Permesta di Sulawesi dicatat sebagai salah satu pemberontakan terhadap kekuasaan Soekarno. Kendati demikian, gerakan tersebut masih menyisakan banyak pedebatan, khususnya soal intervensi Amerika Serikat di baliknya.
Ventje Sumual, ia adalah salah satu tokoh penting dalam Serangan Umum 1 Maret 1949, sekaligus tokoh utama dalam gerakan Perjuangan Rakyat Semesta alias Permesta di Sulawesi. Namun, meskipun telah dicatat di buku-buku sejarah, hingga saat ini masih menjadi perdebatan terkait Ventje dan gerakan Permesta yang diproklamasikannya, mengingat tujuan utama gerakan yang dicap sebagai pemberontakan tersebut adalah protes atas ketimpangan ekonomi antara Jawa dan luar Jawa kala itu. Apalagi, Permesta sendiri tak pernah ingin melepaskan diri dari Indonesia.
Sejarah Permesta tidak bisa dipisahkan dari gejolak yang terjadi pasca kemerdekaan Indonesia. Kala itu, Indonesia memang masih kesulitan secara ekonomi. Daerah-daerah di luar Jawa tertinggal dari sisi pembangunan. Sementara pada saat yang sama daerah-daerah tersebut masih harus membayar sekitar 70 persen pendapatannya ke pusat, sedangkan transfer dana dari pusat ke daerah sering kali terlambat.
Inilah yang menjadi salah satu alasan munculnya ketidakpuasan yang kemudian berujung pada gejolak politik seperti dalam kasus Permesta yang dimotori oleh Letnan Kolonel Herman Nicolas Ventje Sumual.
Awal Mula Ketidakpuasan Ventje
Ventje adalah putra asli Sulawesi Utara. Ia pernah bergabung dengan Kebangkitan Rakyat Indonesia Sulawesi atau KRIS pada masa-masa perang kemerdekaan, organisasi yang menurut Indonesianis Benedict Anderson berawal dari unit semimiliter bernama Choku-eitai, yang dibentuk oleh Laksamana Maeda – orang Jepang yang berjasa dalam Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.
Setelah ikut dalam Serangan Umum 1 Maret 1949 bersama Soeharto, Ventje kemudian menjadi bagian dari Angkatan Darat. Selesai pendidikan militer di Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat (SSKAD) di Bandung pada 1952, ia kemudian menjadi Kepala Staf Tentara dan Territorium VII/Wirabuana Indonesia Timur pada tahun 1956. Di posisi inilah Ventje melihat ketimpangan yang terjadi di Indonesia.
Minahasa yang menjadi tempat kelahiran Ventje, misalnya, adalah salah satu sentra perdagangan kopra. Pertengahan 1957, Minahasa memproduksi 49 ribu ton kopra dalam perdagangan antar pulau dan luar negeri, belum termasuk 230 ribu ton yang dibarter dengan Singapura.
Namun, pemerintah pusat kemudian mengambil alih Yayasan Kopra di Minahasa, sehingga menimbulkan kerugian bagi masyarakat akibat harga jual yang dipatok lebih rendah dibandingkan kopra dari Jawa. Ini menimbulkan gejolak di masyarakat wilayah tersebut yang berkontibusi pada dukungan terhadap gerakan seperti Permesta.
Konteksnya juga diperparah dengan transfer anggaran belanja dari pusat ke daerah yang kerap terlambat menjelang akhir masa anggaran. Ventje disebut pernah meminjam uang Rp 100 juta dari Bank Indonesia dan membagikannya ke daerah-daerah di Indonesia Timur untuk digunakan sebagai pembiayaan daerah sebesar Rp 2 juta per kabupaten.
Walaupun ada alasan ketimpangan ekonomi, namun beberapa sumber lain menyebutkan bahwa faktor utama munculnya gerakan seperti Permesta justru akibat konflik di internal militer sendiri. Hal ini salah satunya diungkapkan oleh jurnalis senior Harry Kawilarang.
Menurutnya, pertentangan itu muncul dari mantan tentara KNIL dan mantan tentara PETA yang memang terlibat perebutan pengaruh politik. Abdul Haris Nasution, misalnya, adalah salah satu tokoh yang dituduh oleh Ventje dan kawan-kawan “bermain politik”.
Konteksnya memang beralasan karena Soekarno mengangkat Nasution sebagai Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) meskipun pada tahun 1952, pimpinan Angkatan Darat di bawah Nasution sempat menodongkan senjata mengepung Istana dan DPR. Nasution kala itu dipecat, namun kemudian justru diangkat sebagai KSAD oleh Soekarno.
Selain itu, menguatnya posisi Partai Komunis Indonesia (PKI) juga menjadi alasan lain munculnya gejolak ini.
Semuanya kemudian bertambah pelik ketika Mohammad Hatta mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Wakil Presiden pada 1 Desember 1956. Hatta menilai posisinya sebagai Wakil Presiden tidak ada kekuatan sama sekali karena pemerintahan masih dipimpin oleh Perdana Menteri dan makin dominannya posisi Soekarno kala itu.
Munculnya PRRI dan Permesta
Sembilan belas hari setelah Hatta mundur, Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) muncul di Sumatra dan Permesta di Sulawesi. Rumusan bahwa Indonesia utuh kalau ada wakil dari Jawa dan luar Jawa di pucuk tertinggi negara mendapatkan pembuktiannya saat itu.
