HomeSejarahBila Indonesia Jadi Negara Serikat

Bila Indonesia Jadi Negara Serikat

Republik Indonesia Serikat (RIS) sudah lama berakhir dengan kembalinya bentuk negara kesatuan Republik Indonesia. Namun, apa yang akan terjadi bila Indonesia tetap berbentuk negara serikat?


PinterPolitik.com

Bagi banyak orang Indonesia, tanggal 17 Agustus mungkin menjadi hari yang sakral. Bagaimana tidak? Tanggal tersebut – khususnya pada tahun 1945 – menjadi momen penting akan lahirnya negara Republik Indonesia.

Setiap tahun, hari itu selalu diperingati dengan berbagai kegiatan – mulai dari upacara kemerdekaan hingga acara perlombaan yang diadakan di tingkat RT dan RW. Peringatan seperti ini pun tidak hanya dirayakan di Indonesia, melainkan juga oleh warga-warga kita yang berada di luara negeri.

Salah satu peringatan tersebut pernah dilaksanakan di Amsterdam, Belanda, pada tahun 1949 yang dihadiri oleh sejumlah tokoh. Salah satunya adalah Sultan Hamid II yang memberikan sambutan di Minerva Pavilijoen.

Apa yang unik dari Sultan Hamid II ini adalah julukan yang dimilikinya, yakni The Federalist. Ia adalah salah satu tokoh Indonesia di awal-awal perjuangan kemerdekaan yang berjuang bagi terbentuknya Indonesia sebagai sebuah negara federal – mirip dengan model negara federasi ala Amerika Serikat (AS).

Sejarah juga pernah mencatat bahwa, antara tahun 1949 sampai 1950, Indonesia sempat menjadi sebuah negara federasi bernama Republik Indonesia Serikat alias Republic of The United States of Indonesia (USI). Keberadaan RIS sebagai negara federal ini memang merupakan salah satu poin penting terkait perjuangan untuk mendapatkan pengakuan kedaulatan – apalagi Belanda tampaknya memang bermaksud untuk tetap mengukuhkan pengaruhnya di Bumi Pertiwi lewat RIS ini.

Baca Juga: Benarkah Digdaya Xi Jinping Buatan Amerika Serikat?

Cees Fasseur dalam bukunya Juliana en Bernhard bahkan menyinggung soal pemberontakan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) yang digalakkan Westerling. Uniknya, disebutkan ada Sultan Hamid II di belakangnya yang dianggap punya kaitan dengan keinginan Pangeran Bernhard – suami dari Ratu Juliana – yang ingin berkuasa sebagai onderkoning atau raja bawahan yang berkuasa atas Nusantara. Artinya, bentuk federasi adalah salah satu jalan menuju pengukuhan pengaruh itu. 

RIS kemudian berakhir pada 17 Agustus 1950 dan Indonesia berubah menjadi sebuah Negara Kesatuan. Namun, andai kata, apabila Indonesia tetap menjadi negara federasi hingga kini, kira-kira, apa yang akan terjadi di Bumi Pertiwi ini? Apakah negara kita akan menjadi lebih baik atau lebih buruk dari kondisi saat ini?

Ketika Muncul Gagasan Indonesia Serikat

Gagasan tentang Indonesia sebagai sebuah negara federasi sebetulnya merupakan kombinasi ide dari beberapa kelompok orang Indonesia dengan orang-orang dari Belanda sendiri. Di kubu Indonesia, selain Sultan Hamid II, Bung Hatta disebut-sebut sebagai orang yang setuju dengan model federasi. Ini misalnya diungkapkan oleh Solichin Salam dalam bukunya Soekarno-Hatta ketika ia mengutip pernyataan Soekarno.

Baca juga :  Apple Fight: King Indo vs Vietnam

Sementara, di kubu Belanda, Hubertus Johannes van Mook yang merupakan Letnan Gubernur Jenderal Hindia Belanda di tahun-tahun perjuangan kemerdekaan Indonesia adalah salah satu penggagas ide negara federasi Indonesia. Ia menjadi salah satu orang yang menyebarkan gagasan federalisme. Benturan juga terjadi di antara orang-orang Belanda sendiri karena banyak juga yang menentang Van Mook dan menginginkan Indonesia jadi bagian dari wilayah persemakmuran Belanda.

Kala itu, beberapa bagian dari negara federasi Indonesia terbentuk – misal Negara Indonesia Timur alias NIT. Beberapa wilayah otonom lain yang terbentuk juga adalah Sumatra Timur, Sumatra Selatan, Jawa Tengah, Pasundan, Jawa Timur, Borneo Timur, Borneo Barat, Bandjar, Bangka, dan Riau.

Van Mook juga mengajukan pembentukan Voorlopige Federale Regering (Pemerintah Federal Sementara). Ini merupakan era yang kalau di buku sejarah mata pelajaran di sekolah dulu disebut sebagai era “negara-negara boneka Belanda”. 

Namun, gagasan Van Mook ini menimbulkan perbedaan pandangan dan kekecewaan sehingga beberapa tokoh macam Ida Anak Agung Gde Agung menginisiasi konferensi serupa yang kemudian melahirkan Bijeenkomst voor Federale Overleg (BFO) atau Majelis Permusyawaratan Federal.

