HomeSejarahAda Bisnis Perang di Balik Taliban?

Ada Bisnis Perang di Balik Taliban?

Keberhasilan Taliban menguasai Afghanistan banyak disebut sebagai kegagalan Amerika Serikat (AS). Namun, apabila melihat dari segi bisnis, ternyata banyak peruhasaan AS yang justru mendapatkan keuntungan dari konflik sejak 2001 tersebut.


PinterPolitik.com

John Sopko, kepala dari Special Inspector General for Afghanistan Reconstruction atau SIGAR – sebuah agensi watchdog atas aktivitas Amerika Serikat (AS) di Afghanistan, dalam acara Last Week Tonight bersama John Oliver pernah menjelaskan bagaimana kebijakan anggaran yang dihabiskan oleh pemerintah AS dalam program pembangunan kembali Afghanistan, justru dipakai untuk item-item yang tidak tepat sasaran peruntukannya.

Salah satu di antaranya terkait pembelian pesawat dan helikopter yang terkesan hanya menguntungkan kelompok bisnis atau kontraktor pertahanan yang menyediakan pesawat atau helikopter-helikopter tersebut.

Pernyataan ini menarik karena kalau melihat sejarah awalnya, konflik di Afghanistan sendiri sebetulnya melibatkan operasi CIA sejak Uni Soviet mewacanakan invasi ke Afghanistan di tahun 1979. CIA diketahui memberikan pelatihan dan persenjataan untuk para Mujahidin Afghanistan. Pasca keruntuhan Uni Soviet, para Mujahidin ini kemudian menjadi faksi-faksi politik dan kelompok bersenjata, salah satu di antaranya adalah Taliban.

Taliban kemudian mengambil alih kekuasaan pasca perang sipil dan membentuk pemerintahannya antara tahun 1996 hingga 2001. Peristiwa 9/11 kemudian menjadi alasan invasi AS ke Afghanistan karena tuduhan Taliban melindungi Osama bin Laden yang dianggap bertanggung jawab atas serangan teror tersebut.

Afghanistan kemudian masuk ke era perang. Ya, uniknya, perang ini terjadi antara AS vs kelompok yang mereka persenjatai. Secara total AS menghabiskan anggaran hingga lebih dari US$ 2 triliun sejak tahun 2001 untuk perang-perang di Afghanistan, juga termasuk dalam program-program rekonstruksi yang dilakukan. Dana itu kalau dirupiahkan mencapai Rp 32 ribu triliun.

Lebih menariknya lagi, beberapa waktu lalu terbit sebuah laporan yang dibuat oleh The Intercept, yang menyebutkan soal keuntungan besar yang diperoleh oleh perusahaan-perusahaan kontraktor pertahanan asal AS atas perang-perang yang terjadi di Afghanistan. Ini kemudian menimbulkan dugaan bahwa aksi Presiden Joe Biden menarik pasukan AS dari Afghanistan beberapa waktu lalu – yang kemudian berdampak pada pengambilalihan kekuasaan oleh Taliban – bukanlah sebuah kegagalan perang.

Baca juga :  Prabowo & Trump: MAGA vs MIGA? 

Kejadian-kejadian ini dianggap sebagai kesuksesan besar untuk para kontraktor bisnis pertahanan AS dan beberapa pensiunan militer. Lalu, siapa saja para kontraktor bisnis pertahanan tersebut?

Siapa Saja?

Setidaknya ada 5 kontraktor bisnis pertahanan teratas asal AS yang disinggung dalam laporan The Intercept. Mereka adalah Boeing, Raytheon Technologies, Lockheed Martin, General Dynamics, dan Northrop Grumman Corp.

Boeing tentu menjadi yang paling familiar karena dikenal juga sebagai perusahaan pembuat pesawat komersial. Namun, jika menghitung revenue-nya di tahun 2018, Boeing adalah defense contractor terbesar kedua di dunia. Boeing membuat banyak rotocraft – sebutan untuk jenis-jenis helikopter, gyrodyne, dan lain sebagainya.

Sementara perusahaan-perusahaan lainnya adalah para pembuat pesawat tempur. General Dynamics adalah produsen pesawat tempur F-16. Sedangkan Lockheed Martin adalah perusahaan yang membuat pesawat tempur F-35 bersama Raytheon Technologies yang menyediakan mesin, sistem persenjataan, pendaratan, dan lain-lain.

Lalu Northrop Grumman Corp adalah yang membuat B-2 Spirit yang dikenal sebagai Stealth Bomber. Nama model-model pesawat tersebut sekiranya cukup akrab kita dengar. Selain pesawat tempur, tentunya ada sistem persenjataan lainnya.

Nah, perusahaan-perusahaan inilah yang dianggap mendapatkan keuntungan dari berbagai perang yang terjadi di Afghanistan. Well, tentu perang di Afghanistan dengan anggaran besar yang sudah dihabiskan membutuhkan alat-alat dan sistem persenjataan yang dibuat oleh para produsen tersebut.

Bisnis Perang

Bisa dibilang, inilah wajah asli dari the business of war alias bisnis perang. Semakin banyak perang, semakin banyak pula alat-alat pertahanan dan sistem persenjataan dibutuhkan, sehingga tentu saja makin banyak keuntungan buat para produsennya.

