HomeSejarahApa yang Terjadi Bila PKI Berkuasa?

Apa yang Terjadi Bila PKI Berkuasa?

Tanggal 30 September kerap diperingati sebagai hari di mana pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) digagalkan. Namun, tidak sedikit orang pasti berandai-andai bila apa yang terjadi di masa lampau tidak demikian. Kira-kira, apa yang terjadi jika PKI berhasil berkuasa?


PinterPolitik.com

Tanggal 14 Oktober 1952 bisa dibilang menjadi salah satu momen-momen terakhir salah satu pemimpin paling berpengaruh di dunia, yakni pemimpin komunis Uni Soviet Joseph Stalin. Kala Kongres Partai Komunis Soviet digelar pada hari itu, Stalin yang beberapa kemudian meninggal dunia – tepatnya pada 5 Maret 1953 mengucapkan terima kasih pada para pendukungnya.

Meski Stalin menjadi salah satu sosok yang paling dihormati dalam gerakan Marxis-Leninis, bukan rahasia umum lagi apabila pemimpin Uni Soviet tersebut menjadi sosok yang paling dikenal karena kekejamannya. Kurang lebih, diperkirakan ada 23 juta orang yang tewas di bawah kekuasaannya.

Dari sini, tidak salah lagi apabila Stalin kerap dianggap sebagai sosok yang memiliki pengaruh dan kekuasaan (power) yang kuat. Pemimpin Uni Soviet adalah gambaran paling kuat dari citra kekuasaan komunisme pada sebuah negara.

Mungkin, signifikansi Stalin ini pun membuat sejumlah orang bertanya-tanya. Coba bayangkan bila ada sosok simbol kekuasaan komunisme di Indonesia bak Stalin di Uni Soviet. Bila itu benar terjadi, bukan tidak mungkin semua hal yang kita pelajari akan sejarah negara ini akan berubah total.

Baca Juga: Apa Sebenarnya Masalah PKI?

Konteks ini menarik untuk ditelusuri mengingat tragedi di tahun 1965 – yang disebut-sebut melibatkan Partai Komunis Indonesia (PKI) – punya beberapa jalur kekuasaan yang bisa berdampak secara berbeda. Jika Soekarno tetap mampu mengendalikan kekuasaan saat itu, misalnya, mungkin wajah Indonesia akan berbeda dari yang sekarang.

Kemungkinan yang lain adalah jika teori revolusi Aidit dengan 30 persen tentara ternyata bisa terjadi dan berhasil mengambil alih pemerintahan, hal yang berbeda juga bisa terjadi. Jika demikian, akan seperti apa Indonesia kalau PKI ternyata berhasil memenangkan perebutan kekuasaan? Mungkinkah Indonesia akan berujung menjadi seperti Uni Soviet era Stalin atau model negara komunis yang lain?

Apa Sebenarnya PKI?

Sebelum membahas nasib Indonesia kalau PKI berhasil menjadi partai penguasa, mungkin kita perlu sedikit membahas karakteristik perjuangan PKI. Semua pasti sudah tahu bahwa komunisme berangkat dari pemikiran Karl Marx terkait perjuangan kelas dalam masyarakat yang menjadi dasar dari sejarah peradaban manusia.

Ada banyak penulis dan akademisi yang mencoba membagi periodisasi pada PKI. Namun, secara garis besar arah perjuangannya, setidaknya ada tiga periode besar yang terjadi pada PKI.

Periode pertama adalah periode waktu yang berujung pada pemberontakan di tahun 1926. Periode kedua adalah periode waktu yang berujung pada pemberontakan di tahun 1948 dan periode yang ketiga yang berujung pada peristiwa 1965. Di ketiga periode ini, PKI memiliki arah perjuangannya masing-masing dengan karakter yang cukup berbeda.

