Britania Raya (Inggris) dan Belanda merupakan dua kekuatan kolonial yang selama ini menguasai lautan. Bagaimanakah sejarah persaingan dua raksasa laut ini – termasuk di Kepulauan Nusantara yang kini menjadi Indonesia?
Bagi kalian yang pernah menonton film Admiral (2015) atau film yang memiliki judul Michiel de Ruyter dalam bahasa aslinya, mungkin nama Michiel de Ruyter bukanlah nama yang asing. De Ruyter adalah seorang laksamana angkatan laut Belanda yang tercatat sebagai laksamana paling hebat dalam sejarah manusia.
Latar film tersebut berjalan saat perang antara Inggris dan Belanda (Anglo-Dutch War) memasuki tahap ketiga pada tahun 1673 – tepatnya di Pertempuran Texel (Battle of Texel) antara Inggris bersama Prancis melawan Belanda. Pertempuran – di mana Inggris diperkuat oleh 92 kapal dan 30 kapal api (fire ships) sedangkan Belanda hanya punya 75 kapal dan 30 kapal api yang lebih kecil tetapi lebih terlatih – ini nyatanya memang diungguli oleh Belanda.
Pertempuran ini juga menjadi semacam gambaran awal pertentangan dua kekuatan kolonial lampau yang terus bersaing hingga periode-periode selanjutnya – katakanlah melalui persaingan antara Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC) dan East India Company (EIC), perebutan wilayah kolonial di Nusantara, dan lain sebagainya. Lalu, bagaimana benturan dua negara ini pernah terjadi?
Hubungan Manis Berujung Petaka?
Eropa di abad ke-16 adalah masa yang penuh dengan perang. Adalah Dinasti Habsburg yang mewakili kekuatan Katolik kala itu berperang melawan negara-negara Protestan. Ini adalah bagian dari gelombang reformasi dalam peradaban Barat dan kekristenan kala itu yang menandai perubahan dalam banyak aspek kehidupan manusia.
Inggris dan Belanda kala itu terlibat dalam perang ini. Di Belanda sendiri, secara spesifik, ada Perang 80 Tahun alias Perang Kemerdekaan yang terjadi antara 17 provinsi melawan Raja Philip II dari Spanyol yang merupakan penguasa atas Habsburg Belanda – sebutan untuk wilayah itu.
Sementara, Inggris sendiri saat dipimpin oleh Ratu Elizabeth I juga sedang memainkan politik melawan Spanyol. Elizabeth I membangun angkatan laut yang kuat untuk menghadapi pembajakan dan pertempuran di laut dalam rangka melindungi kepentingan negaranya.
Karena sama-sama melawan Spanyol, Inggris pun memberikan dukungan terhadap Perang Kemerdekaan di Belanda lewat penandatanganan Perjanjian Nonsuch dengan provinsi-provinsi di Belanda tersebut. Namun, hubungan berubah ketika Charles I berkuasa di Inggris. Ia justru melakukan kesepakatan rahasia dengan Spanyol dan justru ingin melawan Belanda.
Hubungan Inggris dan Belanda ini sangat dipengaruhi oleh persaingan penjelajahan dunia menuju apa yang disebut sebagai New World (Dunia Baru) – utamanya untuk mencari komoditas perdagangan yang salah satunya adalah rempah-rempah.
Baca Juga: Materialisme Monopoli Perdagangan Belanda di Nusantara
Sekalipun bersaing, kala itu embrio perdagangan bebas telah mulai digariskan dengan menggunakan prinsip-prinsip dalam ius gentium atau law of nations yang merupakan warisan hukum Romawi. Suasana damai ada tetatpi juga tetap ada ketegangan. Belanda sendiri mengambil porsi wilayah dagang yang sebelumnya dikuasai oleh Portugis lewat Perjanjian Tordesillas.
Benturan-benturan yang terjadi dengan Inggris berubah menjadi lebih kuat ketika persaingan memperebutkan komoditas perdagangan berujung pada pembentukan kongsi dagang. Inggris lebih dulu mendirikan EIC pada tahun 1600. Tak mau ketinggalan, Belanda pun mendirikan VOC dua tahun kemudian pada 1602.
Persaingan ini awalnya berhubungan dengan monopoli komoditas tetapi kemudian berujung pada benturan fisik yang lebih serius. Konteks monopoli itu misalnya yang dilakukan Belanda pada komoditas pala, cengkeh, dan bunga pala yang tumbuh di pulau-pulau di Maluku – terutama di Kepulauan Banda.
