Pemberontakan PKI di tahun 1948 memang efeknya tidak sebesar tragedi 1965, namun menjadi catatan sejarah terkait kiprah besar komunisme di Indonesia, dengan salah satu toko utamanya: Musso.
Ya, Munawar Musso atau Muso dengan satu “S” alias Paul Mussote adalah salah satu pelaku sejarah Indonesia yang identik dengan PKI. Sosoknya menjadi orang di belakang Pemberontakan PKI Madiun pada 1948 yang disebut-sebut menewaskan hingga 1.920 orang itu.
Namun, kisah dan latar belakng Musso penuh simpang siur. Beberapa sumber menyebutnya sebagai anak dari seorang kiai besar di Kediri, sementara yang lain menyebutnya putra dari pegawai kantoran biasa. Selain itu, ia adalah salah satu pemimpin PKI yang punya akses ke pemimpin komunis Uni Soviet, Joseph Stalin.
Lalu, seperti apa sejarah sosok yang dikenal revolusionis dengan jalan pedang yang ingin dirikan Republik Indonesia Soviet dan pernah berbenturan dengan sosok kiri lain seperti Tan Malaka ini?
Benarkah Musso Anak Kiai?
Munawar Musso lahir pada 1897 di Desa Jagung, Kecamatan Pagu, Kabupaten Kediri, Jawa Timur. Ayahnya, Mas Martoredjo adalah seorang pegawai kantoran pada bank di Kecamatan Wates. Sementara ibunya bekerja di rumah, mengelola kebun kelapa dan kebun mangga.
Kisah latar belakang Musso ini menarik karena penelusuran dari Merdeka memberikan hasil yang berbeda. Disebutkan bahwa Musso adalah anak dari KH Hasan Muhyi alias Rono Wijoyo, seorang pelarian pasukan Diponegoro di wilayah Pagu, Kediri.
Penelusuran tersebut juga menemukan keterangan bahwa KH Hasan Muhyi adalah pendiri Pondok Pesantren Kapurejo. Beliau menikah sebanyak tiga kali, istri pertamanya adalah Nyai Juruyang yang memberinya 12 putra, salah satu di antaranya adalah Musso. Memang butuh investigasi sejarah yang lebih dalam untuk membuktikan mana versi yang benar.
Terlepas dari perbedaan latar belakang tersebut, Musso disebut sebagai bocah yang taat beragama. Ia melanjutkan pendidikan sekolah guru di Batavia pada usia 16 tahun. Ruth T. McVey dalam The Rise Of Indonesian Communism menyebutkan bahwa di sekolah ini ia bertemu dengan Alimin yang kelak juga akan menjadi pentolan PKI di kemudian hari.
Musso menjadi anak didik pertama G. A. J. Hazeu yang adalah penasihat pemerintah Hindia Belanda untuk urusan bumiputra. Hazeu sendiri mengangkat Alimin sebagai anak – ceritanya sih karena melihat Alimin yang masih jadi bocah gembel di alun-alun Solo membagi-bagikan secara rata uang yang ia terima dari Hazeu kepada teman-temannya. That’s socialism at its basic.
Di sekolah ini Musso juga berguru pada seorang reformis politik etis, D. Van Hinloopen Labberton. Madjalah Merdeka pada tahun 1948 menuliskan bahwa setelah tamat dari pendidikan guru di Batavia, Musso kuliah di kampus pertanian di Buitenzorg alias Bogor yang jadi cikal bakal IPB.
Semantara, ada sumber lain yang menyebutkan bahwa Musso pernah bersekolah di Hogere Burger School atau HBS di Surabaya. Musso disebut dua tingkat lebih senior dibandingkan Soekarno yang masuk HBS Surabaya pada tahun 1915. Di Surabaya ini Musso dan Soekarno ngekost di rumah HOS Tjokroaminoto bersama dengan Alimin. Rumah itu juga sempat menjadi tempat tinggal tokoh PKI lain, Semaun dan pemimpin gerakan DI/TII, Kartosoewirjo.
Arnold C. Brackman dalam Indonesian Communism menyebutkan bahwa Musso sempat bekerja sebagai kasir di Kantor Pos Besar Kebonrojo. Musso juga aktif di Sarekat Islam ketika Tjokroaminoto menggerakkan organisasi tersebut.
Di rumah Tjokroaminoto pula Musso bertemu dengan Henk Sneevliet – tokoh yang kemudian mendirikan ISDV, organisasi berhaluan Marxisme. Alimin, Semaun, Darsono, Mas Marco Kartodikromo dan Haji Misbach menjadi kader Sneevliet.
Melalui Musso dan Alimin pula Sneevliet memasukkan gagasan sosialis ke dalam Sarekat Islam dan membangun blok merah. Tonton selengkapnya di video Sejarah Sarekat Islam ya.
Soe Hok Gie pernah mewawancarai Darsono dan menyebutkan bahwa Musso adalah orang yang senang amuk-amukan karena ikut Sarekat Islam Afdeling-B alias Seksi B yang revolusioner dan didirikan oleh Sosrokardono pada 1917 di Garut. Akibatnya, sejarawan Ricklefs menyebutkan bahwa Musso dan Alimin sempat ditangkap oleh Belanda. Soe Hok Gie juga menyebutkan bahwa Musso mendapatkan political lesson tentang komunisme secara intensif di penjara.
Keluar Penjara Hingga Pelarian ke Moscow
Sekeluarnya dari penjara pada tahun 1923, Van Hinloopen Labberton ingin menjadikan Musso asisten mengajar di Jepang. Namun, hal itu ditolak, besar kemungkinan karena pandangan pemerintah Jepang bahwa Musso dianggap radikal dan ia juga pernah dipenjara.
