HomeSejarahBila Kekaisaran Rusia Tidak Runtuh

Bila Kekaisaran Rusia Tidak Runtuh

Kekaisaran Rusia telah lama runtuh pada awal abad ke-20 – melahirkan bentuk negara Republik di tanah Rus dan Siberia. Namun, apa jadinya bila Kekaisaran Rusia tidak runtuh?


PinterPolitik.com

Bagi yang pernah menonton film Romanovy: Ventsenosnaya Semya atau Romanovs: A Crowned Family, sosok Tsar Nicholas II mungkin bukanlah sosok yang asing. Film ini sendiri merupakan drama sejarah Rusia yang tayang pada tahun 2000 yang menggambarkan detik-detik akhir kekuasaan keluarga bangsawan Romanov atau keluarga Kekaisaran Rusia saat Revolusi Bolshevik terjadi pada tahun 1918.

Tsar Nicholas II memang menjadi penguasa terakhir dinasti Romanov yang telah berkuasa sejak tahun 1613. Bisa dibilang lembar sejarah kebesaran Kerajaan Rusia di masa lalu ada di garis darah keluarga Romanov dan eksekusi yang dilakukan kepada Nicholas dan keluarganya kala itu mengakhiri kekuasaan 304 tahun dinasti tersebut.

Kita kemudian masuk ke babak baru sejarah peradaban di mana Uni Soviet kemudian berdiri. Komunisme muncul sebagai ideologi besar – ketika narasi perang bertajuk Perang Dunia II lalu kemudian Perang Dingin.  Wajah dunia lalu diisi persaingan antara Uni Soviet dan Amerika Serikat (AS) – sebelum akhirnya Uni Soviet mengalami keruntuhan pada tahun 1991.

Namun, pernahkah kalian bertanya-tanya, apa ya yang akan terjadi kalau Kekaisaran Rusia tidak runtuh dan bisa bertahan? Apa yang akan terjadi pada wajah dunia secara keseluruhan ya?

Sebelum bahas soal apa yang akan terjadi jika Kekaisaran Rusia tidak runtuh, mungkin perlu bagi kita untuk mengetahui latar kondisi di era-era akhir kekuasaan Nicholas II – bernama lengkap Nikolai II Alexandrovich Romanov. Ia merupakan putra tertua dari Tsar Alexander III dan dimahkotai sebagai raja pada tahun 1894 menggantikan ayahnya.

Baca Juga: Menguak Manuver Prabowo Dekati Rusia

Di awal-awal kekuasaannya, Nicholas sebetulnya kurang percaya diri untuk menjadi penguasa Rusia. “Saya tidak dipersiapkan untuk menjadi Tsar. Saya tidak pernah ingin menjadi salah satu dari antaranya,” demikian kata Nicholas. 

Ini memang terjadi karena sang ayah tak mempersiapkannya untuk jabatan tersebut. Alexander III sendiri juga dikenal sebagai pemimpin bertangan besi, menekan kebebasan pers, dan kebebasan masyarakat.

Akibatnya, Nicholas mendapatkan warisan kondisi politik yang mulai diwarnai oleh riak-riak ketidakpuasan terhadap keluarga kerajaan. Ini bertambah buruk beberapa hari setelah penobatannya – kala terjadi kerusuhan yang menyebabkan meninggalnya sekitar 1.400 orang. Mereka berdesak-desakan untuk mendapatkan suvenir dan hadiah yang diberikan saat itu. Nicholas akhirnya mendapatkan julukan “Nicholas the Bloody” gara-gara tragedi tersebut.

Situasinya kemudian bertambah parah ketika pada tahun 1905, pemerintah membunuh 100-an orang yang melakukan protes dalam gerakan yang juga dikenal sebagai Russian Revolution of 1905. Peristiwa ini berujung pada reformasi dalam konstitusi Rusia, termasuk dengan pembentukan State Duma – semacam lembaga legislatif rendah, pemberlakuan sistem multi-partai, hingga lahirnya Konstitusi Rusia 1996.

Kondisi tambah tak berpihak pada Nicholas II karena ia melakukan banyak perang yang tak ingin dilakukan oleh masyarakatnya sendiri. Pada tahun 1904 dan 1905, terjadi Russo-Japanese War antara Rusia melawan Jepang yang dimenangkan oleh Jepang.  Total korban dari pihak Rusia sendiri diperkirakan berkisar antara 43.300 hingga 120.000 orang.

