Site icon PinterPolitik.com

Jenderal Hoegeng: Polisi Jujur Yang Disingkirkan Soeharto

Jenderal Hoegeng Polisi Jujur Yang Disingkirkan Soeharto

Jenderal Hoegeng (Foto: Kate.id)

Jika berbicara soal polisi, Jenderal Hoegeng tentu saja tidak bisa dilupakan. Ia dikenal sebagai sosok polisi bersih yang selalu didamba-dambakan. Lantas bagaimana perjalanan kisah hidup dan kariernya sampai dipinggirkan Soeharto?


PinterPolitik.com

Jenderal Hoegeng adalah salah satu sosok polisi paling legendaris di Indonesia. Kisahnya bahkan turut diabadikan dalam film dokumenter berjudul Wet Earth, Warm People karya Michael Rubbo pada tahun 1971. Kisah tentang Jenderal Hoegeng sebagai Kepala Polri tergambar dalam film ini, mulai dari dedikasinya berangkat sangat pagi ke kantor, hingga bagaimana perlakuan dan pendekatannya kepada masyarakat pelanggar hukum.

Kisah tentang Jenderal Hoegeng memang selalu jadi perbincangan yang menarik. Ia misalnya mendapatkan pujian khusus dari Abdurrahman Wahid (Gus Dur) terkait integritasnya yang anti terhadap suap dan berani memberantas cukong-cukong perjudian di Sumatra Utara.

Lalu seperti apa sejarah jenderal yang dipensiunkan dini saat usianya masih 49 tahun oleh Soeharto dan pencetus kebijakan wajib pakai helm bagi pengendara motor ini?

Riwayat Jenderal Hoegeng

Jenderal Hoegeng lahir dengan nama Hoegeng Iman Santoso di Pekalongan pada 14 Oktober 1921. Menariknya, ia sempat terlibat pedebatan dengan Soekarno karena sang proklamator menilai nama “Hoegeng” bukanlah nama Jawa. Soekarno bahkan berkelakar memintanya mengganti nama.

Dalam biografinya, Hoegeng menyebutkan bahwa namanya ada asal usulnya. Waktu kecil ia memiliki tubuh sangat gemuk. Maka, ia dijuluki si “bugel” alias gemuk seperti ubi. Namun, dalam panggilan sehari-hari berubah dari “bugel” menjadi “bugeng” lalu “hugeng”. Hoegeng sendiri bilang bahwa nama itu tak cocok sebetulnya karena dia tak pernah lagi jadi gemuk.

Baca Juga: UU ITE dan Polisi Virtual, Orwellian State?

Membahas soal keluarganya, Hoegeng masih punya darah ningrat, dan ia berasal dari keluarga amtenar atau pegawai pemerintahan. Ayahnya, Soekarjo Kario Hatmodjo yang berasal dari Tegal adalah seorang jaksa. Sedangkan ibunya bernama Oemi Kalsoem.

Latar belakangnya di Pekalongan yang ada di utara Jawa juga membuatnya secara karakter berbeda dengan orang-orang Jawa Mataraman. Mungkin inilah yang membentuk karakter Hoegeng yang selalu berterus terang, terutama ketika berhadapan dengan penyelewengan-penyelewengan.

Hoegeng memilih untuk menjadi polisi karena terinspirasi oleh teman ayahnya, Ating Natadikusumah yang merupakan seorang perwira polisi, bernama Ating Natadikusumah. Hoegeng menyelesaikan pendidikannya di Hollandsch-Inlandsche School (HIS) pada tahun 1934. Kemudian ia masuk ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) dan tamat 3 tahun kemudian. Setelahnya, ia kemudian ke Yogyakarta dan melanjutkan pendidikan ke Algemeene Middelbare School (AMS).

Pada tahun 1940, Hoegeng pindah ke Batavia dan melanjutkan studinya di Recht Hoge School atau RHS – sebuah sekolah hukum. Ketika Jepang masuk ke Indonesia pada Maret 1942, RHS ditutup oleh tentara Jepang. Hoegeng pun pulang kembali ke rumahnya dan sempat berjualan telur dan buku-buku berbahasa Belanda.

