Kekuasaan Adolf Hitler di Jerman sudah lama berakhir dengan kekalahan Jerman Nazi di Perang Dunia II. Namun, sosok Hitler tidak dipungkiri mampu memberi inspirasi bagi banyak warga Jerman kala itu. Bagaimana dengan orang-orang Indonesia? Mungkinkah ada orang Indonesia yang terinspirasi oleh ideologi Nazi?
Layar kaca memang merupakan tempat di mana kita banyak menemukan berbagai bentuk kreativitas dalam berbagai cuplikan iklan yang ditayangkan. Namun, terdapat iklan yang turut bermunculan di banyak media visual pada tahun 2014.
Iklan tersebut adalah iklan kampanye politik Prabowo Subianto-Hatta Rajasa yang menjadi pasangan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) pada Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014. Meski bisa dibilang menggunakan nada dari lagu yang mudah diingat – yakni “We Will Rock You” (1977) karya Queen, iklan itu menuai kontroversi karena gaya berpakaian para bintangnya – seperti Ahmad Dhani dan Virzha – yang bisa dibilang mirip dengan seragam Nazi Jerman.
Baju Ahmad Dhani dalam video tersebut dianggap mirip dengan baju Heinrich Himmler, seorang Reichsführer atau pemimpin tertinggi dari Schutzstaffel alias organisasi paramiliter Nazi Jerman dan dianggap sebagai orang paling bertanggung jawab dalam tragedi Holocaust yang menyebabkan 6 juta orang meninggal.
Fenomena tersebut juga menjadi perdebatan lanjutan ketika di tahun 2017-an lalu muncul beberapa kafe yang bertemakan Nazi dan Hitler di Indonesia yang juga menarik perhatian media-media asing. Salah satu menu yang dijajakan di sana pun bernama Nazi Goreng.
Tak heran, banyak perdebatan yang kemudian muncul terkait fenomena-fenomena ini. Apakah ini hanya fenomena semata. Atau, apa jangan-jangan pengaruh Nazi Hitler dan fasisme sebetulnya telah ada sejak lama di Indonesia?
Sejarah Pertalian Jerman-Nusantara
Sejarah dan pengaruh fasisme Jerman di Indonesia punya pertautan dengan masuknya orang-orang Jerman ke Indonesia sejak abad ke-17 lewat aktivitas perdagangan. Ribuan orang Jerman juga tercatat menjadi bagian dari VOC dengan menjadi pekerja maupun tentara.
Beberapa sumber menyebutkan bahwa lebih dari setengah anggota Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC) Belanda memang berisi orang-orang non-Belanda dari Jerman, Austria, Polandia, dan Swiss – dengan orang Jerman sebagai kelompok mayoritas dari kelompok non-Belanda.
Baca Juga: Intel Jerman Kunjungi Markas FPI?
Antara tahun 1600 hingga 1800-an, populasi Belanda memang hanya mencapai 2 juta orang sehingga mereka mempekerjakan sekitar 600 ribu tentara asing – utamanya dalam misi-misi penjelajahan dan perdagangan, katakanlah lewat VOC. Akibatnya, bisa dipastikan ada pengaruh-pengaruh Jerman yang dibawa serta ke Indonesia – termasuk dalam konteks ideologi.
Setelah digdaya VOC berakhir, pemerintah Belanda mengambil alih kontrol kekuasaan atas wilayah Nusantara. Jerman masih tetap punya ketertarikan terhadap Nusantara – terutama setelah lahir Imperium Jerman pada 1871.
Ketertarikan itu ditunjukkan dengan berlabuhnya kapal-kapal perang negara tersebut di Sumatera, Kalimantan, dan Batavia. Di Nusantara sendiri, juga masih banyak warga Jerman yang bermukim dan menjalankan bisnis.
Jerman pun akhirnya punya beberapa koloni di sekitar Papua Nugini yang disebut sebagai tanah Kaiser Wilhelm merujuk pada kaisar yang berkuasa saat itu di Jerman, dan Kepulauan Bismarck, merujuk pada Kanselir Jerman Otto van Bismarck. Ikatan atas dasar keberadaan penduduk Jerman di Nusantara inilah yang membuat kapal-kapal Jerman masih sering berlabuh ke Nusantara.
Hal ini kemudian berlanjut setelah Perang Dunia I dan turun takhtanya Kaisar Wilhelm II dan jajaran penguasa monarki di Jerman secara sukarela. Jerman kemudian masuk ke fase sebagai negara federasi sebelum akhirnya kekuasaan diambil alih oleh Adolf Hitler dan Partai Nazi pada tahun 1933.
Dari sinilah, Nazi mulai meningkatkan pengaruhnya di Jerman dan berbagai negara lain. Lalu, bagaimana konteks kekuasaan Nazi dan Hitler itu punya pertalian dengan Indonesia?
Ketika Nazi Masuk Indonesia
Di sini poin menariknya. Horst H. Geerken dalam bukunya Hitlers Griff nach Asien menyebutkan nama Walther Hewel sebagai kunci tersebarnya fasisme ala Nazi di Asia. Hewel adalah salah sosok yang dekat dan bagian dari inner circle Hitler. Ia disebut telah bergabung dengan Nazi saat masih remaja.
