HomePolitikUrgensi dan Legitimasi Presiden Dipilih MPR?

Urgensi dan Legitimasi Presiden Dipilih MPR?

Oleh Yassir Arafat, Staf Pengajar di STIS Nurul Qarnain Jember

Kecil Besar

Wacana untuk mengamendemen UUD 1945 kembali mencuat akhir-akhir ini. Bahkan, ada isu bahwa presiden akan dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) lagi. Kira-kira, apa urgensi dan legitimasi dari pemilihan tersebut?


PinterPolitik.com

Akhir-akhir ini publik dikejutkan dengan berbagai opini dari elite-elite politik; seperti adanya keinginan untuk mengamendemen kembali Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 โ€“ baik secara terbatas maupun secara menyeleruh. Selain itu, terdapat juga wacana untuk menghidupkan kembali GBHN dengan alasan agar tujuan pembangunan negara menjadi lebih suistainable sehingga, ketika terjadi suksesi kepemimpinan presiden, pembangunan negara tetap berjalan. Artinya, siapapun presiden yang terpilih dan menggantikan presiden sebelumnya tidak akan merubah haluan yang hendak dicapai oleh negara.

Narasi-narasi untuk mengamendemen UUD 1945 terus mengemuka. Bahkan, ada keinginan dari pihak-pihak tertentu untuk menghidupkan kembali keanggotaan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dari utusan golongan juga disuarakan. Lebih dari itu, ada juga wacana agar pemilihan presiden dan wakil presiden kembali dipilih oleh MPR.

Apakah realitas ini kemudian menjadi justifikasi bahwa Pemilu presiden harus dipilih MPR RI lagi? Sungguh ironis sekali kalau ini terjadi. Selain tidak sesuai dengan tuntutan reformasi, juga menghilangkan kedaulatan rakyat yang sesungguhnya. Sebab, rakyatlah yang memiliki kekuasaan untuk menentukan pemimpin negaranya.

Alangkah bijak dan demokratis, jika elite politik lebih mengedepankan pada aspek evaluatif terhadap penyelenggaraan Pilpres secara langsung oleh rakyat (korektif). Tidak melompat jauh atau bahkan lari dari realitas politik yang sudah berjalan dan menjadi keinginan rakyat.

Sebagian besar masyarakat bisa jadi masih tetap menginginkan pemilu dilaksanakan secara langsung.  Pemilihan presiden secara langsung dapat mempertegas sistem pemerintahan presidensial. Baik lembaga legislatif maupun lembaga ekskutif sama-sama harus dipilih langsung oleh rakyat. Tujuannya, agar berajalan checksยญ-and-balances di antara kedua lembaga tersebut.

Sejarah telah membuktikan terlepas dari kelemahan dan ekses negatif yang timbul dari pemilu secara langsung. Indonesia sudah menghasilkan dua presiden pilihan rakyat selama empat kali pemilihan, yakni Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Baca juga :  Open Loker Cawapres 2029, Puan Maharani? 

Tidak mengherankan jika Indonesia menjadi percontohan bagi negara-negara di dunia, negara berkembang, dan negara-negara Asia lainnya. Indonesia bisa saja menjadi role model dalam pelaksanaan demokrasi yang sesungguhnya.

Legitimasi Pemilu Presiden Secara Langsung

Diskursus tentang pemilu tidak dapat dipisahkan dari hakekat demokrasi. Keduanya memiliki relasi yang erat dan saling berkaitan. Secara teoritis, konsepsi dan gagasan demokrasi โ€“ merujuk kepada John Locke dan J.J. Rousseau โ€“ berkaitan dengan adanya jaminan terhadap kebebasan, keadilan, dan kesetaraan bagi individu dalam segala bidang.

Dalam demokrasi, ada nilai-nilai partisipatif dan kedaulatan yang dijunjung tinggi dan harus dijalankan oleh warga negara dan instrumen negara baik pada level legislatif, yudikatif, maupun eksekutif.

