Buya Hamka adalah ulama karismatik yang berasal dari Minangkabau yang dikenal karena menjadi tokoh Muhammadiyah, serta sempat menjabat sebagai Ketua Majelis Ulama Indonesia atau MUI paling pertama. Pada tahun 70-an hingga 80-an, Hamka juga dikenal sebagai oase rohani lewat siaran-siaran di radio. Lalu bagaimana kisah ulama karismatik ini?
Kita pasti tahu film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck yang dibintangi Pevita Pearce dan Reza Rahadian. Film itu diadopsi dari novel dengan judul sama yang ditulis oleh Buya Hamka dan terbit pada tahun 1938.
Membahas soal kisah Buya Hamka tak akan lengkap tanpa membicarakan pengalamannya yang sempat dipenjara atas perintah Soekarno karena difitnah bersekongkol akan membunuh sang presiden. Hamka menjadi salah satu korban Undang-Undang Antisubversif yang diterapkan kala itu.
Menariknya, walaupun dipenjara Soekarno, justru di kemudian hari Buya Hamka-lah yang menjadi imam shalat jenazah saat Soekarno berpulang. Lalu seperti apa kisah sosok ulama yang ternyata memiliki adik seorang pendeta ini?
Sekapur Sirih
Buya Hamka bernama lengkap Abdul Malik Karim Amrullah. Nama Hamka itu sendiri merupakan singkatan dari Haji Abdul Malik Karim Amrullah. Sementara Buya adalah gelar di Minangkabau yang diberikan pada orang yang alim dalam ilmu agama.
Hamka lahir di Tanah Sirah, Kabupaten Agam, Sumatra Barat pada 17 Februari 1908. Ia adalah anak pertama dari DR. Syaikh Abdul Karim Amrullah, tokoh pelopor dari Gerakan Islam “Kaum Muda” di Minangkabau. Hamka memiliki saudara bernama Abdul Wadud Karim Amrullah yang menjadi pendeta di Amerika Serikat (AS). Keduanya saudara seayah lain ibu. Di AS, adik Hamka ini memakai nama Willy Amrul.
Sementara ayah Hamka lebih sering dikenal dengan panggilan Haji Rasul. Ia adalah ulama terkemuka sekaligus reformis Islam dan telah memulai gerakannya pada tahun 1906 usai pulang dari Makkah.
Buya Hamka lahir di saat zaman hebat pertentangan kaum muda dan kaum tua. Kaum tua adalah golongan Islam tradisionalis yang percaya bahwa agama tidak bisa dipisahkan dari pengaruh adat istiadat, sehingga masih meyakini kepercayaan kepada nenek moyang dan lain sebagainya.
Sementara kaum muda adalah sebutan untuk para reformis Islam yang ingin membersihkan kawasan Minangkabau dari belenggu adat. Gerakan yang dibawa oleh kaum muda ini dianggap menjadi salah satu penyebab munculnya banyak tokoh intelektual dari wilayah Minang.
Oleh karena lahir di era pergerakan itu, Hamka sudah terbiasa mendengar perdebatan sengit antara kaum muda dan kaum tua tentang paham agama. Saat Buya Hamka berusia 10 tahun, ayahnya mendirikan pondok pesantren “Sumatera Thawalib” di Padang Panjang.
Di akhir tahun 1924, tepat di usia 16 tahun, Hamka merantau ke Yogyakarta dan mulai belajar pergerakan Islam modern kepada sejumlah tokoh seperti H.O.S Tjokroaminoto, Ki Bagus Hadikusumo, R.M Soerjopranoto, dan H. Fakhruddin. Dari sana ia mulai mengenal perbandingan antara pergerakan politik Islam, yaitu Sarekat Islam dan Muhammadiyah.
Setelah satu tahun berada di Jawa, ia kembali ke Padang Panjang pada Juli 1925. Lalu, pada tahun 1927, Buya Hamka memutuskan untuk pergi ke Makkah. Selama di Makkah, Buya Hamka belajar Bahasa Arab. Di sana ia juga bertemu dengan Agus Salim, intelektual dan jurnalis yang sama-sama berasal dari Minang. Agus Salim menyarankannya untuk lebih baik kembali ke Indonesia dan mengembangkan kariernya di sana.
