Beasiswa Supersemar sukses mencetak ribuan alumni cemerlang. Mereka terdiri atas lulusan S1, S2, S3, bahkan di antaranya ada yang telah menjadi guru besar. Tidak sedikit dari alumni beasiswa tersebut yang menjadi tokoh nasional.
“Mereka yang menerima atau pernah menerima bantuan Supersemar itu banyak yang berkirim surat, menyatakan terima kasih.”
::Soeharto dalam otobiografinya “Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya“::
Masih ingat Nono? Siswa kelas 2 Sekolah Dasar (SD) Inpres Buraen II dari Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT) itu berhasil menjadi juara pertama dalam kompetisi matematika International Abacus World 2022 beberapa waktu lalu. Meski usianya masih sangat muda, ia berhasil mengharumkan nama Indonesia di kancah internasional. Nono sukses mengalahkan 7000 orang peserta dari negara lain.
Prestasi yang ditorehkan Nono kemudian menarik atensi sebagian pejabat tinggi Indonesia, salah satunya Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Nadiem Makarim. Menteri yang sebelumnya dikenal sebagai perintis perusahaan start-up itu berniat menghadiahkan laptop untuk Nono. Akan tetapi, tawaran tersebut ditolak bocah asal Kupang tersebut yang rupanya lebih memilih bola dan beasiswa untuk bersekolah di sekolah-sekolah terbaik di jenjang pendidikan berikutnya.
Pilihan Nono ini memang patut diacungi jempol karena ia lebih memilih diberikan biaya untuk membantu pendidikannya, ketimbang laptop yang tentu bisa saja rusak dalam beberapa tahun pemakaian.
Menariknya, pemberian beasiswa kepada pelajar atau mahasiswa berprestasi oleh Pemerintah Indonesia telah berlangsung sejak lama. Hal demikian diwujudkan sebagai ikhtiar untuk memenuhi amanat konstitusi Indonesia, yaitu “mencerdaskan kehidupan bangsa.” Salah satunya adalah tentang beasiswa Supersemar yang fenomenal di era Presiden Soeharto.
Tekad Presiden Soeharto
Salah satu beasiswa yang sangat populer bagi sebagian besar masyarakat Indonesia ialah Beasiswa Supersemar. Darmasiswa ini dikelola oleh Yayasan Supersemar yang dibentuk oleh Presiden Soeharto pada 16 Mei 1974.
Soeharto dalam otobiografinya yang berjudul Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya (1989) tulisan G. Dwipayana dan Ramadhan K.H. menjelaskan bahwa pembentukan Yayasan Supersemar tidak bisa dipisahkan dari keberadaan pelajar-pelajar Indonesia berprestasi yang terkendala secara finansial.
“Kalau dibiarkan begitu (putus sekolah tanpa biaya), maka hal itu adalah kekuatan yang tidak bisa dikembangkan dalam membentuk kader bangsa. Maka, orang yang pandai tetapi tidak mampu itu perlu diberi kesempatan. Untuk itu, diperlukan bantuan, bahkan beasiswa bagi mereka”, demikian ujar Soeharto.
Tekad mulia Soeharto dalam kenyataannya tidak sepi dari kontroversi. Ia bukan hanya mendirikan Yayasan Supersemar, tetapi juga turut mendirikan yayasan lain, seperti Yayasan Dharma Bhakti Sosial (DHARMAIS), Yayasan Amal Bhakti Muslim Pancasila (YABMP), dan Yayasan Dana Abadi Karya Bakti (DAKAB).
Soeharto mengklaim bahwa dirinya membentuk yayasan-yayasan itu untuk menggerakkan kemampuan pemerintah dan masyarakat.
Yayasan Supersemar dan yayasan lain yang dikelola oleh Soeharto memperoleh dana dari donasi bank-bank negara. Hal itu dikukuhkan dalam Peraturan Pemerintah No. 15 tahun 1976. Melalui regulasi ini, bank-bank negara diwajibkan menyisihkan sisa laba bersih sebanyak 5 persen untuk keperluan di bidang sosial.
Sasaran pemberian beasiswa ini adalah para mahasiswa, siswa, dan atlet Indonesia berprestasi yang memiliki keterbatasan finansial. Bantuan yang diberikan Beasiswa Supersemar berupa uang dengan nominal yang besar pada zamannya.
Untuk mahasiswa, Yayasan Supersemar bekerjasama dengan rektor-rektor universitas se-Indonesia. Pihak yayasan meminta kepada rektor untuk mengajukan kandidat penerima beasiswa. Nominal uang yang diberikan Yayasan Supersemar untuk mahasiswa pada pertengahan 1980-an berkisar antara Rp25 ribu sampai Rp30 ribu per bulan. Khusus untuk mahasiswa di daerah Jakarta dan Bandung besaran beasiswa ditetapkan seragam yaitu sebesar Rp30 ribu per bulan.
Sedangkan bantuan untuk siswa diberikan khusus pada para siswa SMP melalui perantaraan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Yayasan Supersemar hanya berkenan memberikan bantuan pada murid-murid SMP berprestasi dari mempunyai keluarga kurang mampu dan berminat melanjutkan studi ke sekolah kejuruan. Beasiswa tidak berlaku untuk siswa SMA umum karena prospek kerjanya dinilai belum jelas.
