HomeSejarahKetika I.J. Kasimo “Tertawakan” Nasakom Soekarno

Ketika I.J. Kasimo “Tertawakan” Nasakom Soekarno

Presiden Soekarno mencetuskan konsep Nasakom (Nasionalisme, Agama, dan Komunisme) di bawah pemerintahan demokrasi terpimpin yang mulai diterapkan pada tahun 1959. Namun, terdapat satu tokoh yang berani menentang konsep Nasakom ala Soekarno. Dia adalah I.J. Kasimo.


PinterPolitik.com

Bukan rahasia lagi apabila Presiden Soekarno merupakan seorang orator andal yang mampu membius audiensnya ketika berpidato. Boleh jadi, kecakapannya ini muncul dari gagasan dan ide baru yang diungkapkannya kala memberikan petuah di depan banyak orang.

Orasi andal ala Bung Karno ini tak terkecuali juga terjadi pada 23 Oktober 1965 – ketika memberi amanat dalam Sidang Panca Tunggal Seluruh Indonesia. Kala itu, sang proklamator memunculkan sebuah konsep yang menarik, yakni Nasakom yang merupakan akronim dari Nas-A-Kom (Nasionalisme, Agama, dan Komunisme) guna mempersatukan tiga kelompok gagasan yang dominan di Indonesia saat itu.

Meski begitu, kali ini, tidak semua orang tampaknya bisa terbius oleh istilah baru ala Soekarno ini. Mungkin, inilah yang tergambar dari kisah perbincangan empat tokoh – Mohammad Natsir, Abdurrahman (A.R.) Baswedan, Frans Seda, dan Ignatius Joseph (I.J.) Kasimo – yang diceritakan ulang oleh Anies Baswedan di acara Sambung Rasa yang digelar oleh perwakilan umat Katolik 44 Paroki se-DKI Jakarta pada tahun 2016 silam.

Kisah keempatnya ini menjadi simpul pertemuan tokoh-tokoh dari latar belakang dan agama yang berbeda yang mana Natsir dan Baswedan adalah aktivis dan cendekiawan Muslim. Sementara, Frans Seda dan I.J. Kasimo adalah dua tokoh dari Partai Katolik Indonesia.

Konteksnya semakin menarik karena Natsir yang menjadi pentolan Partai Masyumi dan Kasimo yang jadi Ketua Partai Katolik Indonesia adalah dua entitas yang menolak gagasan Nasakom yang diperkenalkan oleh Soekarno. Keduanya tidak bersedia bekerja sama dengan Partai Komunis Indonesia (PKI) dan juga adalah orang-orang yang mengkritik demokrasi terpimpin yang diterapkan Soekarno.

Baca Juga: Ridwan Kamil, Titisan Soekarno?

Faktanya, Kasimo yang sempat menjabat sebagai menteri adalah orang yang telah punya visi pembangunan sektor pertanian Indonesia. Namun, mengapa Kasimo justru menolak gagasan Nasakom Soekarno? Bagaimana sebenarnya kiprah tokoh Partai Katolik Indonesia satu ini?

Mengenal Sosok I.J. Kasimo

I.J. Kasimo yang memiliki nama lengkap Ignatius Joseph Kasimo Hendrowahyono lahir di Yogyakarta pada 10 April 1900. Ayahnya yang bernama Ronosentiko merupakan seorang prajurit Keraton. Sementara, ibunya bernama Dalikem.

Sebagai prajurit Keraton, ayah Kasimo bisa dibilang menjadi orang yang terpandang. Namun, karena sistem feodalisme yang kuat kala itu – kala awalnya prajurit Keraton tidak digaji dan hanya diberi sebidang tanah, maka untuk memenuhi kebutuhan keluarga, ibunya tetap harus banting tulang. Pasalnya, pada zaman itu, prajurit Keraton memang dilarang untuk memiliki pekerjaan lain.