Periode sebelum 1926 adalah era ketika PKI yang sebelumnya bertumbuh dari Indische Sociaal-Democratische Vereeniging (ISDV) yang digagas oleh Hendricus Josephus Franciscus Marie Sneevliet yang dikenal sebagai Henk Sneevliet. Organisasi ini didirikannya untuk mencari dukungan dari masyarakat pribumi.

Di era ini, sosok-sosok seperti Semaun, Tan Malaka, dan Darsono adalah beberapa tokoh yang tertarik pada gagasan komunisme ini. ISDV kemudian juga membangun basis yang kuat dengan menginfiltrasi Sarekat Islam (SI) yang kemudian berujung pada perpecahan dalam organisasi tersebut.

ISDV kemudian berubah menjadi Perserikatan Komunis Hindia (PKH) – menjadi partai komunis pertama di Asia yang menjadi anggota Communist International (Comintern). Baru, kemudian di tahun 1924, PKH yang mulai berkonsentrasi pada serikat pekerja memutuskan untuk meningkatkan disiplin dan menuntut pembentukan Republik Indonesia Soviet, serta berganti nama menjadi Partai Komunis Indonesia.

PKI kemudian merencanakan pemberontakan terhadap pemerintah Hindia Belanda – berangkat dari gagasan bahwa menghancurkan kolonialisme adalah kunci awal untuk menuju ke masyarakat anti-kelas – sekalipun pemberontakan tersebut berujung gagal. Secara umum, mengutip tulisan Ruth McVey dalam buku The Rise of Indonesian Communism, PKI di awal-awal ini bisa dibilang jadi salah satu entitas partai komunis dari negara jajahan yang paling dekat dengan Comintern.

Baca Juga: Isu PKI Gerus KAMI?

Garis politik ini sedikit berbeda dengan PKI era 1948 dengan Musso sebagai sentralnya. Musso pulang dari Soviet membawa arah baru perjuangan lewat apa yang ia sebut sebagai “Jalan Baru untuk Republik Indonesia”. Musso dengan PKI periode kedua ini mengusung garis pemikiran Doktrin Zhdanov – diambil dari nama Andrei Zhdanov yang kala itu menjabat sebagai Central Committee Partai Komunis Soviet.

Rezim Zhdanov ini juga menjadi pembeda dari rezim Dimitrov – dari nama Georgi Dimitrov – yang menjadi Sekjen Comintern di tahun 1935-1943. Intisari dari pemikiran Zhdanov ini membagi dunia menjadi dua kelompok, yakni imperialis di bawah Amerika Serikat (AS) dan demokratis di bawah Uni Soviet.

Intinya, Musso menganggap perjuangan revolusi di Indonesia kala itu tidak lagi murni dari kelas pekerja, melainkan revolusi kelompok borjuis. Oleh karenanya, revolusi sudah selayaknya kembali ke khitahnya sebagai gerakan buruh.

“Jalan Baru” Musso juga menghendaki satu partai kelas buruh dengan memakai nama PKI. Untuk itu harus dilakukan fusi tiga partai yang bermazhab Marxsisme-Leninisme, yakni PKI ilegal, Partai Buruh Indonesia (PBI), dan Partai Sosialis. Musso juga melontarkan pentingnya kabinet presidensial diganti jadi kabinet front persatuan.

Ujung aksi Musso adalah pecahnya peristiwa 1948 di Madiun dan beberapa daerah lainnya. Musso pun menemui ajalnya  dalam peristiwa ini.

Terakhir, periode ketiga adalah ketika PKI dipimpin oleh D.N. Dua tahun setelah peristiwa 1948, Aidit muncul lagi bersama Njoto dan Lukman. Ia mengkonsolidasikan kekuatan partai dan mengambil alih kekuasaan dari kelompok tua, Alimin dan Tan Ling Djie, serta membawa PKI menjadi partai terbesar keempat dalam Pemilu 1955. Posisi ini juga membuatnya kemudian dekat dengan Soekarno yang menggunakan komunisme sebagai salah satu pilar kekuasaannya dalam Nasakom (Nasionalis, Agama, dan Komunis).

