HomeSejarahSejarah Jiwasraya: Ternyata Perusahaan Belanda?

Sejarah Jiwasraya: Ternyata Perusahaan Belanda?

Jiwasraya sempat menjadi perusahaan asuransi yang mendapatkan sorotan akibat skandal yang disebut menyebabkan kerugian negara hingga Rp13,7 triliun. Namun, sedikit orang tahu bahwa Badan Usaha Milik Negara (BUMN) ini sebenarnya memiliki sejarah yang cukup panjang yang terbentang dari era kolonial Hindia Belanda.


PinterPolitik.com

Polemik Jiwasraya sempat menjadi topik utama dalam buah bibir di antara para politisi dan pengambil kebijakan. Perusahaan asuransi pelat merah ini sempat disidik oleh Kejaksaan Agung terkait skandal yang menyebabkan kerugian negara hingga total Rp 13,7 triliun.

Selain itu, Jiwasraya disebut membutuhkan dana sekitar Rp 32,89 triliun untuk memenuhi rasio solvabilitas. Terlepas dari semua itu, seperti apa sebenarnya sejarah Jiwasraya yang sebetulnya adalah perusahaan yang didirikan di masa penjajahan Belanda?

Asal-usul Kelahiran Jiwasraya

Jiwasraya punya sejarah yang cukup panjang di negeri ini. Perusahaan ini awalnya bernama Nederlandsch Indiesche Levensverzekering en Liffrente Maatschappij alias NILLMIJ. Berdiri pada tanggal 31 Desember 1859, ini adalah perusahaan asuransi jiwa yang pertama kali ada di Indonesia yang kala itu masih bernama Hindia Belanda.

Pada tahun 1860-an, NILLMIJ yang oleh beberapa sumber juga ditulis Nilmij aktif menjalankan bisnisnya di Belanda. Kala itu, kantor NILLMIJ ada di Batavia, Surabaya, Semarang, Bandung dan Medan. Sementara, kantor cabang NILLMIJ di Belanda ada di Amsterdam, Rotterdam dan Den Haag.

Setelah Indonesia merdeka, iklim usaha – terutama yang berhubungan dengan perusahaan-perusahaan yang didirikan oleh Belanda – terus berubah-ubah. Kala itu, tepatnya pasca-Konferensi Meja Bundar (KMB) pada 1949, sentimen anti-Belanda tiba-tiba meningkat dan bahkan lebih gamblang dari sebelumnya.

Baca Juga: Menguak Kegagalan OJK Awasi Jiwasraya

Jiwasraya di Penghujung

Pada peringatan Sumpah Pemuda di Istana Negara misalnya, beberapa kantor perusahaan besar Belanda di Jakarta seperti Nationale Handels Bank dan maskapai penerbangan KLM dirusak dan tembok kantor itu dicoreti dengan nada provokatif – utamanya yang mengaitkannya dengan isu Irian Barat.

Namun, akibat KMB pula, korporasi-korporasi besar milik Belanda bisa kembali menjalankan operasinya di Indonesia. Sebut saja perusahaan macam NV Borsumij, NV Jacobson van den Berg, NV Internatio, NV Lindeteves, dan NV Geo Wehry yang sering dijuluki The Big Five. Mereka bergerak di bidang industri, transportasi, ekspor-impor, dan perkebunan. Akibatnya, perusahaan-perusahaan milik kaum lokal-pribumi kalah bersaing.

Golongan kiri seperti Partai Komunis Indonesia, pengikut politik Tan Malaka, dan serikat-serikat buruh adalah pihak paling gusar soal ini. Dari mereka pula wacana nasionalisasi perusahaan asing muncul.

Nasionalisasi sebenarnya sudah terjadi sejak tahun 1950-an. Namun, upaya yang lebih besar momentumnya baru terjadi sejak tahun 1957. Hal ini juga menimpa perusahaan-perusahaan asuransi jiwa milik Belanda yang ada di Indonesia, yang ikut dinasionalisasi sejalan dengan program Indonesianisasi perekonomian Indonesia.

NILLMIJ tak ketinggalan terdampak peristiwa ini. Akibat kebijakan tersebut, Dirk de Wit menyebutkan bahwa NILLMIJ kemudian memindahkan kantor pusatnya ke Belanda dan terus beroperasi di sana di tahun-tahun selanjutnya.