Untuk mengontrol harga, VOC mewajibkan tumbuhan ini hanya ada di Maluku saja. Sementara, di daerah-daerah lain, komoditas tersebut dilarang tumbuh dan bahkan akan dicabut atau dirusak tanamannya. Harga komoditas tersebut kemudian dijual antara 14 hingga 17 kali lipat dari harga awal. Akibatnya, Belanda kemudian berubah menjadi negara dengan perdagangan laut paling kuat di Eropa kala itu – termasuk juga dari sisi angkatan lautnya.
Konteks benturan dengan EIC dalam kaitan dengan monopoli ini sempat terjadi pada tahun 1623 dalam tajuk Pembantaian Ambon. Kala itu, terjadi penyiksaan dan eksekusi yang dilakukan oleh VOC kepada 20 orang – dengan 10 orang di antaranya adalah pegawai EIC – atas tuduhan pengkhianatan.
Dinamika terus berubah ketika terjadi Perang Sipil di Inggris pada tahun 1642 ketika Oliver Cromwell memimpin tentara parlemen melawan Raja Charles I. Cromwell kemudian berambisi untuk membesarkan angkatan laut Inggris dan menyaingi Belanda yang saat itu sudah menjadi pemain besar.
Persaingan dan benturan yang terjadi akhirnya berujung pada keputusan Inggris untuk mengonfrontasi Belanda yang menurut mereka “tidak berterima kasih” atas bantuan yang diberikan di masa lampau.
Maka, pecahlah Anglo-Dutch War yang terjadi dalam empat tahap. Tahap pertama terjadi antara tahun 1652-1654, tahap kedua pada 1665-1667, tahap ketiga pada 1672-1674, dan tahap keempat pada 1780-1784. Perang tahap keempat sendiri terjadi setelah untuk waktu satu abad kedua negara menjadi sekutu.
Baca Juga: Polemik Maaf Raja Belanda untuk Indonesia
Pasca-perang tahap keempat, beberapa penulis menyebutkan bahwa Inggris dan Belanda memasuki era Unspoken Allies. Ini misalnya dituliskan oleh Nigel Ashton dan Duco Hellema dalam buku mereka Unspoken Allies. Era kekuasaan global Belanda sebagai penguasa lautan juga perlahan berganti.
Pada tahun 1814, terjadi Anglo-Dutch Treaty yang berisi kesepakatan untuk mengembalikan wilayah-wilayah koloni Belanda kepada negara tersebut – dengan mengecualikan Cape of Good Hope (Tanjung Harapan) di Afrika Selatan. sInggris juga memberikan kepulauan Bangka kepada Belanda sebagai ganti Kochi di India. Perjanjian ini kemudian disempurnakan lagi lewat perjanjian lanjutan di tahun 1824.
Setelah Inggris-Belanda Rujuk
Situasi dalam tajuk hubungan yang kondusif terus terjadi selama Perang Dunia, di mana Inggris dan Belanda menjadi sekutu bersama. Ketika Belanda diduduki oleh Hitler pada tahun 1940, Ratu Belanda Wilhelmina “mengungsi” ke Inggris dan memimpin pemerintahannya dari sana.
Pasca-perang, hubungan yang dekat itu terus terjadi hingga saat ini. Dua negara ini sama-sama menganut monarki konstitusional. Angkatan laut kedua negara juga menjalin hubungan yang sangat dekat – hal yang tentu saja menarik mengingat persaingan keduanya di masa lampau.
Beberapa perusahaan besar dunia juga punya pertalian asal dari dua negara ini, misalnya Royal Dutch Shell – perusahaan minyak dan gas –berasal dari dua negara ini. Ada juga Unilever yang menyediakan produk-produk kebutuhan mandi kalian yang merupakan hasil merger dua perusahaan, yakni perusahaan margarin Belanda bernama Margarine Unie dengan perusahaan sabun asal Inggris bernama Lever Brothers.
Pada akhirnya, kisah tentang Inggris dan Belanda akan jadi perbincangan yang selalu menarik. Banyak obrolan di warung kopi yang bilang bahwa Indonesia sulit maju karena dijajah Belanda, dan nasibnya akan berbeda kalau dijajah oleh Inggris. Namun, itu topik yang menarik untuk kita diskusikan di tulisan selanjutnya.
Belanda memang saat ini tidak sedominan Inggris di panggung politik internasional tetapi banyak yang menyebut negara ini sebagai raksasa yang sedang tertidur. Mungkin, Battle of Texel di awal tulisan tadi sudah lebih dari cukup untuk menggambarkannya.
Lalu, bagaimana menurut kalian? Mungkinkah Belanda suatu saat akan kembali ke masa kejayaannya lagi?
Baca Juga: Di Balik Kata Maaf Belanda
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.