HomeSejarahBila Jepang-Jerman Menang Perang Dunia II

Bila Jepang-Jerman Menang Perang Dunia II

Jerman Nazi dan Jepang Imperial dalam Blok Axis berakhir menjadi pihak yang kalah dalam Perang Dunia II. Namun, apa yang akan terjadi bila Blok Axis ini memenangkan perang besar tersebut?


PinterPolitik.com

Suatu pagi pada tanggal 30 September 1942 menunjukkan bahwa dua bangsa yang sangat berbeda bisa saling mengekspresikan kedekatan dan persahabatan melalui kunjungan kapal selam serta berbagai perlombaan seperti tarik tambang dan permainan sederhana lainnya. Namun, nilai-nilai persahabatan kedua negara ini ternyata bukanlah untuk tujuan perdamaian, melainkan untuk membangun sebuah aliansi dalam salah satu perang terbesar dalam sejarah.

Dua negara ini adalah Jerman Nazi dan Jepang Imperial yang bersiap untuk menyatukan visi kala Perang Dunia II berlangsung. Bila kita ingat-ingat kembali pelajaran sejarah yang kita dapat di sekolah, Jepang dan Jerman – bersama Italia – kala itu disebut sebagai Blok Axis (Axis Power) atau Blok Poros.

Blok ini kemudian muncul sebagai lawan dari Blok Sekutu (the Allies). Meski begitu, Blok Axis akhirnya menjadi kubu yang kalah. Setelah Hiroshima dan Nagasaki dibombardir, praktis Jepang jatuh. Sementara, Jerman Nazi juga kalah ketika pada Maret 1945 tentara Sekutu berhasil memukul mundur tentara Jerman dan menyeberangi Sungai Rhine. Bahkan, di front timur, kemundurannya sudah terlihat sejak kekalahan dalam Pertempuran Stalingrad dari Uni Soviet di tahun 1943.

Baca Juga: Ridwan Kamil Ungguli Jepang-Tiongkok?

Setelah akhirnya Blok Axis sepenuhnya menyerah, dunia kemudian memasuki sebuah periode baru dengan berakhirnya Perang Dunia II. Berbagai peristiwa dan periode waktu bersejarah terjadi, mulai dari Perang Dingin, runtuhnya Uni Soviet, hingga Amerika Serikat (AS) yang menjadi negara adikuasa satu-satunya di dunia.

Namun, pernahkah kita bertanya-tanya, apa yang akan terjadi pada wajah dunia andai Jepang dan Jerman muncul sebagai pemenang Perang Dunia II? Apakah mungkin berbagai peperangan yang terjadi di abad ke-21 – seperti Invasi Irak, Afghanistan, hingga Aneksasi Krimea – malah bisa dicegah?

Apakah Jepang di masa depan bakal tetap menghasilkan berbagai anime dan manga popular? Apakah lantas Hitler bakal menghabiskan masa tuanya di Garut, Indonesia? Atau, bahkan Indonesia malah bakal tidak ada – mengingat Jepang Imperial kala itu juga menduduki Hindia Belanda?

Hypothetical Axis Victory

Sejarah alternatif memang salah satu topik bahasan paling menarik, terutama terkait hasil Perang Dunia II. Saking populernya, ada terminologi yang disebut sebagai konsep Hypothetical Axis Victory. Ini adalah konsep yang menarasikan sejarah alternatif. Bahkan, jauh sebelum Perang Dunia II itu berakhir, telah banyak orang yang meraba-raba masa depan dunia kalau Hitler dan kawan-kawan menang.

Baca juga :  Zaken Kabinet atau Titan Kabinet?

Salah satu individu yang pernah membayangkan kemenangan Hitler adalah Katharine Burdekin – seorang novelis asal Inggris – melalui karyanya yang berjudul Swastika Night. Ini adalah novel yang terbit pada tahun 1937 dan menggambarkan kondisi distopia dalam tajuk “Thousand Year Reich” yang diklaim akan didirikan oleh Adolf Hitler.