Permesta sendiri resmi diproklamasikan pada 2 Maret 1957, jam 3 dini hari yang dihadiri oleh 51 orang. Ventje membacakan teks proklamasi Permesta dan memberlakukan darurat perang. Konteks penolakan Permesta dari cap pemberontakan jelas terlihat dalam naskah proklamasi tersebut, di mana ada penegasan bahwa gerakan tersebut tidak bertujuan untuk melepaskan diri dari Republik Indonesia.
Selain Ventje, tokoh utama lain dalam Permesta adalah Alex Evert Kawilarang yang merupakan pendiri Kesatuan Komando Tentara Territorium III/Siliwangi alias Kesko TT yang hingga kini dikenal sebagai Kopassus. Kawilarang mundur dari jabatannya sebagai Atase Militer di Amerika Serikat (AS) dan bergabung dengan Permesta.
Tokoh utama lainnya adalah Jacob Frederick Warouw, seorang petinggi militer yang sempat menjadi atase militer di Beijing. Pria yang dikenal dengan nama Joop Warouw ini menduduki jabatan sebagai Wakil Perdana Menteri dan sekaligus sebagai Menteri Pembangunan PRRI. Warouw adalah konseptor pembangunan PRRI dan Permesta, yang salah satu kebijakannya adalah mencetak uang sendiri. Pecahan 100 bisa untuk makan di warung dan pecahan 500 bisa untuk membeli 2 ekor ayam. Mereka juga membangun Universitas Permesta di Manado.
Ventje dan Joop Warouw sempat bertemu Soekarno di Tokyo dan sepakat soal perlunya pendinginan suasana. Namun, upaya tersebut gagal mencapai solusi yang “dingin” sebab Nasution sudah terlanjur mengebom Padang dan Manado. Perintah pengeboman tersebut diambil menyusul ultimatum yang dilakukan oleh para anggota Dewan Banteng di Sungai Dareh.
Pemerintah pusat memang mengambil langkah tegas menghadapi gejolak politik ini. Nasution mempersiapkan operasi militer yang disebut Operasi Militer IV dengan pimpinan Letkol Bardosono pada bulan Maret 1958.
Pada akhirnya bom yang dijatuhkan oleh Angkatan Udara RI atau AURI di Padang, Manado, dan Ambon membuat Sumual dan para pendukung Permesta mau tidak mau ikut menyerang.
Ada AS di Baliknya?
Tentu pertanyaannya, bagaimana mereka percaya diri bisa melawan Nasution dan pemerintah pusat? Menurut berbagai pihak, ternyata ada dukungan dari Amerika Serikat lewat operasi CIA dalam bentuk persenjataan dan kekuatan tempur. Bahkan beberapa persenjataan yang dimiliki Permesta tak dipunyai oleh Angkatan Perang RI atau APRI.
Kekuatan Permesta kala itu adalah sekitar 5000 personel mantan anggota KNIL yang terlatih, eks anggota APRI yang membelot, serta sukarelawan yang dikenal dengan Calon Prajurit Permesta kurang lebih berjumlah 30.000 orang.
Yang paling menentukan, Permesta juga memiliki sejumlah pesawat tempur yang didatangkan langsung dari luar negeri dan merupakan tulang punggung kekuatan udaranya yang dinamai Angkatan Udara Revolusioner atau AUREV.
Di antaranya terdiri dari 19 pesawat pengebom dan juga penyerang B-26 Invader, dua pesawat tempur pemburu P-51 Mustang, dua pesawat transport Curtiss C-46 Commando dan dua pesawat Lockheed 12. Dibandingkan kekuatan udara AUREV, kekuatan udara AURI sebenarnya kalah jauh. Namun, AURI unggul secara strategi tempur.
Rencana Ventje kala itu adalah langsung menyerang Jakarta. Menurutnya mudah saja menjatuhkan Jakarta, yakni tinggal menguasai Bandara Kemayoran, kemudian mengebom kilang minyak di Tanjung Priok. Jawa dipastikan akan lumpuh jika strategi itu berhasil.
Sayangnya, rencana itu tak bisa dieksekusi ketika salah satu pesawat Permesta yang dipiloti agen CIA, Allan Lawrence Pope berhasil ditembak jatuh. Allan ditangkap dan membuat AS menarik diri dari keterlibatannya di Permesta.
Pasca peristiwa itu, otomatis kekuatan Permesta yang tersisa adalah yang di darat. Setelah terdesak, akhirnya satu per satu pemimpin Permesta dan pasukannya menyerahkan diri. Alex Kawilarang dan Ventje Sumual akhirnya menyerahkan diri. Walaupun dituduh memberontak, mereka akhirnya mendapatkan amnesti dan abolisi dari Soekarno. Nasib berbeda dialami oleh Joop Warouw yang tewas dalam tragedi ini.
Sekalipun berakhir, Permesta menjadi tonggak penting terkait intervensi Amerika Serikat dalam politik di Indonesia. Ini juga menjadi bagian dari perjuangan pemerataan pembangunan nasional. Tak heran, jika PRRI mendatangkan trauma bagi masyarakat Minang, Permesta justru menjadi kebanggaan tersendiri bagi banyak masyarakat di Sulawesi, terutama terkait intisari perjuangannya.
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.