Garis politik Aidit yang mendekat ke Soekarno yang nasionalis terjadi bukan tanpa alasan. Ide Aidit menurut M.C. Ricklefs dalam A History of Modern Indonesia Since c.1200 adalah mengajak kelompok borjuasi kecil dan nasionalis bersama dengan buruh dan tani untuk melawan kaum borjuis komprador dan kelas-kelas feodal besar. Ricklefs menyebut Aidit cenderung menggunakan pendekatan politik yang pragmatis untuk makin membesarkan sayap politiknya kala itu.

Pragmatisme ini pada akhirnya membuat PKI makin membesar. Aidit menolak pandangan yang menyebutkan bahwa komunisme adalah gagasan yang tidak fleksibel. Bahkan, jika mengutip AD/ART PKI yang diterbitkan tahun 1963, Marxisme-Leninisme bahkan disebut bukan sebagai dogma, melainkan pedoman aksi.

AD/ART ini memang sarat akan gagasan Aidit – misal gagasan periodisasi perkembangan Indonesia yang kala itu disebutnya masih setengah kolonial dan setengah feodal. Aidit mengklasifikasikan perkembangan Indonesia dalam tujuh periode dalam Revolusi Indonesia dan Tugas-Tugas Mendesak PKI yang dibuat Aidit sebagai laporan untuk Partai Komunis Tiongkok.

Baca Juga: Jerman di Petamburan, Risalah PKI

Mungkin, laporan ini juga menjadi pertanda bahwa PKI era Aidit memiliki kedekatan yang lebih dengan Tiongkok. Ia beberapa kali mengunjungi Tiongkok, termasuk beberapa bulan sebelum pecahnya tragedi 1965. Aidit bahkan bertemu dengan Mao Zedong dan mendiskusikan kondisi kesehatan Soekarno yang disebut menderita cerebral vasospasm – gangguan pembuluh darah di otak.

Kisah Aidit akhirnya berakhir pada peristiwa 1965. Ia ditangkap dan dieksekusi oleh militer di Boyolali. Lalu, kembali ke pertanyaan awal, apa yang akan terjadi pada Indonesia kalau PKI ternyata berhasil mengambil alih kekuasaan?

Bila PKI Berkuasa di Indonesia

Untuk menjadi negara komunis seperti Soviet di bawah Stalin, agaknya itu sulit untuk terwujud di awal-awal – katakanlah kalau PKI berkuasa. Pasalnya, jika itu adalah Aidit yang menjadi pemimpin utamanya, maka ia harus berhadapan dengan tokoh-tokoh dari kelompok Islam dan kelompok nasionalis.

Jika berhasil “mengatasi” dua kekuatan ini, masih ada 70 persen kelompok militer lagi yang juga harus ditaklukkan. Kalau itu sudah berhasil, dengan pandangan pragmatisme Aidit dan kedekatannya dengan Tiongkok, Indonesia paling mungkin mengikuti model komunisme Tiongkok.

Dalam AD/ART-nya, PKI menyebut tujuan awalnya adalah menciptakan Demokrasi Rakyat – sebelum kemudian menuju sosialisme dan pada akhirnya komunisme Indonesia. Namun, hal yang menarik dari AD/ART tersebut adalah PKI menyebut penggunaan cara-cara tanpa kekerasan untuk perjuangannya. Padahal, konteks kekerasan dalam AD/ART tersebut “terkamuflase” dalam frasa “tak ada perjuangan melawan imperialisme dan pemberontakan yang terjadi dalam cara damai”.

Pada akhirnya, PKI bisa saja akan berubah menjadi partai tunggal, sistem politik dan ekonomi Indonesia menjadi sentralistik – meskipun PKI menekankan pada sistem sentralistik tetapi demokratis, serta mungkin nama negara Indonesia akan berubah menjadi Republik Rakyat Indonesia alias RRI – atau mungkin Republik Soviet Indonesia.