Pemilu merupakan perwujudan kedaulatan rakyat sebagai hakekat dari proses demokrasi.  Kedaulatan jelas berada di tangan rakyat โ€“ sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (2) UUD 1945. Pilpres merupakan sarana pertanggungjawaban sekaligus sarana evaluasi dan kontrol publik secara politik terhadap presiden dan kekuatan politik yang menopang.

Selain itu, juga sebagai sarana pembelajaran demokrasi bagi rakyat (civic education) dan menjadi medium pembelajaran praktik berdemokrasi bagi rakyat yang diharapkan dapat membentuk kesadaran kolektif segenap unsur bangsa tentang pentingnya memilih pemimpin yang sesuai dengan hati nuraninya.

Ada dua alasan mengapa Pilpres harus dilaksanakan secara langsung, yakni presiden terpilih sesuai dengan kehendak mayoritas rakyat itu sendiri dan untuk menjaga stabilitas pemerintahan agar tidak mudah dijatuhkan di tengah jalan (Mahfud MD, 2007).

Harapannya, melalui Pilpres secara langsung, presiden yang ideal dapat dimunculkan. Presiden yang ideal dalam hal ini adalah pemimpin yang berpijak pada nilai-nilai luhur bangsa (empat pilar negara) โ€“ yaitu Pancasila, UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika, dan NKRI โ€“ yang dituangkan kedalam visi, misi, dan programnya.  Di samping itu, kapabilitas dan integritas presiden akan menentukan keberhasilan penyelenggaraan pemerintahan sehingga aspirasi dan kesejahteraan rakyat dapat terwujud.

Baca juga :  Pilpres: AHY vs Gibran?

Pilpres secara langsung memiliki beberapa kelebihan, yaitu presiden yang terpilih lebih demokratis dan memiliki legitimasi yang kuat karena didukung oleh mayoritas rakyat yang memilihnya dan tidak terjadi distorsi dalam demokrasi, serta presiden yang terpilih tidak terhegemoni oleh kepentingan elite politik dan tidak dapat diintervensi oleh pihak tertentu, baik oleh partai koalisi pengusungnya, tim sukses, maupun pemiliki modal sehingga presiden lebih memperhatikan kepentingan rakyat daripada kepentingan kelompok, partai politik, maupun pihak-pihak tertentu. Selain itu, akuntabilitasnya bisa jadi lebih jelas dan dapat meminimalisir terjadinya โ€œpolitik transaksionalโ€ jika dibandingkan dengan presiden yang dipilih oleh MPR (Wahyuningsih, 2001).

Ada tiga faktor utama untuk melihat legitimasi sebuah kekuasaan politik yang demokratis dalam penyelenggaraan Pemilu. Pertama, Pemilu harus dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kedua, Peraturan perundang-undangan tersebut dapat diterima dan dibenarkan oleh semua pihak (antara negara dan rakyat). Ketiga, legitimasi harus dibuktikan dengan adanya persetujuan bersama (Beetham, 1991).

Adanya Pemilu yang legitimate akan menciptakan stabilitas politik dan meningkatnya kualitas demokrasi sehingga sistem pemerintahan presidensial yang kita anut semakin jelas dan tegas. Presiden terpilih hanya dapat diberhentikan dalam masa jabatannya apabila melanggar hukum sebagaimana ditentukan dalam UUD 1945.

ltupun dapat dilakukan setelah melalui proses konstitusional oleh Mahkamah Konstitusi dan DPR. Berbeda dengan rezim presiden dipilih MPR, di mana presiden dapat dijatuhkan dalam masa jabatannya hanya berdasarkan alasan politik dan hukum yang โ€œmulti-tafsirโ€.

Tulisan milik Yassir Arafat, Staf Pengajar di STIS Nurul Qarnain Jember.

