coca-Cola mungkin masih lebih unggul tetapi ada sejarah ketika ia sempat terkapar dibandingkan Pepsi.

Politik Soda

Persaingan Coca-Cola dan Pepsi ini memang punya dimensi pembelajaran yang luas. Selain terkait strategi marketing-nya, kita juga jadi tahu bahwa Coca-Cola punya kedekatan dengan pemerintah AS hingga saat ini

Bahkan dalam salah satu dokumen Wikileaks disebutkan bahwa Coca-Cola punya kedekatan tersendiri dengan Bill Clinton dan Hillary Clinton – hal yang mungkin tak dipunyai oleh Pepsi.  

Marion Nestle – seorang profesor sosiologi, nutrisi, food studies dan public health dari New York University – dalam bukunya berjudul Soda Politics menyebutkan bahwa pertarungan politik antara Coca-Cola Company dan PepsiCo juga melibatkan strategi pemasaran yang menyasar ke kelompok anak-anak, minoritas, dan masyarakat low income, dan tidak sedikit yang menggunakan lobi untuk membatasi kritik terkait dampak kesehatan yang diakibatkan terlalu banyak mengonsumsi soda.

Lalu, bagaimana menurut kalian? Bila Pepsi memang sudah tersingkir dari pasar Indonesia, lantas, seperti apa persaingan antara Coca-Cola dan Pepsi ini harus dimaknai? Lalu, kalian ada di tim mana, Coca-Cola atau Pepsi?

Baca Juga: Apple vs Microsoft: Rival Jiplak dan Musuh yang Diciptakan?


► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Youtube Membership

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Ebook Promo Web Banner
Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutna
spot_imgspot_img

#Trending Article

Kok Megawati Gak Turun Gunung?

Ketua Umum (Ketum) PDIP, Megawati Soekarnoputri hingga kini belum terlihat ikut langsung dalam kampanye Pilkada. Kira-kira apa alasannya? 

Berani Prabowo Buka Pandora Papers Airlangga?

Ramai-ramai bicara soal kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) 12 persen yang disertai dengan protes di media sosial, tiba-tiba juga ramai pula banyak akun men-share kembali kasus lama soal nama dua pejabat publik – Airlangga Hartarto dan Luhut Pandjaitan – yang di tahun 2021 lalu disebut dalam Pandora Papers.

“Sekolam” Ahok, Kesaktian Anies Luntur?

Keputusan Anies Baswedan meng-endorse Pramono Anung-Rano Karno di Pilkada Jakarta 2024 memantik interpretasi akan implikasi politiknya. Utamanya karena Anies pada akhirnya satu gerbong dengan eks rivalnya di 2017 yakni Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan PDIP serta tendensi politik dinasti di dalamnya, termasuk yang terjadi pada Pramono.

Siasat Prabowo Akui Sengketa LCS

Pemerintahan Prabowo disorot karena ‘akui’ klaim tumpang tindih LCS dalam joint statement Tiongkok. Mungkinkah ada siasat strategis di baliknya?

Rahasia Triumvirat Teddy, AHY, dan Hegseth?

Terdapat kesamaan administrasi Presiden terpilih Amerika Serikat, Donald Trump dengan Presiden Prabowo Subianto, yakni mempercayakan posisi strategis kepada sosok berpangkat mayor. Kiranya, terdapat rahasia tertentu di balik kesamaan itu yang dapat mendukung support dalam dimensi tertentu ke pemerintahan masing-masing. Mengapa demikian?

Betulkah Jokowi Melemah? 

Belakangan mulai muncul pandangan bahwa pengaruh politik Jokowi kian melemah, hal tersebut seringnya diatribusikan dengan perkembangan berita judi online yang kerap dikaitkan dengan Budi Arie, dan kabar penangguhan jabatan doktor Bahlil Lahadalia, dua orang yang memang dulu disebut dekat dengan Jokowi. Tapi, apakah betul Jokowi sudah melemah pengaruhnya? 

Masihkah Prabowo Americans’ Fair-Haired Boy?

Dua negara menjadi tujuan utama Prabowo saat melakukan kunjungan kenegaraan pertamanya pasca dilantik sebagai presiden: Tiongkok dan Amerika Serikat.

Paloh Pensiun NasDem, Anies Penerusnya?

Sinyal “ketidakabadian” Surya Paloh bisa saja terkait dengan regenerasi yang mungkin akan terjadi di Partai NasDem dalam beberapa waktu ke depan. Penerusnya dinilai tetap selaras dengan Surya, meski boleh jadi tak diteruskan oleh sang anak. Serta satu hal lain yang cukup menarik, sosok yang tepat untuk menyeimbangkan relasi dengan kekuasaan dan, plus Joko Widodo (Jokowi).

More Stories

Menyingkap Sportwashing dalam Laga Indonesia-Bahrain

Kontroversi ini perpanjang daftar kritik terhadap wasit dari Timur Tengah, di tengah dugaan bias dan pengaturan skor sepak bola internasional.

Unlike Jokowi, Prabowo Will Be His Own Man

More assertive foreign policy and democratic backsliding are most likely on the horizon as Prabowo Subianto becomes the next Indonesian president.

Fenomena Gunung Es “Fake Review”

Fenomena fake review kini banyak terjadi di jual-beli daring (online). Siapakah yang dirugikan? Konsumen, reviewer, atau pelaku usahakah yang terkena dampaknya? PinterPolitik.com Sejak berlangsungnya proliferasi internet...