Soal agama, ini mungkin akan jadi misteri terbesarnya. Aidit adalah sosok yang berlatarbelakang agamis. Bisa jadi, Aidit akan bipikir ulang untuk sampai pada titik di mana PKI benar-benar melarang agama. Selain itu, pertaruhan politiknya akan menjadi sangat besar karena melarang agama mungkin akan jadi jalan untuk perang sipil besar di Indonesia.

Aidit sendiri dalam wawancaranya dengan Solichin Salam menyebutkan bahwa PKI menghormati hak setiap orang untuk memeluk agama. “Dalam AD/ART PKI tidak melarang anggota untuk memeluk agama asalkan anggota-anggota itu menjalankan program politik PKI,” ujar pemimpin PKI tersebut.

Pada intinya, meskipun kita berandai-andai akan apa yang terjadi bila masa lalu tidak demikian, sejarah bagaimana pun tidak bisa dibalikkan. Hal yang dapat kita petik hanyalah pelajaran bahwa apapun yang terjadi masa lampau akan turut membentuk situasi dan keadaan di masa kini – termasuk apabila PKI benar-benar berhasil merebut kekuasaan.

Baca Juga: Kemelut FPI Bukan PKI


► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Youtube Membership

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Promo Buku
Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutna
spot_imgspot_img

#Trending Article

Segitiga Besi Megawati

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut.

Prabowo & Hybrid Meritocracy Letnan-Mayor

Promosi Letjen TNI Kunto Arief Wibowo sebagai Pangkogabwilhan I di rotasi perdana jenderal angkatan bersenjata era Presiden Prabowo Subianto kiranya mengindikasikan pendekatan baru dalam relasi kekuasaan dan militer serta dinamika yang mengiringinya, termasuk aspek politik. Mengapa demikian?

The Real Influence of Didit Hediprasetyo?

Putra Presiden Prabowo Subianto, Didit Hediprasetyo, memiliki influence tersendiri dalam dinamika politik. Mengapa Didit bisa memiliki peran penting?

Keok Pilkada, PKS Harus Waspada? 

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menjadi salah satu partai yang paling tidak diuntungkan usai Pemilu 2024 dan Pilkada 2024. Mungkinkah hal ini jadi bahaya bagi PKS dalam waktu mendatang?

Prabowo and The Nation of Conglomerates

Dengarkan artikel ini: Sugianto Kusuma atau Aguan kini jadi salah satu sosok konglomerat yang disorot, utamanya pasca Menteri Tata Ruang dan Agraria Nusron Wahid mengungkapkan...

Megawati and The Queen’s Gambit

Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri mungkin akan dielu-elukan karena dinilai brilian dengan menunjuk Pramono Anung sebagai calon gubernur dibandingkan opsi Ahok atau Anies Baswedan, sekaligus mengalahkan endorse Joko Widodo di Jakarta. Namun, probabilitas deal tertentu di belakangnya turut mengemuka sehingga Megawati dan PDIP bisa menang mudah. Benarkah demikian?

Gibran Wants to Break Free?

Di tengah dinamika politik pasca-Pilkada 2024, seorang wapres disebut ingin punya “kebebasan”. Mengapa Gibran Rakabuming wants to break free?

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

More Stories

Menyingkap Sportwashing dalam Laga Indonesia-Bahrain

Kontroversi ini perpanjang daftar kritik terhadap wasit dari Timur Tengah, di tengah dugaan bias dan pengaturan skor sepak bola internasional.

Unlike Jokowi, Prabowo Will Be His Own Man

More assertive foreign policy and democratic backsliding are most likely on the horizon as Prabowo Subianto becomes the next Indonesian president.

Fenomena Gunung Es “Fake Review”

Fenomena fake review kini banyak terjadi di jual-beli daring (online). Siapakah yang dirugikan? Konsumen, reviewer, atau pelaku usahakah yang terkena dampaknya? PinterPolitik.com Sejak berlangsungnya proliferasi internet...