Di tengah pandemi Covid-19, pemerintah dan DPR memutuskan untuk mengesahkan UU Minerba yang baru. Bagaimanakah UU ini bila dilihat dari perspektif Pasal 33 UUD 1945?
PinterPolitik.com
Pada bulan September 2019, mahasiswa dan pemuda di berbagai daerah turun ke jalan untuk menyampaikan beberapa aspirasinya, aksi tersebut bertajuk reformasi dikorupsi. Salah satu aspirasi yang disampaikan oleh para demonstran kala itu adalah penolakan atas Rancangan Undang-Undang Mineral dan Batubara (RUU Minerba) selain penolakan berbagai RUU dan kebijakan dari pemerintah lainya.
Salah satu aspirasi tersebut berhasil ditampung oleh pemerintah. Tepat pada tanggal 24 September 2019, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menunda pembahasan RUU Minerba. Namun, pada bulan Februari 2020, Pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia (DPR RI) kembali melakukan pembahasan RUU Minerba.
Tidak kurang dari empat bulan, tepatnya pada tanggal 12 Mei 2020, pemerintahan Jokowi-Ma’ruf Amin bersama DPR RI telah resmi mengesahkan RUU Minerba menjadi Undang-Undang (UU) Minerba yang baru. Dari Sembilan Fraksi yang ada di DPR, hanya terdapat satu fraksi yang menolak RUU Minerba, yaitu fraksi Demokrat.
Secara keseluruhan, hasil dari UU Minerba yang baru mengandung tambahan dua bab baru sehingga terdapat dua puluh delapan bab. Terjadi perubahan delapan puluh tiga pasal, lima puluh dua pasal baru, dan delapan belas pasal yang dihapus sehingga total terdapat dua ratus sembilan pasal yang terkandung di dalam UU Minerba yang baru.
Isu Utama dalam UU Minerba yang Baru
Salah satu isu utama dalam UU Minerba yang baru ini adalah terkait dengan pelimpahan konsesi yang awalnya dapat melalui pemerintah daerah menjadi ke pemerintah pusat. Pemerintah daerah tidak mempunyai kewenangan lagi atas konsensi.
Hal ini begitu mencederai prinsip desentralisasi yang telah dipupuk bangsa Indonesia sejak lama. Asas desentralisasi yang mengamanatkan kewenangan kepala daerah untuk mengurus daerahnya serta bertujuan demokratisasi pemerintah daerah untuk mengikutsertakan rakyat bertanggung jawab terhadap penyelenggara pemerintahan. Hal tersebut sekarang tidak tercermin di dalam substansi UU Minerba yang baru dengan lebih mengedepankan kesan yang sentralistis dan terpusat.
Selanjutnya, terkait dengan konsesi, sebenarnya telah diatur di dalam UU Minerba yang lama atau UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, di mana di dalam aturan tersebut apabila konsesi dari para penambang telah berakhir maka Negara akan mengeluarkan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), maka pengelolaan pertambangan mineral dan batubara yang telah berakhir akan berpindah pengelolaanya kepada Negara – d alam hal ini Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang akan mengelolanya.
Dengan aturan UU Minerba yang lama ini sebetulnya sudah cukup baik. Terdapat secerca harapan bagi pengelolaan pertambangan mineral dan batubara untuk dikelola Negara. Hal ini sangat disayangkan karena produk hukum yang sudah cukup baik harus diganti dengan aturan yang terkesan kapitalistik.
Perspektif dari Pasal 33 UUD 1945
Pasal 33 UUD 1945 merupakan salah satu cermin dari ideologi ekonomi bangsa Indonesia karena di dalamnya mengatur tentang cabang-cabang produksi Negara dan mengatur perekonomian yang menyangkut hajat hidup orang banyak, yakniperekonomian nasional diselenggarakan berdasarkan demokrasi ekonomi, serta pengaturan bumi air dan kekayaan alam digunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat.
Hal tersebut merupakan rumusan yang cukup baik untuk mencapai tujuan bernegara yaitu menyejahterakan kehidupan masyarakat Indonesia. Namun, apabila melihat UU Minerba yang baru, begitu bertolak belakang dengan rumusan pasal 33 UUD 1945 karena pengelolaan Negara begitu minim dalam UU Minerba yang baru.
Itu dapat ditandai dengan pengambil alihan konsesi yang langsung diperpanjang sehingga peran Negara untuk mengelolanya begitu minim. Hal ini dapat ditandai dengan penguasaan dan pengelolaan dari Negara atas tambang mineral dan batubara begitu minim.
Hal ini sangat kontradiktif dengan teori kekuasaan Negara. Menurut Van Vollenhoven, kekuasaan Negara artinya Negara mengatur segala-galanya dan Negara berdasarkan kedudukannya mempunyai kewenangan untuk membentuk peraturan hukum. Hal ini dapat diartikan bahwa kewenangan penuh bagi Negara untuk menguasai segala sumber daya yang dimiliki oleh Negara.
