Site icon PinterPolitik.com

Andai Majapahit Masih Berdiri

Andai Majapahit Masih Berdiri

Gapura Jedong – atau juga dikenal sebagai Candi Jedong –merupakan bangunan peninggalan Majapahit yang berdiri di Desa Wotanmas Jedong, Kecamatan Ngoro, Mojokerto, Jawa Timur. (Foto: Unplash)

Kejayaan Majapahit di masa lampau kerap menjadi kenangan dan memori kolektif bagi Indonesia di era kontemporer. Namun, apa yang akan terjadi andai Majapahit tidak runtuh dan masih berdiri hingga masa kini?


PinterPolitik.com

Kejayaan Majapahit di masa lampau memang menjadi kisah yang menarik bagi masyarakat Indonesia yang kini mewarisi sejumlah wilayah kekuasaannya. Namun, meski kerap dijadikan inspirasi, masa-masa itu memang telah lama berlalu.

Namanya juga masa lalu, tentunya hanya akan menjadi kisah yang diperdengarkan masa kini. Mungkin, salah satu kisah-kisah yang diceritakan ulang tersebut adalah sebuah film kolosal epik yang berjudul Saur Sepuh: Satria Madangkara karya Imam Tantowi yang tayang tahun 1987.

Di film itu, dikisahkan masa pemerintahan Wikramawadhana, raja kelima Majapahit yang berkuasa berdampingan dengan istri sekaligus sepupunya yang bernama Kusumawardhani – putri dari raja sebelumnya, Hayam Wuruk. Dikisahkan bahwa Wikramawardhana ini terlibat dalam sebuah pertikaian dengan salah satu putra mertuanya yang bernama Bhre Wirabhumi.

Namanya kekuasaan, pasti akan membuat banyak orang menginginkan dan mengejar-ngejarmya. Dalam hal ini, meski Wikramawardhana telah didapuk jadi penguasa Majapahit kala itu, Bhre Wirabhumi merasa lebih berhak karena dirinya lah yang merupakan putra Hayam Wuruk – meski sebenarnya hanya putra dari seorang selir.

Pertikaian ini berujung pada Perang Paregreg antara istana barat Majapahit melawan istana timur Majapahit. Akibatnya, seperti yang terjadi pada kehancuran Kerajaan Romawi yang salah satunya terjadi akibat perang antara Romawi Barat melawan Romawi Timur, demikian pun dengan Majapahit terus mengalami kemunduran akibat pertikaian ini.

Namun, perdebatan yang menjadi perhatian para sejarawan atau bahkan para penggemar cerita sejarah seperti kita-kita ini, adalah seberapa besar sebenarnya kekuasaan Kerajaan Majapahit? Benarkah Majapahit sebesar yang diceritakan di buku-buku sejarah zaman SD dulu? Lalu, apa yang sekiranya akan terjadi jika Majapahit tidak runtuh dan masih bertahan hingga saat ini?

Mengenang Imperium Majapahit

Sebelum membahas bahas mengenai apa yang akan terjadi jika Majapahit tetap berdiri, mari sedikit melihat sejarah kerajaan yang satu ini. Kemaharajaan Majapahit menjadi imperium adidaya pada abad ke-13 Masehi. M.C. Ricklefs dalam bukunya Sejarah Indonesia Modern menyebut Majapahit sebagai kerajaan Hindu-Buddha terakhir yang menguasai Nusantara dan dianggap sebagai salah satu negara terbesar dalam sejarah Indonesia.

Raden Wijaya adalah pendiri Kerajaan Majapahit yang bertakhta pada 1293-1309 dengan gelar Kertarajasa Jayawardhana. Awalnya, Majapahit berpusat di Mojokerto, Jawa Timur. Namun, pada era Jayanegara (1309-1328), ibukota dipindahkan ke Trowulan.

Sejak Girindrawardhana (1456-1466) berkuasa, pusat Majapahit digeser lagi, kali ini ke Kediri. Majapahit pun mencapai masa jaya pada era Raja Hayam Wuruk atau Rajasanagara (1350-1389) berkat dukungan Mahapatih Gadjah Mada.

Pada tahun 1336 saat pengangkatannya menjadi mahapatih pada era Tribhuwana Tunggadewi yang adalah ibunda Hayam Wuruk, Gadjah Mada mengucapkan Sumpah Amukti Palapa yang kelak melegenda. Gadjah Mada bersumpah akan menyatukan wilayah-wilayah Nusantara di bawah naungan Majapahit. Kelak, ikrar ini kemudian terwujud.