Hoegeng kemudian mengikuti beberapa kali kursus dan pendidikan kepolisian Jepang sebelum akhirnya masuk Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK).

Ada kisah menarik ketika Hoegeng sebetulnya sempat tertarik untuk meninggalkan karier kepolisiannya ketika ditawari oleh Kolonel Laut M. Nazir, yang kemudian menjadi Panglima/Kepala Staf Angkatan Laut, untuk menjadi bagian dari Angkatan Laut. Saat itu Hoegeng akhirnya berkenan dan meninggalkan Kepolisian untuk bergabung dengan Angkatan Laut.

Menurut Hoegeng, kala itu pindah-pindah kesatuan adalah hal yang biasa, apalagi kalau punya senjata. Ia diangkat sebagai anggota Angkatan Laut tanpa surat pengangkatan pada 1946. Ia diberi pangkat Mayor, jabatan komandan, dengan gaji Rp 400.

Namun, beberapa waktu kemudian Hoegeng bertemu dengan Kepala Kepolisian Negara pertama, Raden Said Soekanto Tjokrodiatmodjo. Soekanto menyadarkan Hoegeng bahwa sebagai alumnus sekolah Kepolisian seharusnya ia tetap di Kepolisian. Apalagi, Hoegeng pernah diajar oleh Soekanto di Sekolah Kader Tinggi di Sukabumi pada zaman Jepang.

Hoegeng yang merasa malu akan keputusannya tersebut, kemudian kembali ke Kepolisian. Di tahun yang sama, Hoegeng menikah dengan Merry yang nantinya memberinya 3 orang anak.

Hoegeng si Polisi Jujur

Setelah selesai perang kemerdekaan dan pengakuan kedaulatan, karier Hoegeng memasuki babak baru. Ia ditempatkan di Surabaya. Jabatan berikutnya adalah Kepala Reskrim di Medan, Sumatra Utara. Saat di posisi ini, Hoegeng dihadapkan pada tantangan maraknya kasus penyelundupan dan perjudian di Medan.

Ia bahkan disambut secara unik di Medan. Rumah pribadi dan mobil telah disediakan beberapa cukong judi. Tetapi, ia menolaknya dan memilih tinggal di hotel sebelum mendapatkan rumah dinas. Tak berhenti di situ, rumah dinasnya lalu dipenuhi dengan perabotan. Perabot itu dikeluarkan secara paksa oleh Hoegeng dari rumahnya dan ditaruh di pinggir jalan. Sikap Hoegeng ini pun membuat gempar Kota Medan.

Baca Juga: Salah Cara Polisi Hadapi Demo?

Selepas dari Medan, Hoegeng kembali ke Jakarta dan ditugaskan Presiden Soekarno untuk menjadi Direktur Jenderal (Dirjen) Imigrasi. Terkait jabatannya ini, Hoegeng meminta istrinya, Merry untuk menutup toko kembang di rumah mereka. Ketika istrinya menanyakan hubungan antara jabatan Dirjen Imigrasi dan toko kembang, Hoegeng menjawab singkat: “Nanti semua yang berurusan dengan imigrasi akan memesan kembang pada toko kembang Ibu Merry dan ini tidak adil untuk toko-toko kembang lainnya”.

Hoegeng juga menolak pemberian mobil dinas dari Sekretariat Negara. Alasannya, ia telah memiliki mobil jip dinas dari Kepolisian. Pada tahun 1965 ia diangkat sebagai Menteri Iuran Negara, sebelum kemudian menjadi Menteri Sekretaris Kabinet pada tahun 1966.

Nah, pergolakan kemudian terjadi di Indonesia dan Orde Lama Soekarno berganti menjadi Orde Baru Soeharto. Karier Hoegeng kemudian ikut berubah ketika pada tahun 1968, ia diangkat Soeharto sebagai Kepala Polri menggantikan Soetjipto Yudodihardjo.