Baca Juga: Jenderal Hoegeng: Polisi Jujur Yang Disingkirkan Soeharto

BFO ini kemudian menjadi salah satu ujung tombak perundingan dengan Belanda. BFO dianggap sebagai representasi dari keinginan pembentukan federasi Indonesia. Maka dari itu, saat Konferensi Meja Bundar (KMB) berjalan, pihak yang berunding ada tiga, yakni Republik Indonesia, Kerajaan Belanda, dan BFO ini.

BFO ini beranggotakan lima belas negara bagian bentukan Belanda. Bahkan, wilayah seperti Madura yang kini merupakan bagian dari Provinsi Jawa Timur menjadi negara bagian sendiri BFO sendiri juga sempat dipimpin oleh Sultan Hamid II.

BFO ini kemudian menjadi dasar pembentukan Republik Indonesia Serikat alias USI tadi dan empat punya konstitusi tersendiri. Namun, seiring terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia, dengan sendirinya USI ini berakhir. Lalu, bagaimana bila bentuk federasi ini ternyata bertahan?

Bila RIS Masih Eksis

Sebelum membahas perandai-andaiannya, perlu dipahami bahwa kondisi Indonesia saat itu memang tengah berusaha “dipecah-pecah” oleh Belanda agar suara dan perjuangannya menjadi lemah. Bagi para pejuang dan pendiri bangsa, menyetujui untuk jadi negara serikat sangat mungkin adalah semata-mata demi mendapatkan pengakuan kedaulatan terlebih dahulu.

Baca juga :  Trump Ancam BRICS, Prabowo Balik Kanan?

Kemudian, bila sudah aman, baru kembali dari negara serikat menjadi negara kesatuan. Yang jelas, negara kesatuan tentu akan lebih kuat ikatannya sehingga tidak mudah digoyah oleh pengaruh dari luar. 

Jadi, kalau Indonesia saat itu tetap menjadi negara serikat, besar kemungkinan perpecahan akan jauh lebih besar efeknya. Negara-negara bagian bisa saja akan memilih menjadi negara merdeka. Mungkin, Republik Madura atau yang lainnya bisa saja terbentuk.

Baca Juga: Permesta: Saat Amerika Serikat Perang Lawan Soekarno?

Sementara, kalau kita mengabaikan faktor-faktor itu dan mengandaikan bahwa Indonesia tetap utuh dan tidak ada masalah soal bentuk federasi ini, maka sangat mungkin kita akan menjadi seperti AS. Pemerintah provinsi atau negara bagian akan punya porsi kekuasaan yang besar. Lalu, keberadaan Dewan Perwakilan Daerah alias DPD juga akan makin kuat – mirip seperti Senat di AS.

Kemudian, apakah daerah-daerah akan jadi lebih maju? Well, tergantung juga. Kalau kebijakan yang dibuat di daerah benar-benar mampu menjawabi masalah, sangat mungkin bisa maju. 

Namun, perlu diingat juga bahwa kondisi saat itu juga tidak semua daerah sudah berkembang bagus. Masih banyak juga daerah yang lebih tertinggal – persoalan ini sampai sekarang juga masih terjadi.

Dari sisi hukum, negara-negara bagian juga bisa membuat hukum sendiri sesuai kebutuhan mereka seperti di AS. Hanya saja, yang perlu jadi catatan adalah bahwa model federasi AS terjadi karena, di awal negara itu terbentuk, ada keinginan untuk menyeimbangkan posisi pemerintah nasional dan pemerintah negara bagian. Mungkin, ini yang berbeda dengan di Indonesia, di mana negara bagian di kita kala itu adalah hasil bentukan Belanda.

Intinya, mau bentuk negara apapun sebenarnya tergantung masyarakat dan para pemimpinnya juga. Kalau federasi tetapi infrastruktur kekuasaannya buruk, mungkin persoalan pembangunan yang kurang merata bakal tetap eksis. Demikian pun sebaliknya.

Lalu, bagaimana menurut kalian? Apakah kalian masih berpikir bentuk federasi lebih baik untuk Indonesia?

Baca Juga: Republik Lanfang, Republik Pertama di Nusantara?


► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Youtube Membership

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Ebook Promo Web Banner
spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Menyingkap Sportwashing dalam Laga Indonesia-Bahrain

Kontroversi ini perpanjang daftar kritik terhadap wasit dari Timur Tengah, di tengah dugaan bias dan pengaturan skor sepak bola internasional.

Unlike Jokowi, Prabowo Will Be His Own Man

More assertive foreign policy and democratic backsliding are most likely on the horizon as Prabowo Subianto becomes the next Indonesian president.

Fenomena Gunung Es “Fake Review”

Fenomena fake review kini banyak terjadi di jual-beli daring (online). Siapakah yang dirugikan? Konsumen, reviewer, atau pelaku usahakah yang terkena dampaknya? PinterPolitik.com Sejak berlangsungnya proliferasi internet...