Baca Juga: Jepang, “Pelindung” Baru Prabowo?

Karya lain yang cukup terkenal adalah Fatherland yang ditulis oleh Robert Harris dan terbit pada tahun 1992. Ceritanya berpusar pada seorang detektif yang ingin menangkap seorang pembunuh. Namun, sang pembunuh memiliki posisi jabatan dalam tirani pemerintahan Nazi sehingga detektifnya yang malah ditangkap.

Terlepas dari kisah detektif itu, untuk bilang bahwa Blok Axis ini bisa menang sebetulnya bukan tanpa alasan. Kalau dilihat dari jumlah korban masing-masing pihak misalnya, Perang Dunia II menewaskan total setidaknya 70 juta orang di seluruh dunia. Dari jumlah tersebut, sekitar 85 persen berasal dari negara-negara Sekutu dan hanya 15 persen dari Blok Axis.

Gambaran Alternatif Dunia Jepang-Jerman

Lalu, akan seperti apa dunia kalau Blok Axis menang? Mari kita mulai dari motif ekspansi itu sendiri. Salah satu motif Jepang sebetulnya berawal dari ekonomi. Pasca-kemenangan mereka dalam perang melawan Rusia di tahun 1904 sampai 1905, Jepang memang masih bebas berdagang dengan negara lain tetapi mulai kehilangan kepercayaan terhadap negara-negara Barat.

Maka, opsi akuisisi wilayah-wilayah lain diambil untuk memenuhi kebutuhan ekonomi, mulai dari sumber daya alam, hingga pekerja. Di Korea, misalnya, setelah dianeksasi Jepang pada 1910, wilayah itu dijadikan basis industri dengan pekerja murah ataupun pekerja paksa. Konteks yang sama kemudian juga terjadi ke negara-negara yang lain.

Jelang tahun 1930-an, Jepang kemudian mengalami perlambatan pertumbuhan ekonomi. Solusinya pun adalah invasi. Jepang lalu menguasai Manchuria yang kaya akan batu bara dan bijih besi untuk kebutuhan industri. Ini sama halnya yang terjadi pada invasi ke Tiongkok dan negara-negara Asia Tenggara.

Baca juga :  Zaken Kabinet atau Titan Kabinet?

Baca Juga: Ada Jepang di Pajak Mobil 0 Persen?

Walaupun ada juga yang bilang motif kebangkitan nasionalisme Jepang dan efek rasialis bangsa Barat juga jadi penentu, setidaknya alasan ekonomi ini bisa membantu kita mendapatkan gambaran seperti apa Jepang jika menang perang. Sangat mungkin Jepang akan terus berekspansi ke negara-negara di Pasifik, termasuk hingga ke AS.

Lalu, bagaimana dengan Jerman? Jerman mungkin akan jadi penguasa Eropa dan bahkan dunia – andai Hitler tidak kecanduan narkoba. Beberapa penulis macam Giles Milton memang menyebutkan bahwa ketika Hitler memerintahkan untuk menginvasi Uni Soviet, sang Führer tersebut sebetulnya habis disuntik dengan obat-obatan yang kalau di saat-saat sekarang ini dibilang sebagai narkoba.

Meski begitu, kalaupun rencana invasi Hitler berhasil, maka kemungkinan yang paling besar terjadi adalah terbentuknya Pan-Jermanisme. Awalnya, ide yang salah satunya diadopsi dari pemikiran Houston Stewart Chamberlain adalah untuk menyatukan bangsa-bangsa berbahasa Jerman saja. Namun, paham ini sangat mungkin akan menyatukan seluruh Eropa di bawah Jerman, sekalipun saat ini sebetulnya Eropa sudah “tunduk” di bawah pengaruh Jerman dan Angela Merkel.