Pada masa itu kasus-kasus penyelundupan memang tengah merajalela. Di antara yang terkenal adalah kasus penyelundupan mobil mewah yang didalangi oleh Robby Tjahyadi. Pada 1971, Hoegeng mengumumkan keberhasilannya dalam membekuk penyelundupan mobil mewah ini melalui Pelabuhan Tanjung Priok.

Kasus lain yang sempat menandai kepemimpinan Hoegeng adalah kasus Sum Kuning, yakni pemerkosaan yang menimpa gadis 17 tahun di Yogyakarta. Kasus ini begitu menggemparkan, hingga Hoegeng sampai membentuk tim khusus bernama Tim Pemeriksa Sum Kuning. Kasus ini begitu ramai karena disebut-sebut melibatkan anak-anak para pejabat.

Hoegeng Disingkirkan

Pasca penanganan  kasus Robby Tjahayadi dan Sum Kuning, isu pencopotan Jenderal Hoegeng santer terdengar. Pasalnya dua kasus ini disebut bersinggungan dengan orang-orang di lingkaran kekuasaan. Melalui Menteri Pertahanan dan Keamanan Jenderal Maraden Pangabean, Hoegeng akhirnya diberi surat pemberitahuan sekaligus penugasan sebagai Duta Besar untuk Belgia. Hal yang terdengar ganjil karena masa jabatan Hoegeng belum habis.

Alasan yang diungkapkan adalah untuk peremajaan, namun orang yang menggantikan Hoegeng justru lebih senior darinya. Setelah bertemu Soeharto, sang presiden mengatakan: “Tak ada tempat buatmu di dalam negeri, Geng”. Hoegeng yang merasa tak pantas untuk jabatan diplomat akhirnya memilih mundur dari keanggotaannya di Kepolisian.

Soeharto memang dikenal menyingkirkan secara halus orang-orang yang berseberangan dengannya. Istri Hoegeng berkisah bahwa sang suami pulang ke rumah dan menemui ibunya serta menyebutkan bahwa ia tak lagi bekerja. Sang ibu – tanpa rasa sedih – malah berkata: “Geng, kalau kamu jujur, kita masih bisa makan nasi sama garam”.

Hoegeng kemudian mengisi waktunya dengan melukis dan bermusik. Ia tergabung dalam grup musik The Hawaiian Seniors yang kerap manggung di TVRI.

Baca Juga: Menuju Negara Polisi Sepenuhnya?

Namun semuanya berubah ketika namanya mencuat lagi sebagai salah satu orang yang ikut menandatangani Petisi 50 pada tahun 1980. Sedikit konteks, ini adalah petisi yang ditandatangani 50 tokoh nasional yang memprotes kebijakan Soeharto yang menggunakan Pancasila untuk menghadapi lawan-lawan politiknya. Beberapa nama terkenal yang ikut tanda tangan adalah Jenderal A.H. Nasution, Burhanuddin Harahap, Mohammad Natsir, Ali Sadikin, dan tentu saja Hoegeng sendiri.

Akibat aktivitasnya itu, beberapa hak perdata Hoegeng dicabut. Ia tak boleh menghadiri Upacara Bhayangkara. Bahkan usaha-usaha anggota keluarganya juga ikut dibekukan. Kemudian, setelah tidak boleh lagi menyanyi di TVRI, Hoegeng hidup sederhana dari uang pensiun dan menjual lukisan-lukisannya.

Hoegeng akhirnya meninggal dunia pada 14 Juli 2004 akibat penyakit stroke yang dideritanya. Ia dimakamkan di pemakaman umum di dekat para kerabatnya.

Warisan Hoegeng adalah integritasnya. Kesederhanaan, kejujuran, dan anti korupsi adalah citra utama kiprahnya. Jika kalian tengah naik motor dan memakai helm, ingatlah bahwa itu adalah jasa Jenderal Hoegeng yang memikirkan keselamatan kita.


► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Exit mobile version