Siswa SMP penerima Beasiswa Supersemar diperbolehkan menerima beasiswa dari mulai kelas 1 sampai lulus. Nominal uang yang diberikan Yayasan Supersemar untuk siswa SMP pada pertengahan 1980-an mencapai Rp10.000 per bulan. Jumlah ini kemudian naik menjadi menjadi Rp12.500 per bulan pada tahun ajaran 1987-1988.
Adapun beasiswa untuk para atlet berprestasi, disalurkan oleh Yayasan Supersemar melalui asosiasi-asosiasi atlet seperti Persatuan Atletik Seluruh Indonesia (PASI), dengan nominal uang yang sama dengan mahasiswa yaitu sebesar Rp30 ribu per bulan.
Para penerima Beasiswa Supersemar dituntut untuk berprestasi. Mahasiswa penerima Beasiswa Supersemar dituntut mendapatkan hasil akademik yang baik. Perkembangan mereka senantiasa diawasi. Jika mereka tidak mampu mencapai hasil akademik yang baik, maka beasiswa mereka akan dicabut.
Sekalipun para penerima Beasiswa Supersemar kebanyakan adalah kalangan mahasiswa, mereka nyatanya tidak ragu melancarkan kritik terhadap rezim Orde Baru. Mereka tetap berani turun aksi ke jalan dan mengoreksi kepemimpinan Soeharto melalui media massa. Ini juga menunjukkan bahwa Soeharto tetap membuka ruang-ruang kritik dari masyarakat kala itu.
Mencetak Alumni Cemerlang
Beasiswa Supersemar sukses mencetak ribuan alumni cemerlang. Mereka terdiri atas lulusan S1, S2, S3, bahkan di antaranya ada yang telah menjadi guru besar. Tidak sedikit dari alumni beasiswa tersebut yang menjadi tokoh nasional.
“Mereka yang menerima atau pernah menerima bantuan Supersemar itu banyak yang berkirim surat, menyatakan terima kasih”, demikian kata Soeharto dalam otobiografinya.
Salah satu tokoh nasional yang pernah menerima Beasiswa Supersemar ialah Prof. Dr. Mahfud MD, yang kini menjabat sebagai Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam).
Dalam buku Sahabat Bicara Mahfud MD (2013) suntingan Saldi Isra dan Edy Suandi Hamid, diterangkan bahwa Mahfud MD menerima Beasiswa Supersemar ketika sedang menempuh studi S1 di Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) dan ketika menempuh studi S3 di Universitas Gadjah Mada (UGM).
Dilansir dari situs unpad.ac.id, beberapa tokoh nasional lain yang juga menjadi penerima Beasiswa Supersemar adalah Prof. Dr. Muhammad Nuh (Menteri Pendidikan dan Kebudayaan 2009-2014), Prof. Dr. K.H. Nasaruddin Umar (Imam Besar Masjid Istiqlal), Dr. Ir. Pramono Anung (Sekretaris Kabinet 2014-2024), Prof. Bambang Brodjonegoro (Menteri Riset dan Teknologi 2019-2021), Prof. Dr. Pratikno (Menteri Sekretaris Negara 2019-2024), dan masih banyak yang lain.
Senja Kala Yayasan Supersemar
Yayasan Supersemar selaku pihak yang mengelola Beasiswa Supersemar tetap bertahan meski Orde Baru tumbang. Sayangnya, memasuki Era Reformasi, Yayasan Supersemar kerap digugat di meja hijau. Para penggugat menuduh adanya indikasi penyelewengan dana yayasan oleh Soeharto.
Dilansir dari BBC News Indonesia, Kejaksaaan Agung memerintahkan Yayasan Supersemar untuk membayar ganti rugi sebesar Rp 4,4 triliun pada 2015. Akibat putusan itu, beberapa aset milik yayasan disita seperti Gedung Granadi di Jakarta dan satu vila di Megamendung, Bogor. Selain itu, kini, rekening Yayasan Supersemar telah diblokir per 8 Desember 2015, sehingga tidak bisa menyalurkan dana beasiswa.
Keluarga Mahasiswa dan Alumni Penerima Beasiswa Supersemar (KMA-PBS) atas nama seluruh mahasiswa penerima Beasiswa Supersemar menentang eksekusi terhadap Yayasan Supersemar pada 2016. Mereka menilai, eksekusi tersebut telah menghambat kelangsungan studi sekitar 7000 orang penerima beasiswa.
Terlepas dari berbagai kontroversi yang ada, patut diakui bahwa terobosan program Beasiswa Supersemar telah membantu banyak anak Indonesia untuk berprestasi dan bahkan banyak yang menjadi tokoh-tokoh penting nasional.
Mungkin ini salah satu poin yang harus dicatat dalam sejarah republik ini, bahwa pembangunan sumber daya manusia Indonesia yang baik telah diupayakan oleh pemerintahan Soeharto. Memang ada kekurangan di sana sini, tapi setidaknya Soeharto telah menggariskan pentingnya pendidikan dijadikan acuan pembangunan negara.
Harapannya, semangat mendukung anak-anak Indonesia yang berprestasi ini bisa diteruskan oleh pemimpin-pemimpin selanjutnya, sehingga Nono-Nono lainnya bisa menikmati beasiswa untuk pendidikan yang berkualitas.
***