Niccolo Machiavelli memang menjadi figur yang identik dengan upaya memenangkan kontes politik menggunakan segala cara.
Sosoknya melahirkan perdebatan terkait moral dan politik menjadi konsen utama ketika mendengar nama Machiavelli, sekalipun yang dilakukan olehnya bukanlah “memburukkan” politik. Machiavelli hanya memberikan gambaran realistis terkait cara-cara agar seorang pemimpin bisa berhasil.
Tokoh-tokoh seperti Donald Trump, Vladimir Putin, bahkan Barack Obama pada kasus-kasus tertentu pun pernah dicap sebagai para pemimpin Machiavellian dalam hal cara mereka memperkuat kekuasaan.
Dengan konteks panasnya isu jelang Pilpres 2019 yang tidak jarang mengabaikan moral, tentu menarik untuk melihat proses pergantian kekuasaan ini dari kaca mata Machiavelli. Lalu, seperti apa penulis The Prince itu menilai pertarungan Jokowi melawan Prabowo?
Siapakah Machiavelli?
Niccolò di Bernardo dei Machiavelli adalah seorang diplomat, politisi, sejarawan, filsuf dan penulis berkebangsaan Italia yang hidup di era Renaissance. Ia dikenal sebagai pegawai senior yang mengurusi persoalan diplomasi dan militer di masa Republik Florentine atau Florence.
Dekat Di Lingkungan Pemerintahan
Menghabiskan waktu di pemerintahan memang membuat Machiavelli mengamati banyak hal yang berhubungan dengan kekuasaan. Kala itu, di Italia memang terjadi perebutan pengaruh dan kekuasaan antara keluarga-keluarga kuat seperti Medici Family dengan negara-negara bagian kecil yang tidak sedikit melibatkan konteks kekuasaan tahta suci Roma yang dipimpin Paus. Konteks tersebut diperparah dengan invasi negara luar, misalnya Spanyol dan Prancis yang membuat kondisi politik menjadi tidak stabil.
Machiavelli pernah menjadi penasihat untuk keluarga Borgia dan dianggap mengambil banyak inspirasi karyanya dari Cesare Borgia – seorang aristokrat “haus darah” dan pemimpin militer di era tersebut. Persoalan perebutan kekuasaan itu pada akhirnya memang membuat Machiavelli tersingkir dan sempat dipenjara karena dituduh berkonspirasi melawan keluarga Medici.
Karya Fenomenal Machiavelli, The Prince
Tak lagi ada di lingkungan pemerintah bukan berarti tenggelam, Machiavelli menerbitkan The Prince – sebuah karya fenomenal yang terinspirasi dari Cesare Borgia yang masih dipakai sebagai inspirasi kepemimpinan dan kekuasan hingga saat ini.
Dalam buku tersebut, Machiavelli menggambarkan bagaimana cara seorang pemimpin merebut dan mempertahankan kekuasaannya. Menurutnya, seorang pemimpin tidak harus disukai dan dicintai, tetapi harus ditakuti dan dihormati. Selama apa yang dilakukannya bisa mewujudkan kestabilan pemerintahannya, maka cara apa pun bisa dilakukan.
Hal inilah yang membuat istilah “the end justifies the mean” atau tujuan membenarkan cara menjadi identik dengan pemikiran Machiavelli tersebut. Ia juga disebut sebagai salah satu contoh protipe pemikir empirisme yang mendasarkan pemikiran atas pengalaman dan fakta sejarah.
Menurut Machiavelli, pemimpin-pemimpin yang baik harus belajar untuk “tidak menjadi baik”, berkemauan untuk menyingkirkan moral dari politik – termasuk soal keadilan, kebaikan dan kejujuran – demi menciptakan kondisi negara yang stabil dan aman.
Machiavellian Dalam Konteks Pilpres 2019
Lebih baik ditakuti, daripada dicintai – demikian sederhananya. Lalu, bagaimana konteks tersebut dilihat dalam Pilpres 2019?
Jika diperhatikan, persoalan moral dalam kampanye politik menjadi hal yang saling beririsan. Ketika tujuan kekuasaan membenarkan segala cara, maka hoaks, fitnah dan kebohongan seringkali mendapatkan pembenarannya.
Sementara kandidat yang bertarung justru terlihat mengkapitalisasi unsur moral. Mereka tidak ingin disebut Machiavellian karena istilah itu identik dengan hal yang tak bermoral. Namun, pada praktiknya, mereka menggunakan cara-cara Machiavellian.
Jokowi misalnya adalah sosok yang berangkat dari status disukai oleh masyarakat, namun belakangan juga semakin tegas dengan istilah “genderuwo” dan “sontoloyo” – mungkin itulah relevansi Seno Gumira Ajidarma menulis buku “Jokowi, Sengkuni, Machiavelli”.
Sementara, Prabowo juga adalah sosok bercitra kuat, menggunakan politik “kebocoran kekayaan negara” dan “kehancuran bangsa” sebagai alat politik – lagi-lagi sesuai dengan prinsip kekuasan Machiavelli.
Tentu saja tak ada satu pun yang mau disebut Machiavellian karena ia dianggap terlalu realistis dan masyarakat cenderung suka pada hal-hal yang idealis. Bagi pemilih seperti kita, yang terpenting adalah pemimpin yang akan kita pilih mampu memberikan program-program yang menjamin kepentingan bersama.
Kita mungkin tak akan seperti Don MacDonald yang begitu menganggumi Machiavelli sampai membuat novel grafis tentangnya. Namun kita tahu, bahwa seidealis apa pun pemimpin, kadang-kadang mereka juga perlu realistis. Lalu bagaimana menurut kalian? Apakah moral masih penting sebagai acuan politik?