Akhirnya, Hamka memutukan untuk kembali ke Indonesia setelah tujuh bulan berada di Makkah. Namun, Hamka tidak kembali ke Padang Panjang, melainkan ke Medan. Hamka bekerja sebagai penulis di harian Pelita Andalas yang awalnya merupakan surat kabar Tionghoa-Melayu. Ini menandai kiprah Hamka sebagai jurnalis dan penulis.
Buya Hamka kemudian menikah dengan Siti Raham pada 5 April 1929. Kala itu Hamka berusia 21 tahun, sementara istrinya berusia 15 tahun. Dari hasil pernikahan itu, sebagaimana dicatat oleh Irfan Hamka dalam AYAH…: Kisah Buya Hamka, Hamka dan Siti Raham diberkahi 10 orang anak.
Setelah menikah, Hamka lebih aktif dalam kepengurusan Muhammadiyah. Karena kegigihannya di Muhammadiyah, ia kemudian diangkat menjadi Ketua Muhammadiyah cabang Padang Panjang.
Hamka memang banyak menulis roman dan novel. Beberapa di antaranya adalah Si Sabariyah yang ditulis dalam bahasa Minangkabau, lalu ada Laila Majnun, hingga salah satu yang paling terkenal berjudul Di Bawah Lindungan Ka’bah. Karya yang terakhir ini tercatat sebagai karya sastra klasik Indonesia.
Kemudian ketika Jepang masuk ke Indonesia, Hamka sempat diangkat menjadi anggota Chuo Sangi-In yang merupakan dewan pertimbangan pusat pendudukan Jepang. Ia menerima pengangkatannya itu karena percaya dengan janji Jepang yang akan memberikan kemerdekaan bagi Indonesia. Namun, sikap kompromistis dan kedudukannya dalam pemerintahan pendudukan menyebabkan Hamka terkucil, dibenci, dan dipandang sinis oleh masyarakat.
Saat perang revolusi kemerdekaan Indonesia, Hamka ikut mendirikan Barisan Pengawal Nagari dan Kota yang ikut bergerilya melawan Belanda. Pada tahun 1949 Hamka pindah bersama keluarganya ke Jakarta. Ia diangkat menjadi pegawai Kementerian Agama yang kala itu dipimpin oleh KH Wahid Hasyim. Hamka juga menjadi pengajar di beberapa universitas dan giat memberikan ceramah.
Terjun ke Politik
Hamka kemudian terjun ke dunia politik dan bergabung dengan Partai Masyumi. Pada Pemilu 1955 Hamka terpilih sebagai anggota Konstituante. Hamka – seperti sikap Partai Masyumi – menolak gagasan Demokrasi Terpimpin yang dikemukakan oleh Soekarno.
Kiprah Hamka di Partai Masyumi memang membuatnya “dimusuhi” oleh PKI. Organisasi sayap PKI, Lekra, bahkan menuduh Hamka sebagai seorang plagiator. Pada tahun 1964, setelah Masyumi dibubarkan karena keterlibatan anggotanya dalam pemberontakan PRRI, Hamka pun ikut dipenjara.
Ia bahkan dituduh bersekongkol dengan Malaysia untuk menggulingkan pemerintah Indonesia dan membunuh Presiden Soekarno. Belakangan diketahui bahwa ia difitnah oleh anggota Masyumi sendiri. Hamka baru dibebaskan pada awal 1966.
Pasca bebas, Hamka menjalani aktivitas sebagai ulama dan pendakwah. Barulah di tahun 1975 ketika Majelis Ulama Indonesia didirikan, Hamka terpilih secara aklamasi sebagai ketua organisasi tersebut. Hamka meninggal dunia pada tahun 1981. Ia ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional pada tahun 2011.
Warisan Hamka adalah karya-karya kesustraan yang ia tuliskan serta kebesarannya sebagai ulama Indonesia dengan prinsip-prinsip yang dipegang secara teguh. Kisah Hamka juga menjadi gambaran aksi-aksi penolakan terhadap gagasan Nasakom yang dibawa oleh Soekarno. Sementara di Muhammadiyah sendiri, nama Buya Hamka diabadikan sebagai nama salah satu Universitas milik Muhammadiyah, yakni Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. HAMKA atau Uhamka.
► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.