UU Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (UUK DIY) boleh jadi dapat menguatkan praktik politik tradisional ala Jawa.
PinterPolitik.com
Setelah dikeluarkannya Undang-Undang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta (UUK DIY) pada tahun 2012, kekuasaan Sultan seolah menemukan puncaknya pada level absolute power. Hal ini tidak lepas sebagai konsekuensi dari UUK yang memberikan banyak keistimewaan terhadap status daerah Yogyakarta sekaligus membuka peluang politik bagi Sultan untuk terus menancapkan dominasinya sebagai penguasa tunggal.
Hak istimewa itu mencakup – pertama – pengangkatan sultan dan keturunannya menjadi gubernur secara otomatis dan sah secara turun-temurun tanpa perlu melewati kontestasi elektoral – artinya sistem politik Yogyakarta dalam proses pergantian jabatan politik dijalankan berdasarkan sistem monarki. Konsekuensinya, sultan tidak lagi hanya sebatas simbol kekuasaan kultural melainkan terpadu dalam struktur pemerintahan daerah. Singkatnya, sultan sebagai raja sekaligus gubernur.
Kedua, implikasi dari UUK adalah adanya pengakuan legal bahwa Kasultanan mempunyai hak atas kepemilikan tanah di Yogyakarta. Hal ini memberikan dampak yang sangat penting terhadap politik pertanahan di Yogyakarta.
Sultan berwenang mengatur hak kepemilikan dan pemanfaatan tanah yang awalnya wewenang tersebut berada di tangan negara (pemerintah pusat). Artinya, kekuasaan absolut sultan mulai dari penguasaan terhadap pemerintahan hingga urusan tanah.
Dua implikasi dari UUK ini menjadi dasar penjelasan mengapa kekuasaan monarki di Yogyakarta masih tetap langgeng di tengah sistem demokrasi.
Langgengnya kekuasaan Sultan bukan karena kultur masyarakat yang loyal dan patuh, melainkan lebih pada kecerdikan Sultan dalam memanfaatkan peluang politik lewat negosiasi dengan negara. Di samping itu, Sultan piawai dalam beradaptasi dengan sistem politik apapun agar compatible dengan sistem kekuasaan monarki (Widyatama, 2017).
Hal ini yang membuat sistem monarki di Yogyakarta tetap eksis di tengah hancurnya sistem kerajaan di daerah-daerah lain. Pada masa kolonial, kemerdekaan, Orde Lama (Soekarno), Orde Baru (Soeharto), hingga masa reformasi, dengan corak politik yang mengalami pergeseran dari penjanjahan, otoriter, hingga demokrasi, Sultan berusaha tampil dan ikut menjadi bagian dari kekuasaan rezim yang berkuasa saat itu.
Dikeluarkannya UUK tidak lepas dari negosiasi dan strategi politik Sultan terhadap negara. Sebelum UUK dikeluarkan, ada kekhawatiran akan tergerusnya dominasi dan kekuasaan Sultan dari intervensi pemerintah pusat dan mengalir derasnya tuntutan politik yang demokratis.
Sebab, sebelum UUK, Sultan hanyalah kekuasaan simbolik atas dasar nilai-nilai kultural yang terlegitimasi karena pengalaman historis sebagai sebuah daerah yang berstatus kerajaan (Kurniadi, 2009). Lewat UUK, Sultan hendak melanggengkan praktik kekuasaan informal-tradisonal yang telah berlangsung lama di tengah masyarakat, menjadi praktik yang dilegalkan secara hukum oleh negara.
Tujuannya adalah agar negara dan pihak manap un tidak bisa mengganggu dan mengintervensi kepentingan politik Sultan. Praktik kekuasaan informal-tradisional ini salah satunya nampak dalam hal politik pertanahan.
Menurut Harina (2015) tanpa kekuasaan tanah yang kuat, maka Kasultanan Yogyakarta hanya akan menjadi sebuah simbol kebudayaan saja. Untuk mencapai tujuan ini, Sultan dalam sejarahnya telah lama mengeluarkan kebijakan pertanahan yang bernama serat kekancingan sebagai dasar hukum bagi Sultan untuk mengeluarkan hak atas pengelolaan dan pemanfaatan tanah milik sultan (sultan ground) kepada masyarakat. Masyarakat dapat dianggap berhak menempati dan menggunakan tanah sultan secara sah dan legal ketika mendapatkan bukti serat kekancingan dari Sultan.