Baca Juga: Menyoal Nasib Jiwasraya

IG POTRAIT SIZE SQUARE

Sementara, NILLMIJ yang ada di Indonesia dinasionalisasi pada tanggal 17 Desember 1960 berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 23 tahun 1958 dengan mengubah namanya menjadi PT Perusahaan Pertanggungan Djiwa Sedjahtera. Kemudian, pada tahun 1961, sembilan perusahaan asuransi jiwa milik Belanda dengan inti NILLMIJ dilebur  menjadi Perusahaan Negara Asuransi Djiwa Eka Sedjahtera.

Pada tahun 1965, nama perusahaan diubah lagi menjadi Perusahaan Negara Asuransi Djiwa Djasa Sedjahtera. Setahun kemudian, didirikan Perusahaan Negara yang baru bernama Perusahaan Negara Asuransi Djiwasraja yang merupakan peleburan dari perusahaan negara Asuransi Djiwa Sedjahtera.

Pada tahun 1973, Perusahaan Negara Asuransi Djiwasraya berubah status menjadi Perusahaan Perseroan (Persero) Asuransi Jiwasraya yang kemudian menjadi PT Asuransi Jiwasraya pada 1984.

Kala Krismon 1998 Menyerang

Selama perjalanannya, Jiwasraya mengalami pasang surut. Di awal-awal bisnis asuransi yang dijalankan berjalan lancar. Namun, saat Krisis Moneter 1998 mengguncang ekonomi Indonesia, gejolak pun datang.

Kala itu, nilai tukar rupiah yang menembus Rp16 ribu per dolar AS dari yang semula hanya Rp2.362 per dolar AS membuat dunia perbankan dan jasa keuangan terpukul. Pemerintah kemudian mengeluarkan kebijakan semacam dana talangan atau bail-out. Namun, Direktur Utama Jiwasraya periode 2008-2018, Hendrisman Rahim, menyebutkan bahwa bantuan tersebut hanya dirasakan oleh bank sedangkan asuransi tidak mendapatkan hal yang sama.

Baca Juga: Benny Tjokro, “Kambing Hitam” Jiwasraya?

Selama beberapa tahun setelahnya, perusahaan ini terus bergulat dengan gejolak yang terjadi di awal reformasi tersebut. Kala itu, Jiwasraya mempunyai kewajiban Rp6,7 triliun yang harus dibayarkan.

Pada tahun 2014, perusahaan mendapatkan pujian dari Menteri BUMN kala itu, Dahlan Iskan, karena dianggap mampu keluar dari peliknya persoalan pasca-Krisis 1998. Di tahun ini pula, perusahaan tersebut menjadi sponsor klub sepak bola Inggris, Manchester City, dengan pengeluaran mencapai Rp 7,5 miliar per tahun.

Namun, nyatanya “sakit” perusahaan tersebut belum sembuh benar. Akhirnya, pada tahun 2018, persoalan ini mulai terendus – sebelum kemudian mengemuka dengan dahsyat seperti sekarang ini.

Kini, masyarakat, utamanya nasabah, harus dihadapkan pada kenyataan bahwa perusahaan gagal bayar. Ada setidaknya 17 ribu nasabah yang terdampak persoalan kali ini, dari total 7 juta pemegang polis Jiwasraya.

Konteksnya makin rumit karena beberapa pihak mulai mengaitkan hal ini dengan persoalan politik yang tentunya akan membuatnya berpotensi akan mengalami kebuntuan – seperti halnya yang terjadi pada kasus BLBI dan Bank Century.

Baca Juga: Jiwasraya, Tumbal Untuk Pilpres 2019?


► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Ebook Promo Web Banner
spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Dengarkan artikel ini: Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut. Meski belum juga terjadi, banyak yang...

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Menyingkap Sportwashing dalam Laga Indonesia-Bahrain

Kontroversi ini perpanjang daftar kritik terhadap wasit dari Timur Tengah, di tengah dugaan bias dan pengaturan skor sepak bola internasional.

Unlike Jokowi, Prabowo Will Be His Own Man

More assertive foreign policy and democratic backsliding are most likely on the horizon as Prabowo Subianto becomes the next Indonesian president.

Fenomena Gunung Es “Fake Review”

Fenomena fake review kini banyak terjadi di jual-beli daring (online). Siapakah yang dirugikan? Konsumen, reviewer, atau pelaku usahakah yang terkena dampaknya? PinterPolitik.com Sejak berlangsungnya proliferasi internet...