Penolakan pendirian rumah ibadah yang selama ini terjadi di Kota Cilegon kembali ramai dibicarakan. Penolakan tersebut bukan hanya datang dari lapisan sosial masyarakat, melainkan juga Pemerintah Daerah.
Baru-baru ini, Walikota, Wakil Walikota, dan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Cilegon, tampak ikut menandatangani penolakan yang kabarnya digagas Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kota Cilegon.
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Setara Institute pada tahun 2021, Cilegon menempati urutan ketiga sebagai kota yang paling tidak toleran. Menurut Halili Hasan, Direktur Riset, ada tiga hal yang mendasari penilaian ini, yaitu adanya aturan daerah yang diskriminatif, tidak berfungsinya fungsi sosial masyarakat, dan tidak berjalannya fungsi pemerintah daerah.
Mengutip artikel yang berada di laman kemenag.go.id, berjudul Mengurai Polemik Penolakan Pendirian Gereja di Cilegon, catatan sejarah dari tahun 1994 saat terjadinya tindakan anarkis terhadap tempat ibadah umat Kristen HKBP dan pembongkaran Gereja Advent membuat tak ada satupun tempat ibadah berupa gereja di wilayah tersebut hingga saat ini.
Polemik yang telah berjalan lebih dari 25 tahun ini menguatkan dugaan adanya pembiaran dari unsur Pemerintah Daerah serta gerakan yang masif dan struktural dari masyarakatnya.
Dasar hukum yang kerap dijadikan patokan larangan pendirian rumah ibadah adalah Keputusan Bupati Kepala Daerah Tingkat II Serang Nomor 189/Huk/SK/1975 yang mengatur tentang penutupan gereja atau tempat jemaat bagi agama Kristen di wilayah Kabupaten Serang (kemenag.go.id).
Meskipun itu adalah keputusan Bupati Kabupaten Serang, Komite Kearifan Lokal Kota Cilegon menganggap wilayah yuridis Kota Cilegon saat ini merupakan bagian dari wilayah yang diatur dalam keputusan tersebut terdahulu.
Menteri Agama (Menag), Yaqut Cholil Qoumas (Gus Yaqut), menegaskan bahwa pendirian salah satu gereja yang kini sedang ditolak pembangunannya telah memenuhi syarat pendirian rumah ibadah. Ia meminta Pemerintah Daerah untuk segera menyelesaikan dan menerbitkan izin. Jika tidak kunjung selesai, ia mengancam akan datang untuk menyelesaikannya sendiri.
Urusan Pemerintahan Absolut
Keributan ini menimbulkan pertanyaan terkait penggunaan dasar hukum dan kewenangan yang dimiliki Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
Pasal 10 ayat (1) UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah mengungkapkan urusan agama merupakan satu dari enam urusan pemerintahan absolut. Urusan pemerintahan absolut adalah urusan pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan Pemerintah Pusat.
Urusan agama sebagaimana yang dimaksud dalam Bagian Penjelasan Pasal 10, berupa penetapan hari libur keagamaan yang berlaku nasional, memberikan pengakuan terhadap keberadaan suatu agama, menetapkan kebijakan dalam penyelenggaraan kehidupan keagamaan, dan sebagainya.
Selanjutnya dalam Pasal 10 ayat (2), dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan absolut, Pemerintah Pusat melaksanakannya sendiri atau melimpahkan wewenang kepada instansi vertikal yang ada di daerah atau gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat berdasarkan asas dekonsentrasi.
Penyelenggaraan urusan pemerintahan absolut berpotensi tumpang tindih. Sebab, wewenang yang dijalankan Pemerintah Pusat dan yang dilimpahkan kepada Pemerintah Daerah tidak terlalu jelas parameter yang menjadi batasannya.
Ini terlihat dari pernyataan Gus Yaqut yang mengungkapkan utusan Kementerian Agama (Kemenag) sebetulnya telah berkali-kali menemui Wali Kota Cilegon agar mengeluarkan izin pendirian gereja. Tapi, belum membuahkan hasil.
Walikota Kota Cilegon justru berdalih, penolakan yang ia lakukan merupakan bentuk dukungan yang diberikan terhadap keinginan masyarakat Kota Cilegon.
Polemik SKB Dua Menteri
Kewenangan penerbitan izin pendirian rumah ibadah diatur dalam Peraturan Bersama Menteri (PBM) Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 8 dan 9 Tahun 2006. Izin yang berbentuk Izin Mendirikan Bangunan (IMB) ini menjadi tugas dan kewajiban bupati atau walikota untuk menerbitkannya.
Peraturan yang dikenal juga sebagai “SKB Dua Menteri” ini sebetulnya telah lama menimbulkan banyak polemik, terutama terkait persyaratan administratif, persyaratan teknis, dan persyaratan khusus yang dinilai diskriminatif bagi pemeluk agama dengan jumlah minoritas.