Kasimo kecil pun membantu ibunya di pasar dan dalam usaha batik kecil-kecilan. Apalagi, ia adalah anak laki-laki tertua nomor dua dan kakaknya juga dipersiapkan untuk menjadi pengganti ayahnya sebagai prajurit. Maka, tanggung jawab atas keluarga dan sembilan adiknya ada di pundak Kasimo.

Kasimo pun berkesempatan bersekolah di Tweede Inlandsche School alias Sekolah Ongko Loro (Sekolah Kelas Dua). Setelah lulus dari sekolah ini, Kasimo melanjutkan pendidikannya ke sekolah keguruan di Muntilan yang didirikan oleh Franciscus Georgius Josephus van Lith – atau juga dikenal sebagai Romo van Lith.

Romo van Lith bisa dibilang menjadi misionaris yang berperan dalam penyebaran agama Katolik di Pulau Jawa, khususnya di Jawa Tengah. Di kemudian hari, dua muridnya – Mgr. Soegijapranata dan Kasimo sendiri – menjadi tokoh-tokoh pahlawan nasional yang ikut berjasa bagi perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Setelah menamatkan pendidikan di Muntilan, pada tahun 1918, Kasimo kemudian pergi ke Bogor untuk melanjutkan pendidikannya di Sekolah Pertanian Menengah atau  Middelbare Landbouw School (MLS). Tiga tahun kemudian, ia ditarik menjadi pegawai perkebunan pemerintah sebelum dipindahkan jadi guru sekolah pertanian di Tegalgondo, Klaten.

Beberapa sumber menyebutkan bahwa, pernah suatu hari, Kasimo membaca Katholieke Maatschappijleer atau buku ajaran sosial Katolik tulisan Dr. Llovera. Dalam buku tersebut ada sebuah kutipan yang berbunyi, “Setiap bangsa mempunyai hak untuk mencapai kemerdekaan dan persatuan.” Kata-kata tersebut seolah menjadi inspirasi bagi Kasimo untuk ikut memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.

Kasimo juga sempat bergabung dengan Tri Koro Dharmo – yang kemudian berubah nama menjadi Jong Java.  Pada tahun 1923, Kasimo menjadi salah satu pendiri partai politik Pakempalan Politik Katolik Djawi (PPKD). Ia menjabat sebagai Ketua PPKD sejak 1924 hingga 1960. Pada tahun 1933, partai ini berganti nama menjadi Persatoean Politik Katolik Indonesia (PPKI).

Baca Juga: Nadiem ‘Lupa’ Ungkapan Soekarno?

Melalui partai ini, Kasimo menjadi anggota Volksraad sekitar tahun 1931–1942. Nama Kasimo mencuat ketika ia menjadi salah satu dari enam anggota Volksraad yang menandatangani Petisi Soetardjo – sebuah petisi yang menandai tuntutan kemerdekaan Indonesia. Petisi itu ditujukan ke Ratu Wilhelmina di Belanda.

Setelah Indonesia meraih kemerdekaan, Kasimo diangkat menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Kasimo mengaktifkan lagi PPKI yang dilarang pada masa penjajahan Jepang. Selanjutnya, setelah kongres di Surakarta, PPKI berubah nama menjadi Partai Katolik Republik Indonesia (PKRI).

PKRI berpendapat bahwa Indonesia hanya bisa maju dan tegak berdiri bila seluruh rakyat bersatu. Dengan alasan ini, PKRI tidak ikut terlibat dalam Persatuan Perjuangan yang didirikan Tan Malaka dan Jenderal Soedirman. Persatuan Perjuangan ini bisa dibilang sebagai oposisi pertama terhadap pemerintahan Soekarno-Hatta dan berbagai strategi diplomasi mereka untuk mendapatkan pengakuan bagi Indonesia.