Lalu, apakah akan ada kekacauan jika Jepang dan Jerman berkuasa? Kalau kepemimpinannya kuat mungkin bukan kekacauan yang ada, tapi kontrol terhadap masyarakat akan menjadi sangat kuat. Jika Nazi dan Jepang cukup percaya diri untuk menginvasi AS, maka dunia akan ada di bawah kontrol mereka sepenuhnya. Mungkin, berbagai lembaga internasional seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan lain sebagainya tidak bakal eksis.

Indonesia sebagai sebuah negara juga mungkin belum akan ada karena Jepang masih berkuasa. Wilayah Nusantara mungkin hanya dijadikan sebagai koloni seperti Korea dulu.

Singkatnya, wajah dunia dan alternatif sejarah ini akan sangat berbeda dibandingkan saat ini. Bahkan, berbagai produk budaya seperti anime, manga, hingga drama Korea dan BTS bisa saja bakal tidak akan lahir – mengingat ini semua terjadi akibat globalisasi di bawah adikuasa AS.

Baca Juga: Sri Mulyani Belajar dari Jerman


► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Youtube Membership

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Ebook Promo Web Banner
spot_imgspot_img

#Trending Article

Prabowo dan “Kebangkitan Majapahit”

Narasi kejayaan Nusantara bukan tidak mungkin jadi landasan Prabowo untuk bangun kebanggaan nasional dan perkuat posisi Indonesia di dunia.

Prabowo & Trump: MAGA vs MIGA? 

Sama seperti Donald Trump, Prabowo Subianto kerap diproyeksikan akan terapkan kebijakan-kebijakan proteksionis. Jika benar terjadi, apakah ini akan berdampak baik bagi Indonesia? 

The War of Java: Rambo vs Sambo?

Pertarungan antara Andika Perkasa melawan Ahmad Luthfi di Pilgub Jawa Tengah jadi panggung pertarungan besar para elite nasional.

Menguji “Otot Politik” Andika Perkasa

Pilgub Jawa Tengah 2024 kiranya bukan bagaimana kelihaian politik Andika Perkasa bekerja di debutnya di kontestasi elektoral, melainkan mengenai sebuah hal yang juga lebih besar dari sekadar pembuktian PDIP untuk mempertahankan kehormatan mereka di kandang sendiri.

Menyoal Kabinet Panoptikon ala Prabowo

Pemerintahan Prabowo disebut memiliki kabinet yang terlalu besar. Namun, Prabowo bisa jadi memiliki kunci kendali yakni konsep "panoptikon".

Tidak Salah The Economist Dukung Kamala?

Pernyataan dukungan The Economist terhadap calon presiden Amerika Serikat, Kamala Harris, jadi perhatian publik soal perdebatan kenetralan media. Apakah keputusan yang dilakukan The Economist benar-benar salah?

Ridwan Kamil dan “Alibaba Way”

Ridwan Kamil usulkan agar setiap mal di Jakarta diwajibkan menampilkan 30 persen produk lokal. Mungkinkah ini gagasan Alibaba Way?

Hype Besar Kabinet Prabowo

Masyarakat menaruh harapan besar pada kabinet Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.

More Stories

Menyingkap Sportwashing dalam Laga Indonesia-Bahrain

Kontroversi ini perpanjang daftar kritik terhadap wasit dari Timur Tengah, di tengah dugaan bias dan pengaturan skor sepak bola internasional.

Unlike Jokowi, Prabowo Will Be His Own Man

More assertive foreign policy and democratic backsliding are most likely on the horizon as Prabowo Subianto becomes the next Indonesian president.

Fenomena Gunung Es “Fake Review”

Fenomena fake review kini banyak terjadi di jual-beli daring (online). Siapakah yang dirugikan? Konsumen, reviewer, atau pelaku usahakah yang terkena dampaknya? PinterPolitik.com Sejak berlangsungnya proliferasi internet...