Bayangkan saja, menurut data yang didapatkan Nahdlatul Ulama (NU) Banten, jumlah penduduk Katolik hanya 0.77% dan Protestan sebayak 0,84% dari total jumlah penduduk Kota Cilegon.
Ketua Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI), Gomar Gultom, pernah mengungkapkan SKB Dua Menteri malah bersifat membatasi ketimbang memfasilitasi. Sebab, urusan perizinan pada akhirnya diserahkan kepada mekanisme sosial dan politik daerah. Tentu, dengan jumlah yang sangat minor, daya tawar sosial dan politik akan sangat kecil.
Dengan begini, adanya ketentuan pelimpahan urusan pemerintahan absolut kepada Pemerintah Daerah menjadikan penafsirannya rancu.
Permasalahan Intoleransi Kota Cilegon
Pemerintah seharusnya perlu menyadari bahwa gejolak sosial dan politik daerah tidak dapat diseragamkan. Ini terkait dengan kearifan lokal dan konteks kewilayahan yang sangat beragam.
Dalam konteks Kota Cilegon, kita harus mengakui bahwa tindakan penolakan pendirian tempat ibadah yang begitu masif dan terstruktur ini sebagai aksi intoleran.
Bruce Hunsberger dalam tulisannya Religion and Prejudice: The Role of Religious Fundamentalism, Quest, and Right-Wing Authoritarianism menyebut perbuatan intoleran merupakan tindakan negatif yang dilatarbelakangi oleh simplifikasi palsu atau prasangka yang berlebihan.
Prasangka ini Hunsberger kelompokkan menjadi tiga komponen. Pertama, komponen kognitif yang mencakup stereotip terhadap kelompok luar yang direndahkan. Kedua, komponen afektif yang berwujud sikap muak atau tidak suka terhadap kelompok luar. Ketiga, komponen tindakan negatif terhadap anggota kelompok luar, baik secara interpersonal maupun dalam kebijakan politik sosial.
Garis bawah perlu diberikan terhadap komponen kebijakan politik sosial yang juga mampu menjadi celah bagi sikap dan tindakan intoleran. Sikap dan tindakan intoleran dapat berupa perlakuan yang cenderung diskriminatif terhadap siapapun yang dianggap bukan menjadi bagiannya.
Kecenderungan ini dapat mengarah kepada ideologi radikal yang menguatkan prasangka dan imej permusuhan terhadap penganut agama lain yang mengarah kepada intoleransi beragama (Robinson, 2016).
Pertanyaan Besar Peran FKUB
Sebetulnya, sangat disayangkan jika benar penolakan tersebut digagas oleh FKUB Kota Cilegon. Apalagi, selain diisi oleh pemuka lintas agama, terdapat unsur-unsur Pemerintah Daerah dalam strukturnya.
Muhammad Anang Fidaus, dalam jurnalnya berjudul Eksistensi FKUB dalam Memelihara Kerukunan Umat Beragama, mengungkapkan pembentukan FKUB bertujuan untuk membangun, memelihara, dan memberdayakan umat beragama untuk kerukunan dan kesejahteraan.
Dalam peranannya di ruang piblik, FKUB lebih bersifat konsultatif, dialogis, dan proaktif.
Jurgen Habermas pernah mengungkapkan bahwa ruang publik harusnya nihil dari tindakan diskriminatif. Ia menggambarkan ruang publik ideal sebagai ruang publik yang menjadi wilayah bersama dan menampung keberagaman tanpa adanya halangan apapun.
Ruang publik yang demikian diwujudkan dalam ruang-ruang dialog sosial untuk mempertemukan secara terbuka seluruh kepercayaan dengan rasa damai dan konstruktif. Kekhasan yang dimiliki tiap kepercayaan, sebaiknya tidak dipahami secara sembarangan. Terutama, dalam konteks kepercayaan seperti agama.
Ingat, tak boleh ada satupun pihak yang berhak mengurangi atau menambahkan atribut keagamaan tanpa konteks yang jelas dan dapat dipertanggungjawabkan.
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah juga perlu mengkaji ulang pemaknaan dekonsentrasi dalam pelimpahan wewenang urusan pemerintahan absolut. Konsep dekonsentrasi yang sebetulnya masih dalam lingkup sentralisasi, haruslah juga memperhatikan aspek kekhasan daerah.
Pemerintah Pusat, dalam hal ini, perlu mengambil peran yang tegas dengan mempertimbangkan batasan atau parameter pelaksanaann wewenang yang di-dekonsentrasi-kan agar tidak timbul maladminstrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan. Terlebih, jika menimbulkan keresahan di tengah-tengah masyarakat.
Akhirnya, ruang publik yang ideal perlu diupayakan bersama secara masif dan terstruktur dengan menghilangkan aturan yang diskriminatif, mengoptimalisasi fungsi sosial masyarakat, serta memastikan fungsi pemerintah daerah berjalan dengan baik.
Opini adalah kiriman dari penulis. Isi opini adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis dan tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi PinterPolitik.com.