Hal yang serupa juga terjadi pada Perang Dunia I ketika Nicholas membawa Rusia ikut terlibat dalam perang yang skalanya ketika itu tidak diprediksi. Disebutkan bahwa Rusia adalah negara dengan korban tewas terbanyak dari perang tersebut – diperkirakan sekitar 1,8 juta prajurit militer yang tewas, sementara dari masyarakat sipil Rusia, ada 1,5 juta yang tewas.

Perang ini juga yang melemahkan kontrol Nicholas atas Rusia. Pasalnya, dengan banyak laki-laki yang berperang, hampir semua sisi kehidupan masyarakat kolaps. Rantai produksi makanan, sistem transportasi, dan lain sebagainya, semuanya menjadi kacau. Demikian pun dengan protes dan kerusuhan pun makin sering terjadi.

Baca Juga: Trump-Rusia Uji Nyali Biden?

Awalnya, Nicholas menolak untuk turun takhta, sebelum akhirnya merelakan takhta kepemimpinan pada tahun 1917. Kisah tentang Nicholas menarik juga karena kala itu ada sosok bernama Grigori Rasputin yang menjadi penasihat spiritual keluarga Romanov. Ini awalnya gara-gara putra Nicholas yang bernama Alexei lahir dengan hemofilia. 

Istri Nicholas yang bernama Alexandra percaya pada kekuatan mistis Rasputin yang disebut-sebut menjadi penyelamat anaknya. Hemofilia merupakan kelainan yang membuat pendarahan tidak bisa membeku sehingga berpotensi akan mudah mati kehabisan darah kalau terluka sedikit saja.

Keberadaan Rasputin menimbulkan kecurigaan di masyarakat yang kemudian berujung pada kebencian. Singkatnya, semua akumulasi peristiwa yang terjadi pada akhirnya berujung pada pemberontakan dalam tajuk Revolusi Bolshevik yang dipimpin oleh Vladimir Lenin. Nicholas sempat meminta suaka dan perlindungan dari Inggris dan Prancis – mengingat istri Nicholas adalah cucu dari Ratu Victoria – tetapi, kala itu, permintaannya ditolak.

Keluarga Romanov akhirnya ditangkap oleh kelompok pemberontak. Mereka ditahan secara berpindah-pindah dari rumah ke rumah, sebelum kemudian dibunuh pada 17 Juli 1918. Menariknya, pembunuhan kejam tersebut justru membuat banyak masyarakat di Rusia merindukan kembali keberadaan monarki di negara mereka.

Hingga hari ini masih banyak bagian dari masyarakat Rusia yang ingin menghidupkan kembali monarki. Jika masih bertahan hingga hari ini, apa yang akan terjadi pada politik dunia ya?

Andai Masih Berdiri?

Well, jika Kekaisaran Rusia masih bertahan hingga saat ini, maka kita akan menyaksikan salah satu entitas monarki yang besar dan masih berkuasa hingga saat ini. Sebagai catatan, Kekaisaran Rusia adalah kerajaan terluas ketiga dalam sejarah manusia – hanya kalah dari Imperium Britania dan Kekaisaran Mongol.

Baca Juga: Rusia-Tiongkok Pemantik Perang Siber?

Kemudian, kita kemungkinan besar tidak akan menyaksikan komunisme jika Kekaisaran Rusia masih bertahan. Bagaimanapun juga, perkembangan komunisme – termasuk hingga menyebar ke Indonesia – tidak bisa dipisahkan dari sejarah Uni Soviet. 

Jika masih ada Kekaisaran Rusia, maka besar kemungkinan tidak akan ada Uni Soviet. Bagaimana mungkin menciptakan masyarakat yang sama rata dan sama rasa kalau masih ada monarki?

Yang jelas, apa yang terjadi di Rusia ini menjadi gambaran runtuhnya kekuasaan banyak monarki di Eropa pasca-Perang Dunia I. Bagaimana pun juga, monarki jelas bukan simbol dari kesetaraan dalam masyarakat. 

Mungkin kasusnya berbeda kalau dibandingkan dengan Inggris, misalnya, di mana dalam sensus yang dilakukan hampir setiap tahunnya, rata-rata hanya 18 persen masyarakat yang ingin negaranya itu berubah menjadi republik. Ini juga yang mungkin menjadi alasan mengapa orang-orang Rusia kini juga banyak yang merindukan entitas monarki itu sendiri. 