Apabila ada yang akan mengambil kedaulatannya, maka Negara mempunyai instrumen untuk membuat peraturan yang berpihak kepada masyarakat sesuai dengan prinsip kedaulatan rakyat.
Sejalan dengan teori di atas, maka Mohammad Hatta merumuskan tentang penguasaan Negara. Makna dari penguasaan Negara bukan berarti Negara menjadi pengusaha atau wirausahawan ataupun pedagang.
Namun, lebih tepat kekuasaan Negara diletakkan pada bagian untuk membuat peraturan demi terselenggaranya kegiatan dan kelancaran ekonomi. Peraturan yang berisi pelarangan bagi pengisapan atas orang lemah oleh orang yang bermodal.
Hal ini mengisyaratkan satu pesan bahwa peran Negara begitu strategis untuk mengelola perekonomian terlebih khusus terkait sumber daya alam, serta Negara berperan sebagai regulator untuk membuat kebijakan berkaitan dengan perekonomian yang tidak menimbulkan kesenjangan dan dampak yang berbahaya bagi masyarakat sekitar.
Maka, dari kedua pendapat tersebut terkait penguasaan Negara, merupakan bagian dari hak rakyat. Negara sebagai instrumen yang strategis sehingga kepadanya diberikan wewenang untuk menguasai, mengatur, mengurus, mengelola, mendistribusikannya kepada masyarakat Indonesia.
Terkait penguasaan Negara, sebenarnya UU Minerba yang lama sudah cukup relevan dengan pasal 33 UUD 1945, artinya yang menjadi hal penting dalam merumuskan produk undang-undang mengenai penguasaan Negara atas sumber daya alam adalah pasal 33 UUD 1945 harus dijadikan pijakan paling mendasar bagi setiap produk hukum, terutama UU Minerba, agar kesejahteraan rakyat dapat tercapai dengan sepenuhnya.
Di Tengah Pandemi Covid-19
Sempat di tunda pembahasannya pada tahun 2019, akhirnya Pemerintah bersama DPR RI membahas dan mengesahkannya kembali pada tahun berikutnya. Hal ini sangat disayangkan dan menjadi pukulan telak bagi masyarakat terutama para aktivis dan penggiat lingkungan karena, di tengah pandemi Covid-19, korban yang meninggal dan positif akibat covid-19 setiap harinya terus bertambah.
Masyarakat yang terdampak Covid-19 membutuhkan kepastian untuk perbaikan pelayanan dan peningkatan kesehatan serta bantuan kebutuhan pokok untuk dapat menyambung hidupnya –mengingat pandemi Covid-19 telah menggerus mata pencaharian sebagian masyarakat.
Berdasarkan hal tersebut, Pemerintah dan DPR RI mestinya membuat suatu kebijakan untuk menanggulangi persebaran dan dampak akibat Covid-19, bukan justru membuat produk hukum yang malah meresahkan masyarakat. Dari segi proses pembentukannya yang tidak kurang dari empat bulan, hal ini terkesan dipaksakan di tengah pandemi Covid-19.
Artinya, dalam proses pembentukan revisi UU Minerba menjadi UU Minerba yang baru juga harus menerima pandangan-pandangan dari masyarakat dan jaminan atas hak-hak perseorangan atau kelompok guna mencapai kesejahteraan bangsa. Partisipasi atau peran masyarakat sangatlah penting dalam setiap pembentukan produk undang-undang di negara demokrasi, sebagaimana dijelaskan oleh Julius Ihonvbere, “consult no one or allow only minimal consultation, and aim for legal recognition rather than building popular legitimacy around the rules.”
Artinya, partisipasi merupakan ruang bagi masyarakat untuk melakukan negosiasi dalam proses perumusan kebijakan,terutama yang terdampak langsung terhadap kehidupan masyarakat. Seharusnya, Pemerintah bersama DPR RI membatalkan revisi UU minerba dan lebih berfokus untuk menangani pandemi Covid-19 ataupun, kalau memang masih harus disahkan, maka pembahasan harus melibatkan setiap elemen dari masyarakat, akademisi, dan sebagainya, untuk membentuk UU Minerba yang sesuai dengan kehendak rakyat.
Namun, hal tersebut sudah terjadi dan UU Minerba sudah disahkan. Maka, ada salah satu jalan bagi setiap warga Negara Indonesia yang memenuhi syarat untuk mengajukan Judical Review ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Tulisan milik Fauzi Akbar, Aldo Ibrahim, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta.
“Disclaimer: Opini adalah kiriman dari penulis. Isi opini adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis dan tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi PinterPolitik.com.”
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.