โ€œDisclaimer: Opini adalah kiriman dari penulis. Isi opini adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis dan tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi PinterPolitik.com.โ€

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

spot_imgspot_img

#Trending Article

Sejauh Mana โ€œKesucianโ€ Ahok?

Pasca spill memiliki catatan bobrok Pertamina dan dipanggil Kejaksaan Agung untuk bersaksi, โ€œkesucianโ€ Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok seolah diuji. Utamanya, terkait pertaruhan apakah dirinya justru seharusnya bertanggung jawab atas skandal dan kasus rasuah perusahaan plat merah tempat di mana dirinya menjadi Komisasis Utama dahulu.

Teror Soros, Nyata atau โ€œHiperbolaโ€? 

Investor kondang George Soros belakangan ramai dibincangkan di media sosial. Apakah ancaman Soros benar adanya, atau hanya dilebih-lebihkan? 

Begitu Sulit Sri Mulyani

Kementerian Keuangan belum juga memberikan paparan kinerja APBN bulan Januari 2025.

Mitos โ€œHantu Dwifungsiโ€, Apa yang Ditakutkan?

Perpanjangan peran dan jabatan prajurit aktif di lini sipil-pemerintahan memantik kritik dan kekhawatiran tersendiri meski telah dibendung sedemikian rupa. Saat ditelaah lebih dalam, angin yang lebih mengarah pada para serdadu pun kiranya tak serta merta membuat mereka dapat dikatakan tepat memperluas peran ke ranah sipil. Mengapa demikian?

Inikah Akhir Hidup NATO?

Perbedaan pendapat antara Amerika Serikat (AS) dan negara-negara anggota Organisasi Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) belakangan terlihat semakin kentara. Apa maknanya?

Apocalypse Now Prabowo: Sritex dan Tritum Konfusianisme

Badai PHK menghantui Indonesia. Setelah Sritex menutup pabriknya dan menyebabkan 10 ribu lebih pekerja kehilangan pekerjaan, ada lagi Yamaha yang disebut akan menutup pabrik piano yang tentu saja akan menyebabkan gelombang pengangguran.

Tiongkok Pesta Thorium, Bisa Pantik โ€œPerangโ€? 

Dunia dihebohkan dengan kabar bahwa Tiongkok berhasil menemukan cadangan thorium yang jumlahnya diprediksi bisa menghidupi kebutuhan energi negara tersebut selama 60 ribu tahun. Kira-kira, apa dampak geopolitik dari hal ini? 

Ini Akhir Cerita Thohir Brothers?

Mega korupsi Pertamina menguak dan mulai terarah ke Menteri BUMN, Erick Thohir, dan sang kakak, Garibaldi atau Boy Thohir. Utamanya, terkait jejaring kepentingan personal dan politik yang bisa saja akan menjadi pertimbangan Presiden Prabowo Subianto kelak atas sebuah keputusan. Benarkah demikian?

More Stories

Ini Strategi Putin Meraih Stabilisasi?

Oleh: Muhammad Ferdiansyah, Shafanissa Arisanti Prawidya, Yoseph Januar Tedi PinterPolitik.com Dalam dua dekade terakhir, nama Vladimir Putin telah identik dengan perpolitikan di Rusia. Sejak periode awal...

Pesta Demokrasi? Mengkritisi Pandangan Pemilu

Oleh: Noki Dwi Nugroho PinterPolitik.com Sejak kemerdekaannya pada Agustus 1945, pendiri bangsa Indonesia berkonsensus untuk menjadikan wilayah bekas jajahan Kerajaan Belanda yang bernama Hindia Belanda ini...

Menguak Kabinet Obesitas Prabowo-Gibran

Oleh: Bayu Nugroho PinterPolitik.com Hal menarik  ketika adanya pengumuman kabinet pemerintahan Prabowo โ€“ Gibran adalah komposisinya yang sangat jumbo atau lebih tepatnya obesitas. Pemaknaan obesitas tersebut...