Pasalnya, ada warisan nilai-nilai sejarah dan budaya di dalamnya. Ini mungkin mirip dengan kisah yang terjadi pada monarki di Yogyakarta. Lalu, bagaimana menurut kalian? Apa yang akan terjadi dalam sejarah alternatif versi kalian kalau Kekaisaran Rusia tidak runtuh? Apakah Vladimir Putin bakal tetap menjadi penguasa di Rusia?

Baca Juga: Indonesia Lebih Hebat dari Rusia?


► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Youtube Membership

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Ebook Promo Web Banner
spot_imgspot_img

#Trending Article

Kok Megawati Gak Turun Gunung?

Ketua Umum (Ketum) PDIP, Megawati Soekarnoputri hingga kini belum terlihat ikut langsung dalam kampanye Pilkada. Kira-kira apa alasannya? 

Berani Prabowo Buka Pandora Papers Airlangga?

Ramai-ramai bicara soal kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) 12 persen yang disertai dengan protes di media sosial, tiba-tiba juga ramai pula banyak akun men-share kembali kasus lama soal nama dua pejabat publik – Airlangga Hartarto dan Luhut Pandjaitan – yang di tahun 2021 lalu disebut dalam Pandora Papers.

“Sekolam” Ahok, Kesaktian Anies Luntur?

Keputusan Anies Baswedan meng-endorse Pramono Anung-Rano Karno di Pilkada Jakarta 2024 memantik interpretasi akan implikasi politiknya. Utamanya karena Anies pada akhirnya satu gerbong dengan eks rivalnya di 2017 yakni Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan PDIP serta tendensi politik dinasti di dalamnya, termasuk yang terjadi pada Pramono.

Siasat Prabowo Akui Sengketa LCS

Pemerintahan Prabowo disorot karena ‘akui’ klaim tumpang tindih LCS dalam joint statement Tiongkok. Mungkinkah ada siasat strategis di baliknya?

Rahasia Triumvirat Teddy, AHY, dan Hegseth?

Terdapat kesamaan administrasi Presiden terpilih Amerika Serikat, Donald Trump dengan Presiden Prabowo Subianto, yakni mempercayakan posisi strategis kepada sosok berpangkat mayor. Kiranya, terdapat rahasia tertentu di balik kesamaan itu yang dapat mendukung support dalam dimensi tertentu ke pemerintahan masing-masing. Mengapa demikian?

Betulkah Jokowi Melemah? 

Belakangan mulai muncul pandangan bahwa pengaruh politik Jokowi kian melemah, hal tersebut seringnya diatribusikan dengan perkembangan berita judi online yang kerap dikaitkan dengan Budi Arie, dan kabar penangguhan jabatan doktor Bahlil Lahadalia, dua orang yang memang dulu disebut dekat dengan Jokowi. Tapi, apakah betul Jokowi sudah melemah pengaruhnya? 

Masihkah Prabowo Americans’ Fair-Haired Boy?

Dua negara menjadi tujuan utama Prabowo saat melakukan kunjungan kenegaraan pertamanya pasca dilantik sebagai presiden: Tiongkok dan Amerika Serikat.

Paloh Pensiun NasDem, Anies Penerusnya?

Sinyal “ketidakabadian” Surya Paloh bisa saja terkait dengan regenerasi yang mungkin akan terjadi di Partai NasDem dalam beberapa waktu ke depan. Penerusnya dinilai tetap selaras dengan Surya, meski boleh jadi tak diteruskan oleh sang anak. Serta satu hal lain yang cukup menarik, sosok yang tepat untuk menyeimbangkan relasi dengan kekuasaan dan, plus Joko Widodo (Jokowi).

More Stories

Menyingkap Sportwashing dalam Laga Indonesia-Bahrain

Kontroversi ini perpanjang daftar kritik terhadap wasit dari Timur Tengah, di tengah dugaan bias dan pengaturan skor sepak bola internasional.

Unlike Jokowi, Prabowo Will Be His Own Man

More assertive foreign policy and democratic backsliding are most likely on the horizon as Prabowo Subianto becomes the next Indonesian president.

Fenomena Gunung Es “Fake Review”

Fenomena fake review kini banyak terjadi di jual-beli daring (online). Siapakah yang dirugikan? Konsumen, reviewer, atau pelaku usahakah yang terkena dampaknya? PinterPolitik.com Sejak berlangsungnya proliferasi internet...