Namun, sejak Indonesia terbentuk menjadi sebuah negara yang kemudian disusul oleh lahirnya UU Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 Tahun 1960 yang sedikit banyak telah mempengaruhi politik pertanahan di Yogyakarta, terjadi tumpang tindih hukum dalam wewenang urusan tata kelola tanah. UUPA yang dicirikan dengan semangat sosialis, menghendaki negara sebagai pengelola sah hak atas tanah yang dipergunakan untuk kepentingan masyarakat dan negara.
Selain itu, UUPA berupaya membatasi kepemilikan tanah perorangan dan swasta untuk dikonversi menjadi kepemilikan masyarakat secara luas. Tentu hal ini sangat bertolak belakang dengan ketentuan sultan ground yang memberikan wewenang kepada sultan untuk mengelola dan memanfaatkan hak atas tanah.
Yogyakarta sebagai bagian dari Indonesia secara langsung menjadi objek dalam penerapan UUPA. Adanya dualisme hukum dan carut-marut hukum legal atas tanah membuat kebijakan soal serat kekancingan mengalami pasang surut meskipun tetap diberlakukan (Pranoto, 2017).
Tidak adanya payung hukum yang jelas dan adanya kerancuan wewenang atas sultan ground, membuat Sultan dapat saja melakukan berbagai manuver politik agar mendapatkan pengakuan negara. Reformasi yang diikuti politik desentralisasi dan penerapan otonomi daerah menjadi pintu bagi Sultan untuk menyuarakan kebutuhan UUK.
Isu mengenai RUU menimbulkan pertanyaan kritis apakah status keistimewaan Yogyakarta bertujuan untuk kepentingan masyarakat atau sebagai cara mengembalikan dan memperkuat sistem feodalisme terutama terkait dengan wewenang hak atas tanah sultan. Kenyataannya, Sultan bisa saja mengeksploitasi dan mengkonstruksi nilai-nilai sosio-historis dan kultural, dan previlage terhadap resources dan pemerintahan (Tyson, 2010).
Selain itu, Sultan menuntut kepada negara agar mengakui kekuasaan Kasultanan Yogyakarta dan keberadaan Sultan Ground. Strategi Sultan ini berhasil dengan dikeluarkannya UUK pada tahun 2012.
Pada dasarnya, UUK adalah bentuk pengakuan formal negara sekaligus sebagai legitimasi atas kekuasaan Sultan yang sudah mengakar kuat dalam kehidupan masyarakat Yogyakarta terutama dalam politik pertanahan terkait sultan ground. Untuk memperkuat kekuasaannya terhadap tanah, dikeluarkan Perdais Nomor 1 Tahun 2017 tentang Pengelolaan dan Pemanfaatan Tanah Kasultanan (sultan ground) dan Tanah Kadipaten (pakualaman ground) – yang mana dalam Perdais ini disebutkan bahwa Tanah Kasultanan dan Tanah Kadipaten terdiri dari Tanah Keprabon dan Tanah bukan Keprabon yang terdapat di seluruh kabupaten/kota di wilayah DIY.
Tanah Keprabon berupa barang publik seperti alun-alun, makam, keraton, dan alun-alun. Sementara, tanah bukan Keprabon mencakup tanah desa, tanah yang telah digunakan oleh masyarakat/institusi dan baik yang telah maupun belum memiliki Serat Kekancingan dan tanah yang belum digunakan.
Dengan kata lain, jika merujuk pada perdais ini, maka seluruh tanah yang ada di wilayah Yogyakarta dikategorikan sebagai sultan ground dan pakualaman ground sehingga masyarakat maupun swasta dalam kaitannya dengan hak pengelolaan, pemanfaatan dan akses terhadap tanah akan selalu berhubungan dengan kekuasaan sultan.
Di samping itu, perdais juga memberi peluang terhadap berlakunya kebijakan serat kekancingan yang sudah diterapkan sejak tahun 1918. Kebijakan serat kekancingan dikeluarkan oleh kraton untuk mengatur tanah-tanah yang berstatus sebagai sultan ground yang dapat dipakai, dimanfaatkan atau dikelola oleh masyarakat.
Hadirnya UUK, Perdais, dan kebijakan serat kekancingan yang dapat berjalan berdampingan mempertegas kembali menguatnya politik tradisional yang dijalankan oleh Sultan. Pada akhirnya, kebijakan tersebut menjadi lahan politis sebagai strategi politik bagi Sultan untuk mempertahankan kekuasaan dengan pola-pola patrimonial.