Baca Juga: Jerman di Petamburan, Risalah PKI
Kedekatannya dengan Hitler membuatnya sering dijuluki sebagai “Majordomo” alias orang kepercayaan yang mengatur kegiatan-kegiatan Hitler. Kedekatan mereka mulai terjadi saat Hitler melakukan kudeta gagal dalam gerakan yang disebut Beer Hall Putsch. Ia dipenjara bersama-sama dengan Hitler.
Setelah keluar dari penjara, ia menjadi pedagang kopi dan pengusaha perkebunan yang bekerja untuk perusahaan Inggris di Hindia Belanda – yang kemudian menjadi Indonesia di pertengahan abad ke-20. Saat itulah, ia menggalang kekuatan di Nusantara dan mendirikan perwakilan Nazi di Indonesia. Partai Nazi yang bernama resmi Nationalsozialistische Deutsche Arbeiterpartei (NSDAP) itu bercokol di Hindia Belanda sejak 1931.
Hewel mendirikan cabang Nazi itu dengan kantor pusatnya di Batavia dan cabangnya tersebar di Surabaya, Bandung, Medan, Padang, dan Makassar. NSDAP Hindia Belanda bahkan menjadi perwakilan Nazi nomor dua terbesar di kawasan Asia Pasifik setelah Tiongkok. Tujuannya adalah untuk meraih simpati ekspatriat Jerman di seluruh dunia untuk mendukung Hitler.
Geerken juga mencatat bahwa ada pejuang tanah air yang berharap bisa menjadi anggota NSDAP. Tujuannya adalah mencari simpati agar mau mendukung kemerdekaan bagi Indonesia. Pemerintah Hindia Belanda melihatnya sebagai ancaman dan menghukum orang-orang Indonesia yang menjalin hubungan dengan NSDAP.
Bukan itu saja, menurut Geerken, Hitler ternyata ikut menyokong perjuangan tentara Pembela Tanah Air (PETA) dengan mengirim bantuan militer – lengkap dengan tenaga ahli mengenal alat-alat perang dan pendidikan militer.
Selain NSDAP, di Hindia Belanda juga berdiri Nationaal Socialistische Beweging (NSB) pada 1934 yang merupakan partai fasis Belanda. Tak hanya NSB, partai milik Belanda yang berideologi Nazi di Hindia Belanda menurut Geerken juga ada Nationaal-Socialitische Nederlandsche Arbeiderspartij (NSNAP) yang berdiri pada 1931 serta Nederlandsch-Indische Facisten Organisatie (NIFO).
Partai berideologi Nazi juga bermunculan di tengah rakyat pribumi Hindia Belanda. Ada Partai Fasis Indonesia (PFI) yang didirikan Dr Notonindito, yang pada 1924 belajar di Jerman dan mendapat gelar doktor di Berlin. Menariknya, Geerken juga menyebut Partai Indonesia Raya (Parindra) yang lahir pada tahun 1935, Gabungan Partai Politik (Gapi) pada 1936, serta Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo) pada 1937 dalam catatannya.
Baca Juga: Jerinx, Propaganda Nazi, dan Falsifikasi
Parindra yang didirikan Sartono, Amir Sjarifuddin, dan Muhammad Husni Thamrin adalah partai terbesar pada waktu itu. Pada 6 Januari 1941 Parindra dituduh Belanda menggalang hubungan erat dengan Jerman dan Jepang – akibatnya Thamrin dikenai tahanan rumah.
Perlu diketahui bahwa Jerman dan Jepang menjadi satu kubu saat Perang Dunia II. Lima hari setelah itu Thamrin ditemukan meninggal dunia secara misterius. Desas-desus yang beredar menyebut ia disuntik mati oleh dokter pemerintah Hindia Belanda.
Menariknya lagi, di halaman 109 buku Geerken dimuat foto rombongan petinggi Parindra yang mengiringi jenazah Thamrin – dipimpin Ketua Parindra Woerjaningrat Soekardjo Wirjopranoto. Soekardjo yang memakai blangkon dan beskap Jawa resmi dengan dasi kupu-kupu, berjalan paling depan. Sementara, para pemuda anggota Parindra mengenakan seragam celana pendek dan kaus kaki sampai sebetis, berbaris rapi di sebelah kanan dan kiri dengan penghormatan gaya “Heil Hitler” – yakni sikap berdiri tegak, kepala sedikit menengadah sambil mengangkat tangan kanan ke arah langit.
Menurut Geerken, Thamrin memang mengagumi ideologi Nazi. Ia mendirikan Parindra dan berusaha menyatukan delapan partai kecil lain yang berideologi Nazi untuk bersatu dalam Gapi.
Laporan Tempo yang mengutip sejarawan Rushdy Hoesein juga menyebutkan bahwa Parindra terpengaruh oleh NSB. Anggotanya berpakaian mirip Nazi, tetapi tidak ada bukti bahwa Thamrin adalah seorang fasis. Hoesein menyebut Thamrin merasa nasionalis.
Pada akhirnya, kisah ini mungkin pada akhirnya menggambarkan bahwa Nazi pernah bercokol di Indonesia. Berdasarkan catatan sejarah, ideologi fasisme yang ultranasionalis juga pernah ada di negeri ini.
Walaupun demikian, ideologi ini tak lagi menunjukkan bentuk aslinya lagi hingga saat ini di Bumi Pertiwi, selain dalam bahasa kampanye seperti yang dilakukan oleh Ahmad Dhani, maupun dalam kasus Nazi Goreng.
Baca Juga: Jokowi, Tiongkok, dan Bayangan Nazi
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.