Dikutip dari buku Menuju Puncak Kemegahan: Sejarah Kerajaan Majapahit karya Slamet Muljana, Sumpah Amukti Palapa telah mengantarkan Majapahit ke gerbang kejayaan untuk pertamakalinya dalam sejarah. Wilayah kekuasaan Majapahit, seperti tercatat dalam Kitab Nagarakertagama, meliputi Jawa, Bali, Sumatera, Kalimantan, hingga Indonesia bagian timur, termasuk Nusa Tenggara, Sulawesi, hingga sebagian Maluku.

Baca Juga: Saatnya Jokowi Belajar dari Majapahit?

Masih menurut Nagarakertagama seperti dikutip dari buku Dinamika Islam Filipina, Burma, dan Thailand karya Choirul Fuad Yusuf, tidak kurang dari 98 kerajaan bernaung di bawah kuasa Majapahit. Pengaruh dan ekspansi Majapahit sampai pula ke negeri-negeri seberang, dari Semenanjung Malaya – kini Malaysia, Tumasik yang kini dikenal Singapura, serta sebagian Thailand dan Filipina.

Angkatan Laut Majapahit waktu itu sangat kuat sehingga disebut sebagai Talasokrasi atau Kemaharajaan Bahari. Wafatnya Gadjah Mada pada 1364 menjadi salah satu faktor penyebab melemahnya Majapahit.

Hayam Wuruk yang sangat menghormati sosok penasihatnya itu tidak menunjuk mahapatih baru. Baginya, Gadjah Mada tak tergantikan. Sepeninggal Gadjah Mada, Hayam Wuruk limbung. Kejayaan Majapahit goyah. Keruntuhan bahkan kepunahan imperium besar ini pun mulai terlihat.

Stabilitas wilayah yang amat luas mulai goyah. Beberapa negeri taklukan yang tersebar luas di Nusantara mulai berusaha melawan untuk melepaskan diri. Situasi semakin memburuk karena, pada tahun 1389, Hayam Wuruk meninggal dunia.

Bergantinya Sebuah Era

Slamet Muljana dalam Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara menceritakan polemik dalam proses suksesi raja baru. Ini terkait perselisihan keluarga yang semakin memperlemah Majapahit.

Polemik ini berujung pada terjadinya Perang Paregreg yang melibatkan Wikramawardhana yang mengklaim sebagai penerus takhta Majapahit melawan Bhre Wirabhumi. Seperti dituliskan oleh Pranoedjoe Poespaningrat dalam Kisah Para Leluhur dan yang Diluhurkan: Dari Mataram Kuno sampai Mataram Baru, perang saudara ini menjadi salah satu faktor kemunduran Majapahit – selain karena tidak adanya pemimpin yang kuat setelah Hayam Wuruk dan Gadjah Mada.

Majapahit memang masih mampu bertahan cukup lama bahkan sempat nyaris bangkit saat dipimpin oleh Ratu Suhita pada tahun 1429-1447. Namun, kerajaan ini ternyata tak sanggup seperkasa dulu. Tiada lagi raja secakap Hayam Wuruk, juga mahapatih setangguh Gadjah Mada.

Majapahit bahkan sempat mengalami kekosongan kepemimpinan antara 1453 hingga 1456. Kemudian, munculnya Kesultanan Demak pada 1475 membuat Majapahit kian merana. Kerajaan Islam pertama di Jawa itu menandai perubahan besar dalam periode sejarah Nusantara, yakni berakhirnya era Hindu-Buddha untuk digantikan dengan masa Islam.

Kesultanan Demak yang digagas oleh Raden Patah dengan dukungan Wali Songo memang membuat kepunahan Kerajaan Majapahit semakin dekat. Raden Patah disebut-sebut adalah putra raja Majapahit ke-11, Brawijaya V (1468-1478), dan istri selirnya yang merupakan perempuan asal Tiongkok bernama Siu Ban Ci. Raden Patah kecewa karena ayahnya takluk kepada Girindrawardhana yang kemudian berkuasa di Majapahit dengan gelar Brawijaya VI (1478-1498).