Sultan sebagai patron memiliki resources berupa tanah bersedia berperan sebagai pelindung dan pengayom masyarakat serta bersedia memberikan hak pemanfaatan tanah milik sultan kepada masyarakat dengan syarat masyarakat patuh dan memberikan loyalitas penuh kepada Sultan tanpa kritik dan perlawanan apapun terhadap kekuasaan Sultan. Segala tindak-tanduk yang dilakukan oleh Sultan harus dilihat sebagai sebuah kebenaran dan diterima oleh masyarakat.
Melihat karakteristik ini, maka sangat jelas bahwa kekuasaan sultan adalah penjelmaan dari konsep berkerjanya patrimonialisme ala Weber (Maslovski, 1996) yang mengungkap bahwa kekuasaan dijalankan secara hirearkis berdasarkan kedekatan dengan penguasa (raja/sultan).
Semakin dekat seseorang atau elite dalam menjalin hubungan yang harmonis dengan penguasa, maka peluang menikmati resources semakin besar. Weber mengistilahkan patrimonilasime sebagai
“arranged in groups which are linked with one another in a complementary, dichotomic or hierarchical relationship, each representing an ideally altogether different principle. Accordingly these pure types are deliberately constructed in such a manner as to conform to the extreme pole within a wide spectrum of alternative forms of social action, social conduct or social institutionalization” (Maslovski, 1996: 5)
Patrimonialisme bagi Weber (Maslovski, 1996) adalah sub-tipe dari dominasi yang dijalankan oleh raja (Sultan) dengan bantuan para pejabat birokrat. Kekuasaan tersebut diikat oleh tradisi yang kuat. Maka dalam konteks ini, budaya patrimonialisme pada akhirnya juga menjangkiti budaya birokrasi di Yogyakarta (Jati, 2012).
Para birokrat dari tingkat atas hingga level desa bekerja semata-mata untuk melayani kepentingan Sultan lewat hubungan yang bersifat resiprokal. Hal ini dilakukan untuk mempertahankan kedudukan sebagai pejabat birokrat dan menerima kemudahan dalam menikmati resources yang dimiliki sultan termasuk memanfaatkan sultan ground dan pakualaman ground sehingga birokrasi tidak dibangun atas dasar rasionalitas dan profesionalisme kinerja, melainkan seberapa apik hubungan interpersonal terbangun antara birokrat dan Sultan.
Sementara, masyarakat terus berada pada posisi yang semakin terpinggirkan karena jauh dari lingkaran kekuasaan Sultan. Potret ini mengkonfirmasi konsep Weber tentang patrimonialisme – di mana elite (birokrat atau pejabat pemerintah) saling bersaing dan mendekat pada raja (sultan). Sementara, raja berada di posisi titik sentral sebagai simbol penguasa tertinggi yang mampu meng-absorb orang-orang di sekelilingnya untuk menciptakan ketergantungan dengan raja.
Selain itu, sifat kekuasaan yang absolut, mutlak, tunggal dan tersentralisasi pada diri Sultan mencerminkan bahwa logika kekuasaan yang dijalankan sangat kental dengan nuansa kekuasaan Jawa sebagaimana yang digagas oleh Benedict Anderson (1984). Konsep kekuasaan Jawa bersifat konkret dan diwujudkan dalam bentuk kepemilikan sejumlah benda atau materi (dalam konteks ini tanah) serta dukungan dari masyarakat yang dipelihara loyalitas dan kesetiaannya.
Dominasi kekuasaan yang bersifat tradisional dan kultural sangat melekat dalam diri Sultan. Kekuasaan Jawa hari ini bisa berjalan beriringan dengan konsep yang jauh lebih modern.
UU Keistimewaan Yogyakarta bukan hanya soal pengakuan sultan ground oleh negara, melainkan juga soal demokrasi berhadapan dengan kekuasaan absolut yang coba dipelihara dan dipertanahkan (Kurniadi, 2017). Maka, tidak keliru untuk berargumen bahwa, meskipun sistem politik telah mengalami modernisasi yang mengarah pada demokrasi, dalam bekerjanya demokrasi sangat dipenuhi oleh praktik patrimonial sebagai sistem kultural.
Gunnar Myrdal dan Anthony Reid menyebutnya dengan istilah soft state (negara lunak) – yaitu sebuah negara modern tetapi cara kerja kekuasaan menggunakan kekuasaan tradisional dalam kehidupan sehari-hari. Dan, bisa jadi, Kesulatanan Yogyakarta melalui politik tanah adalah contoh yang terbaik untuk hal ini.
Tulisan milik Mahpudin, alumnus dari Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta).
“Disclaimer: Opini adalah kiriman dari penulis. Isi opini adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis dan tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi PinterPolitik.com.”
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.