Kasimo juga ikut terlibat dalam aneka perjuangan diplomasi dalam rangka mendapat pengakuan secara de jure ini. Ia berpartisipasi di berbagai perundingan dengan pemerintah Belanda – misal dalam Perundingan Linggarjati. Kasimo lalu sempat menjabat sebagai Menteri Muda Kemakmuran dalam Kabinet Amir Sjarifuddin, serta sebagai Menteri Persediaan Makanan Rakyat dalam Kabinet Hatta I dan Kabinet Hatta II.

Menentang Soekarno

Setelah Republik Indonesia Serikat (RIS) dilebur, Kasimo menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Kala duduk sebagai anggota dewan, Kasimo turut memperjuangkan Pancasila sebagai dasar negara.

Selama menduduki kursi pemerintahan di bidang perekonomian, Kasimo menyatakan gagasannya untuk menyusun rencana produksi lima tahun yang dikenal sebagai Plan Kasimo. Rencana ini berisikan anjuran untuk memperbanyak kebun bibit unggul, pencegahan hewan pertanian untuk disembelih, penanaman kembali lahan kosong, dan program transmigrasi penduduk ke Sumatera.

Sikap tegas Kasimo dan Partai Katolik di satu sisi dikagumi banyak politisi karena, walaupun kelompok minoritas dan partai kecil, mereka berani bersikap jelas dan mengambil risiko demi prinsip yang diyakini. Kisah paling menarik adalah ketika Kasimo menolak konsep Nasakom Soekarno.

Baca Juga: Sukmawati dan Misteri Pengkultusan Soekarno

Ceritanya, pada Februari 1957, Soekarno memanggil semua pimpinan partai politik ke Istana. Sang proklamator lalu melontarkan gagasan yang disebut sebagai Konsepsi Presiden dan meminta persetujuan.

PKI, Musyawarah Rakyat Banyak (Murba), Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Rakyat Nasional (PRN), Badan Permusjawaratan Kewarganegaraan Indonesia (Baperki), dan Persatuan Pegawai-pegawai Kepolisian menerima gagasan itu. Sementara, Nahdlatul Ulama (NU), Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), Partai Kristen Indonesia (Parkindo), Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI), dan Partai Sosialis Indonesia (PSI) ragu-ragu. Di sisi lain, Masyumi dan Partai Katolik Indonesia dengan tegas menyatakan penolakan.

Saat bersua Soekarno dan ditanya mengapa menolak, Kasimo yang dikenal periang dan suka tertawa menyampaikan pendapatnya. Menurut Kasimo, jika melibatkan PKI dalam kabinet, maka Indonesia akan menjadi negara komunis – sama seperti sejarah di Eropa Timur khususnya di Cekoslowakia (Czechoslovakia).

Beberapa sumber memang menyebut sikap Kasimo terhadap PKI tidak bisa ditawar-tawar. Ia menerima dan bertoleransi terhadap perbedaan yang lain – misalnya agama, suku, dan lain-lain – tetapi secara tegas menolak komunisme yang kala itu cenderung anti terhadap agama dan kebebasan beragama.

J.B. Sudarmanto dalam Politik Bermartabat: Biografi I.J. Kasimo juga menulis bahwa, pada akhirnya, karena berani melawan arus politik saat itu, Soekarno jadi tak menyukainya. Kasimo akhirnya mengundurkan diri dari kepemimpinan partai yang telah dipimpinnya selama lebih dari 30 tahun.

Di era Orde Baru, Kasimo sempat menjabat anggota Dewan Pertimbangan Agung. Kasimo meninggal dunia pada 1 Agustus 1986 di RS Saint Corolus, Jakarta. Ia dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Kasimo kemudian mendapatkan gelar Pahlawan Nasional pada tahun 2011 lalu.

Warisan terbesar Kasimo tentu saja adalah ke-Indonesia-annya. Ia juga berpegang pada prinsip Salus Populi Suprema Lex yang artinya kesejahteraan rakyat adalah hukum tertinggi. Mungkin, narasi mengedepankan kepentingan rakyat ini bisa menjadi refleksi terbesar politik nasional Indonesia saat ini.