Musso kemudian mendirikan Partai Komunis Indonesia cabang Batavia. Tak berselang, Semaun juga mendirikan Perserikatan Komunis Hindia yang kemudian menjadi Partai Komunis Indonesia. Musso dan Alimin kemudian bergabung dengan PKI Semaun.
Pada Desember 1925, PKI merencanakan pemberontakan terhadap pemerintahan Hindia Belanda. Sayangnya rencana tersebut diketahui dan pemerintah Hindia Belanda menangkap para pemimpin partai pada Januari 1926.
Musso berhasil melarikan diri ke Singapura. Ia dan beberapa tokoh lain seperti Sardjono, Mohammad Sanusi dan Alimin kemudian merencanakan revolusi. Mereka mengajak Tan Malaka, namun nama terakhir menolak gagasan tersebut. Peristiwa ini juga menandai perbedaan haluan yang mulai terjadi antara PKI dan Tan Malaka.
Nah, Musso dan Alimin kemudian berangkat ke Moscow untuk meminta dukungan bagi aksi revolusi di Indonesia. Di Moscow, Musso meminta dukungan Communist International (Comintern) untuk melakukan revolusi. Namun, permintaan tersebut ditolak karena Belanda dinilai masih terlalu kuat di Nusantara.
Untuk mencegah revolusi yang direncanakan, Comintern menginstruksikan agar mereka tetap tinggal di Soviet dan belajar di sana. Walaupun demikian, Musso masih bisa menginstruksikan orang-orangnya di Indonesia untuk melakukan pemberontakan yang rencananya disebut Tan Malaka “masih mentah” dan membahayakan gerakan komunisme di tanah air.
Musso dan Alimin kemudian belajar di Lenin School selama beberapa tahun. Pada tahun 1928, Musso ikut dalam Kongres ke-6 Comintern yang dipimpin oleh the one and only, Joseph Stalin. Musso kemudian menjadi anggota komite eksekutif Comintern. Pada tahun 1929, Musso disebut menikah dengan seorang perempuan Rusia. Dari pernikahan tersebut lahir dua orang anak.
Kemudian, pada tahun 1935, Musso kembali ke Surabaya untuk mengkonsolidasikan PKI. Ia bahkan mampu mengajak sosok seperti Amir Sjarifudin dan Tan Ling Djie untuk bergabung. Ia meminta mereka untuk menginfiltrasi organisasi-organisasi nasional. Namun, lagi-lagi usaha ini diketahui oleh pemerintah Hindia Belanda. Para anggotanya ditangkap dan dibuang ke Boven Digul. Sementara Musso berhasil melarikan diri kembali ke Moscow.
Pada tahun 1948, Musso memutuskan untuk kembali ke Tanah Air. Dalam perjalanannya ia singgah di Belgia, Prancis dan Belanda untuk bertemu dengan para pemimpin komunis di sana. Dalam perjalanan ini Musso juga menggagaskan apa yang ia sebut sebagai New Road alias Jalan Baru.
Tiba ke tanah air, Musso memperkenalkan pemikirannya dan menyebutkan bahwa revolusi yang terjadi di Indonesia terlihat seperti Revolusi Borjuis dan bukannya Revolusi Proleter murni.
“Jalan Baru” Musso menghendaki satu partai kelas buruh dengan memakai nama PKI. Untuk itu harus dilakukan fusi tiga partai yang bermazhab Marxsisme-Leninisme, yakni PKI ilegal, Partai Buruh Indonesia (PBI), dan Partai Sosialis.
Musso kemudian menggelar rapat raksasa di Yogyakarta. Di sini dia melontarkan pentingnya kabinet presidensial diganti jadi kabinet front persatuan. Musso juga menyerukan kerjasama internasional, terutama dengan Uni Soviet, untuk mematahkan blokade Belanda.
Untuk menyebarkan gagasannya, sejak awal September 1948, Musso bersama sejumlah pemimpin PKI bersafari ke daerah-daerah di Jawa, yaitu Solo, Madiun, Kediri, Jombang, Bojonegoro, Cepu, Purwodadi, dan Wonosobo. Di tengah safarinya itulah meletus “peristiwa” Madiun.
Peristiwa 1948 merupakan rangkaian yang cukup kompleks dari benturan yang terjadi saat itu, baik antara pemerintah dengan militer, PKI dan kelompok yang lain, serta di antara militer sendiri – misalnya antara kelompok pasukan Senopati dan Siliwangi.
Pecahnya konflik membuat Soekarno mengeluarkan maklumat yang memberikan pilihan, apakah memilih Soekarno-Hatta atau Musso. Pasukan Siliwangi akhirnya diminta untuk menyerang kekuatan PKI. Musso kemudian tewas pada 31 Oktober 1948 ketika mencoba melarikan diri.
Kepemimpinan PKI kemudian dilanjutkan oleh Alimin. Namun, warisan pemikiran Musso kemudian menginspirasi kader muda seperti Njoto, Aidit dan M.H. Lukman yang menjadi tokoh di peristiwa selanjutnya di tahun 1965.
Kisah tentang Musso adalah gambaran besar tentang benturan gagasan dan jalan perjuangan kemerdekaan yang terjadi di Indonesia. Ini juga menjadi gambaran peran Soviet dan gerakan komunis internasional dalam politik yang terjadi di Indonesia di era-era tersebut.
Nah, lalu bagaimana menurut kalian? Seperti apa kisah Musso ini harus dimaknai? #berikanpendapatmu (S13)
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.