Konteks keuntungan juga bisa dilihat dari harga saham perusahaan-perusahaan tersebut. Sebagai contoh, jika seseorang membeli saham perusahaan-perusahaan tersebut senilai US$ 10 ribu pada tahun 2001, ketika  Presiden George W. Bush memerintahkan invasi ke Afghanistan, kini nilai saham yang ia miliki akan mencapai US$ 100 ribu atau meningkat hingga 1.000 persen. Bisa dibayangkan seberapa kayanya orang tersebut.

Baca juga :  Masihkah Prabowo Americans’ Fair-Haired Boy?

Tidak heran kemudian, ketika Joe Biden menarik pasukan dari Afghanistan dan memantik kembali potensi konflik baru, banyak pihak menilai bahwa hal ini akan menjadi kesuksesan tersendiri bagi para pebisnis di sektor pertahanan ini.

David Parrot dalam buku The Business of War: Military Enterprise menyebutkan bahwa bisnis perang sudah ada sejak era awal modern Eropa. Sementara sumber lain bahkan menyebut sudah sejak era Yunani kuno. Hadirnya para tentara bayaran, negara yang menyewakan kekuatan militernya, dan lain sebagainya adalah contoh awal bisnis perang. Belum lagi orang-orang yang mengambil keuntungan dari pasokan logistik bagi para prajurit yang bertempur.

Dulu, Belanda juga disebut menyewa hampir 50 persen tentaranya, termasuk yang datang ke Indonesia bersama VOC. Konteks ini kemudian menjadi makin berkembang dan sempurna seiring makin masifnya perkembangan teknologi pertahanan.

Perang itu sendiri merupakan puncak dari konflik. Dan seperti yang kita ketahui, konflik adalah hal yang melekat pada entitas manusia. Sehari-hari kita tidak jarang berkonflik dengan saudara, teman, bahkan dengan orang tua. Pada tataran negara dan bisnis perang, hal ini kemudian dikapitalisasi.


► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Youtube Membership

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Promo Buku
spot_imgspot_img

#Trending Article

Kok Megawati Gak Turun Gunung?

Ketua Umum (Ketum) PDIP, Megawati Soekarnoputri hingga kini belum terlihat ikut langsung dalam kampanye Pilkada. Kira-kira apa alasannya? 

Berani Prabowo Buka Pandora Papers Airlangga?

Ramai-ramai bicara soal kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) 12 persen yang disertai dengan protes di media sosial, tiba-tiba juga ramai pula banyak akun men-share kembali kasus lama soal nama dua pejabat publik – Airlangga Hartarto dan Luhut Pandjaitan – yang di tahun 2021 lalu disebut dalam Pandora Papers.

“Sekolam” Ahok, Kesaktian Anies Luntur?

Keputusan Anies Baswedan meng-endorse Pramono Anung-Rano Karno di Pilkada Jakarta 2024 memantik interpretasi akan implikasi politiknya. Utamanya karena Anies pada akhirnya satu gerbong dengan eks rivalnya di 2017 yakni Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan PDIP serta tendensi politik dinasti di dalamnya, termasuk yang terjadi pada Pramono.

Siasat Prabowo Akui Sengketa LCS

Pemerintahan Prabowo disorot karena ‘akui’ klaim tumpang tindih LCS dalam joint statement Tiongkok. Mungkinkah ada siasat strategis di baliknya?

Rahasia Triumvirat Teddy, AHY, dan Hegseth?

Terdapat kesamaan administrasi Presiden terpilih Amerika Serikat, Donald Trump dengan Presiden Prabowo Subianto, yakni mempercayakan posisi strategis kepada sosok berpangkat mayor. Kiranya, terdapat rahasia tertentu di balik kesamaan itu yang dapat mendukung support dalam dimensi tertentu ke pemerintahan masing-masing. Mengapa demikian?

Anies Di-summon PKS!

Ahmad Syaikhu in a battle against Dedi be like, “I summon Anies Baswedan!”  #Anies #AniesBaswedan #PilkadaJawaBarat #AhmadSyaikhu #IlhamHabibie #PKS #pinterpolitik #infografis #politikindonesia #beritapolitik #beritapolitikterkini

Betulkah Jokowi Melemah? 

Belakangan mulai muncul pandangan bahwa pengaruh politik Jokowi kian melemah, hal tersebut seringnya diatribusikan dengan perkembangan berita judi online yang kerap dikaitkan dengan Budi Arie, dan kabar penangguhan jabatan doktor Bahlil Lahadalia, dua orang yang memang dulu disebut dekat dengan Jokowi. Tapi, apakah betul Jokowi sudah melemah pengaruhnya? 

Masihkah Prabowo Americans’ Fair-Haired Boy?

Dua negara menjadi tujuan utama Prabowo saat melakukan kunjungan kenegaraan pertamanya pasca dilantik sebagai presiden: Tiongkok dan Amerika Serikat.

More Stories

Menyingkap Sportwashing dalam Laga Indonesia-Bahrain

Kontroversi ini perpanjang daftar kritik terhadap wasit dari Timur Tengah, di tengah dugaan bias dan pengaturan skor sepak bola internasional.

Unlike Jokowi, Prabowo Will Be His Own Man

More assertive foreign policy and democratic backsliding are most likely on the horizon as Prabowo Subianto becomes the next Indonesian president.

Fenomena Gunung Es “Fake Review”

Fenomena fake review kini banyak terjadi di jual-beli daring (online). Siapakah yang dirugikan? Konsumen, reviewer, atau pelaku usahakah yang terkena dampaknya? PinterPolitik.com Sejak berlangsungnya proliferasi internet...