Kekhawatiran para aktivis lingkungan pada saat menolak disahkannya Undang-Undang Cipta Kerja sepertinya mulai terwujud. Pemerintah akhirnya menerbitkan Peraturan Pemerintah yang menghapuskan limbah batu bara dan limbah sawit dari daftar limbah bahan berbahaya dan beracun atau B3. Tak sampai di situ, ada pula penghapusan Strict Liability dari UU Lingkungan Hidup yang membuat pemerintah tidak punya taring menindak perusak lingkungan, sehingga hal tersebut dapat mengancam keberlangsungan kelestarian lingkungan di Indonesia. Benarkah ini awal UU Ciptaker menggusur isu-isu lingkungan?
Presiden Joko Widodo mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. PP tersebut merupakan aturan turunan dari Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Dalam PP tersebut Jokowi mengeluarkan Fly Ash dan Bottom Ash (FABA) yang merupakan limbah dari batubara dan Spent Bleaching Earth (SBE) yang merupakan limbah sawit,dari kategori limbah berbahaya dan beracun (B3). Adapun beberapa negara yang mengategorikan limbah batubara atau FABA menjadi limbah non-B3 antara lain Amerika Serikat, negara-negara Eropa, Australia, Jepang, dan Tiongkok.
Mahalnya biaya pengelolaan limbah FABA menjadi salah satu alasan dikeluarkannya FABA dari status B3. Pasalnya, kalau berstatus B3, biaya pengangkutan dan pengolahan yang dikeluarkan cenderung lebih mahal.
PP yang dikeluarkan pemerintah itu kemudian menuai respons dari berbagai kalangan, mulai dari aktivis lingkungan hingga peneliti, juga dari organisasi lingkungan masyarakat serta lembaga penelitian milik negara.
Selain itu alasan dikeluarkannya FABA dari kategori limbah B3 menurut Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah dan Bahan Berbahaya dan Beracun (PSLB3) Kementerian Lingkungan Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Vivien Ratnawati adalah karena pembakaran batu bara di Industri PLTU dilakukan pada temperatur tinggi, sehingga kandungan unburnt carbon di dalam FABA menjadi minimum dan lebih stabil saat disimpan dibandingkan dengan pembakaran batu bara di industri lain.
Menurutnya, ada manfaat lain dari limbah pembakaran batubara di PLTU yang menggunakan temperatur tinggi ini karena dapat dijadikan nilai ekonomi lain seperti bahan bangunan, substitusi semen, jalan, tambang bawah tanah atau underground mining serta restorasi tambang.
Senada dengan KLHK, Ajeng Arum Sari yang merupakan peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) juga mengatakan bahwa limbah sawit dapat dimanfaatkan untuk keperluan industri dan masyarakat.
Spent Bleaching Earth merupakan limbah padat yang dihasilkan dari penyulingan minyak kelapa sawit di industri pengolahan minyak hewani atau nabati. Limbah tersebut apabila dikelola dengan cepat dan tepat dapat pula memberikan manfaat yang lain.
Namun, pertentangan diutarakan oleh Merah Johansyah selaku Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) yang mengatakan bahwa justru dengan dikeluarkannya FABA dari kategori limbah B3, limbah tersebut dapat mencemari sungai dan laut, mengingat sebanyak 82 persen lokasi PLTU terletak di wilayah pesisir.
Jika pada akhirnya FABA justru mencemari lingkungan, maka hal tersebut menunjukkan bahwa negara telah abai dalam menjalankan kewajibannya untuk menjaga kelestarian lingkungan hidup di Indonesia.
Berdasarkan beberapa pertimbangan di atas, lalu dampak seperti apa yang akan ditanggung Indonesia ke depannya, mengingat kerusakan lingkungan itu akan dirasakan oleh generasi selanjutnya?
UU Ciptaker Akar Masalah?
Pada awal UU Ciptaker dibahas, sudah banyak pertentangan dari berbagai golongan masyarakat. Mulai dari golongan buruh, petani, nelayan, masyarakat sipil, aktivis lingkungan hidup dan hak asasi manusia, hingga para akademisi.