Baca Juga: Apa yang Terjadi Bila PKI Berkuasa?


► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Youtube Membership

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Ebook Promo Web Banner
spot_imgspot_img

#Trending Article

Kok Megawati Gak Turun Gunung?

Ketua Umum (Ketum) PDIP, Megawati Soekarnoputri hingga kini belum terlihat ikut langsung dalam kampanye Pilkada. Kira-kira apa alasannya? 

Berani Prabowo Buka Pandora Papers Airlangga?

Ramai-ramai bicara soal kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) 12 persen yang disertai dengan protes di media sosial, tiba-tiba juga ramai pula banyak akun men-share kembali kasus lama soal nama dua pejabat publik – Airlangga Hartarto dan Luhut Pandjaitan – yang di tahun 2021 lalu disebut dalam Pandora Papers.

“Sekolam” Ahok, Kesaktian Anies Luntur?

Keputusan Anies Baswedan meng-endorse Pramono Anung-Rano Karno di Pilkada Jakarta 2024 memantik interpretasi akan implikasi politiknya. Utamanya karena Anies pada akhirnya satu gerbong dengan eks rivalnya di 2017 yakni Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan PDIP serta tendensi politik dinasti di dalamnya, termasuk yang terjadi pada Pramono.

Siasat Prabowo Akui Sengketa LCS

Pemerintahan Prabowo disorot karena ‘akui’ klaim tumpang tindih LCS dalam joint statement Tiongkok. Mungkinkah ada siasat strategis di baliknya?

Rahasia Triumvirat Teddy, AHY, dan Hegseth?

Terdapat kesamaan administrasi Presiden terpilih Amerika Serikat, Donald Trump dengan Presiden Prabowo Subianto, yakni mempercayakan posisi strategis kepada sosok berpangkat mayor. Kiranya, terdapat rahasia tertentu di balik kesamaan itu yang dapat mendukung support dalam dimensi tertentu ke pemerintahan masing-masing. Mengapa demikian?

Betulkah Jokowi Melemah? 

Belakangan mulai muncul pandangan bahwa pengaruh politik Jokowi kian melemah, hal tersebut seringnya diatribusikan dengan perkembangan berita judi online yang kerap dikaitkan dengan Budi Arie, dan kabar penangguhan jabatan doktor Bahlil Lahadalia, dua orang yang memang dulu disebut dekat dengan Jokowi. Tapi, apakah betul Jokowi sudah melemah pengaruhnya? 

Masihkah Prabowo Americans’ Fair-Haired Boy?

Dua negara menjadi tujuan utama Prabowo saat melakukan kunjungan kenegaraan pertamanya pasca dilantik sebagai presiden: Tiongkok dan Amerika Serikat.

Paloh Pensiun NasDem, Anies Penerusnya?

Sinyal “ketidakabadian” Surya Paloh bisa saja terkait dengan regenerasi yang mungkin akan terjadi di Partai NasDem dalam beberapa waktu ke depan. Penerusnya dinilai tetap selaras dengan Surya, meski boleh jadi tak diteruskan oleh sang anak. Serta satu hal lain yang cukup menarik, sosok yang tepat untuk menyeimbangkan relasi dengan kekuasaan dan, plus Joko Widodo (Jokowi).

More Stories

Menyingkap Sportwashing dalam Laga Indonesia-Bahrain

Kontroversi ini perpanjang daftar kritik terhadap wasit dari Timur Tengah, di tengah dugaan bias dan pengaturan skor sepak bola internasional.

Unlike Jokowi, Prabowo Will Be His Own Man

More assertive foreign policy and democratic backsliding are most likely on the horizon as Prabowo Subianto becomes the next Indonesian president.

Fenomena Gunung Es “Fake Review”

Fenomena fake review kini banyak terjadi di jual-beli daring (online). Siapakah yang dirugikan? Konsumen, reviewer, atau pelaku usahakah yang terkena dampaknya? PinterPolitik.com Sejak berlangsungnya proliferasi internet...