Diungkapkan Wiwin Djuwita Ramelan dan ‎Supratikno Rahardjo dalam buku Kota Demak Sebagai Bandar Dagang di Jalur Sutra, Raden Patah sudah memeluk Islam karena pernah berguru kepada Sunan Ampel dan diambil menantu oleh salah satu ulama Wali Songo itu. Pengaruh Islam bertambah kuat di Demak dan banyak daerah lain di Jawa, berbanding terbalik dengan pamor Majapahit dan Brawijaya VII yang tambah merosot dengan semakin banyaknya daerah taklukan yang melawan dan melepaskan diri.

Raden Patah kemudian wafat pada 1518. Penerusnya, Pati Unus (1518-1521), gugur tiga tahun berselang dalam penyerbuan terhadap Portugis di Malaka. Dan, yang memungkasi riwayat panjang Majapahit adalah pemimpin ke-3 Kesultanan Demak, Sultan Trenggana (1521-1546).

Baca Juga: Mengapa Presiden Selalu Orang Jawa?

Pada tahun 1527, Sultan Trenggana mengirimkan pasukan untuk menduduki Majapahit. Selain untuk menaklukkan kerajaan leluhurnya itu, Sultan Trenggana juga bermaksud memutus relasi antara Majapahit dengan Portugis yang saat itu sudah mulai terjalin.

Serangan tersebut sukses dan Brawijaya VI terbunuh. Sejak tahun itulah, riwayat Kerajaan Majapahit tamat setelah Kesultanan Demak di bawah komando Sultan Trenggana mengakuisisi wilayah-wilayah taklukan yang masih tersisa.

Sekarang, kita sampai ke perandai-andaian saktinya. Apakah mungkin Majapahit yang digdaya itu bertahan di tahun-tahun selanjutnya hingga sekarang?

Bila Masih Ada Majapahit

Tidak ada yang tahu pasti jawaban atas perandaian ini. Yang jelas, jangan membayangkan konteks kekuasaan Majapahit itu sama dengan konsep bernegara saat ini, katakanlah seperti kita di Republik Indonesia, yang punya batas-batas darat dan laut yang jelas, tegas, serta diakui dunia internasional.

Beberapa sumber menyebutkan bahwa Majapahit ada di era feodal, yakni ketika kekuasaan yang diklaim menjadi satu kesatuan Kerajaan Majapahit itu bentuknya bervariasi, mulai dari provinsi sungguhan yang diperintah oleh seorang bangsawan Jawa yang tunduk pada raja Majapahit di Trowulan, atau kerajaan yang lebih kecil/lemah yang rajanya setiap tahun mengirim upeti kepada Trowulan, atau sekedar pendirian pos dagang Majapahit dengan hak-hak istimewa yang diberikan oleh raja lokal.

Jadi, identitas dan ikatan antar-masyarakat masih sangat longgar. Katakanlah, Sumpah Palapa tidak sama mengikatnya dengan Sumpah Pemuda 1928. Selain itu, konteks Islamisasi yang terjadi di Nusantara juga akan sangat mungkin menjadi penghalang bagi tetap bertahannya Majapahit.

Namun, kembali lagi, misalkan saja Hayam Wuruk mewariskan kekuasaannya pada raja selanjutnya yang cakap dan Gadjah Mada punya penerus yang tak kalah hebat. Apa yang akan terjadi? Mungkin, bisa saja tidak akan ada Indonesia.

Wilayah Nusantara ini mungkin akan bernama Majapahit sampai sekarang. Pemerintahan kita bisa saja bukan berbentuk republik, melainkan menjadi sebuah monarki. Artinya, kita bakal punya perdana menteri.

Lalu, bahasa dan aksara kita mungkin masih dalam bentuk aksara Jawa. Kemudian, selama penguasa selanjutnya itu bisa memperkuat kelonggaran identitas yang sebetulnya tidak kuat di era Majapahit, kemungkinan untuk bertahan sebagai negara besar tentu saja akan ada.

Namun, bila hal itu tidak terjadi dan dengan gelombang kolonisasi yang masuk ke Nusantara, sangat mungkin wilayah Majapahit pada akhirnya hanya akan meliputi wilayah Jawa dari tengah hingga ke bagian timur dan ke sekitarnya saja.

Kita juga tahu bahwa kebanggaan akan luas dan besarnya Majapahit juga punya makna perjuangan karena menjadi kisah sejarah yang digunakan untuk membangkitkan semangat nasionalisme untuk bebas dari para penjajah. Mungkin warisan nilai itulah yang harus terus dijaga agar kita bisa berkontribusi untuk kemajuan masyarakat, bangsa, dan negara.

Baca Juga: Jokowi-Luhut ‘Mirip’ Majapahit?


► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Exit mobile version