UU ini memang dianggap dapat mempercepat lajunya pertumbuhan perekonomian Indonesia, sehingga Presiden Jokowi terlihat berupaya agar DPR segera mengesahkan Undang-Undang tersebut.
Kekhawatiran para aktivis terkait diberlakukannya Undang-Undang Cipta Kerja ini adalah minimnya perlindungan terhadap lingkungan hidup, terutama dengan diubahnya beberapa pasal di UU terkait lingkungan yang sudah ada.
Salah satu di antaranya adalah mengubah konsep asas strict liability yang sebelumnya di dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Ini terkait pertanggungjawaban tanpa kesalahan (no-fault liability/liability based on no fault/liability without fault) sebagaimana yang diatur di dalam Pasal 88 yang berbunyi:
“Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan.”
Lewat UU Cipta Kerja Pasal 88 itu diubah menjadi:
“Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggung jawab mutlak atas kerugian yang terjadi dari usaha dan/atau kegiatannya”.
Di UU Cipta Kerja, frasa “tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan” dihapus. Menurut Raynaldo G. Sembiring selaku Direktur Eksekutif Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) hal tersebut merancukan pemaknaan norma konsep strict liability. Selain itu dihilangkannya kata-kata tersebutmembuat kejahatan lingkungan tidak dapat didekati dengan pendekatan pidana dan perdata biasa.
Hal ini bisa diibaratkan dengan harimau yang kehilangan taringnya, di mana negara harus bekerja ekstra keras untuk dapat menjerat pelaku kejahatan lingkungan, terutama di sektor industri yang menggunakan batu bara seperti PLTU, dan juga di industri perkebunan sawit.
Indonesia Darurat Kerusakan Lingkungan
Dengan diubahnya konsep strict liability dan dikeluarkannya limbah batu bara FABA dan limbah sawit SBE dari kategori limbah B3 jelas membuat kelestarian lingkungan hidup Indonesia terancam.
Hal ini akan berdampak pada tumpulnya senjata negara untuk memproses hukum para pengusaha yang melakukan kejahatan lingkungan, terutama di sektor industri batu bara dan perkebunan sawit.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Dr. Eko Prasetyo Kuncoro ST., DEA, dampak dari limbah batu bara FABA ini buruk bagi kesehatan karena menyebabkan gangguan pada sistem pernapasan. Hal ini dikarenakan kandungan mineral dalam FABA adalah karbon, oksigen, hidrogen dan senyawa lainnya dapat tersebar melalui air, udara dan tanah. Kondisi ini dapat memberikan dampak negatif yang serius apabila berlangsung cukup lama.
Sementara dampak dari limbah sawit SBE yang merupakan jenis limbah kimia bisa mencemarkan air dan udara. Ada juga emisi gas rumah kaca dan juga dapat menimbulkan penyakit paru-paru seperti silikosis.
UU Ciptaker dengan kata lain membuat para pengusaha industri batu bara dan perkebunan sawit tidak memiliki tanggung jawab untuk mengolah limbah FABA dan SBE sebagai limbah B3, dan jelas ini akan berdampak buruk bagi lingkungan dan kesehatan bagi warga sekitarnya.
Selain itu, ke depannya negara akan menghadapi kesulitan untuk menagih pertanggungjawaban korporasi dalam pemeliharaan lingkungan hidup karena hilangnya konsep strict liability dalam proses penegakan hukum terhadap pelaku perusakan lingkungan.
Dalam hal kesehatan, jika kesehatan masyarakat pada akhirnya terganggu, hal ini juga akan membebani anggaran pengeluaran negara dalam bidang kesehatan.
Jadi dengan dikeluarkannya FABA dan SBE dari golongan limbah B3 akan cenderung membebani negara untuk memulihkan kerusakan lingkungan dan persoalan kesehatan. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya.
Tulisan milik Falis Aga Triatama, Praktisi Hukum di Winrow Veritas Law Firm.
Opini adalah kiriman dari penulis. Isi opini adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis dan tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi PinterPolitik.com.
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.