Staf Khusus Presiden Jokowi yang masuk dalam kelompok usia milenial kini menjadi sorotan publik terkait dugaan konflik kepentingan. Mungkinkah ulah mereka terancam hukum pidana?
PinterPolitik.com
Sorotan tajam masyarakat kembali tertuju kepada Staf Khusus Presiden. Sejak beredarnya surat Staf Khusus Presiden kepada camat, timbul lagi sorotan terhadap Staf Khusus Presiden yang menjabat sebagai CEO platform digital yang bekerja sama dengan pemerintah untuk pelatihan kartu pra-kerja.
Menariknya, kedua Staf Khusus Presiden memiliki respons berbeda atas kritik yang dilontarkan masyarakat. Andi Taufan Garuda melakukan klarifikasi dan permohonan maaf dengan mencabut surat kepada camat sekaligus menjelaskan alasan utama penerbitan surat yang menghebohkan tersebut, yaitu bermaksud baik dan ingin bergerak cepat untuk membantu penanggulangan Covid-19 di desa melalui dukungan secara langsung oleh tim lapangan Amartha yang berada di bawah kepemimpinannya, serta dukungan ini murni tanpa mempergunakan APBN atau APBD.
Sementara, Belva menyatakan dirinya tidak terlibat dalam mekanisme penentuan mitra pemerintah dalam pelatihan pra-kerja, bukan pejabat pengadaan, bukan pejabat pembuat komitmen, dan sebagainya.
Dua isu besar terlihat dari kejadian di atas, yakni Staf Khusus Presiden tidak mengetahui kedudukan dan kewenangan yang mereka miliki sebagai subjek yang terikat pada hukum administrasi negara, dan Staf Khusus Presiden tidak memahami potensi konflik kepentingan jika masih mengemban jabatan di perusahaan.
Sungguh menjadi sebuah pertanyaan besar dan memprihatinkan di mana jabatan sekelas Staf Khusus Presiden tidak dibekali dengan pengetahuan komprehensif mengenai kedudukan dan potensi konflik kepentingan yang mungkin terjadi.
Kritik keras menghujan para Staf Khusus Presiden, yang diawali dengan terbitnya surat kepada camat se-Indonesia untuk mendukung komitmen kerja sama sebagai relawan desa Covid-19 dari PT Amartha Mikro Fintek.
Surat ini kemudian viral, dikritisi, dan berujung pada keluarnya surat klarifikasi dan permohonan maaf dari yang bersangkutan. Namun, kontroversi mengenai surat ini seharusnya tidak hanya selesai dengan adanya klarifikasi dan permohonan maaf.
Andi Taufan Garuda seharusnya mengetahui bahwa “Staf Khusus Presiden” tidak dibekali dengan kewenangan apapun. Staf Khusus Presiden hanya menjalankan tugas tertentu dari Presiden di luar tugas-tugas yang dicakup Kementerian dan Instansi lainnya sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat 1 Peraturan Presiden Nomor 39 Tahun 2018.
Ketiadaan kewenangan ini pun diperparah dengan materi surat yang berisikan arahan/pemberitahuan kepada camat untuk mendukung PT Amartha. Secara formil, yang bersangkutan seharusnya hanya memberikan masukan kepada Presiden, jikapun idenya disetujui maka Presidenlah yang berwenang untuk membuat peraturan ataupun kebijakan yang ditujukan kepada Pemerintah Daerah, termasuk camat di dalamnya. Maka dari itu, terbitnya surat ini tidak dapat dibenarkan dengan alasan apapun.
Lebih lanjut, sorotan ini kemudian berfokus kepada materi yang terkandung dalam surat tersebut. Bagaimana bisa seorang Staf Khusus Presiden memberikan pemberitahuan atau arahan kepada Camat untuk mendukung pelaksanaan program PT Amartha Mikro Fintek di mana yang bersangkutan merupakan pimpinan dari perusahaan tersebut?
Dari sini, timbul pemikiran yang mempertanyakan integritas seorang yang merangkap jabatan sebagai Staf Khusus Presiden sekaligus pelaku usaha untuk bebas dari konflik kepentingan. Terlebih lagi, surat yang diterbitkan secara jelas mendukung perusahaan yang dipimpinnya.
Sayangnya, jika dikaji pada tataran konsep “konflik kepentingan”, peraturan perundang-undangan yang ada hanya mengatur “konflik kepentingan” jika dilakukan oleh Pejabat Pemerintahan. Pasal 1 angka 14 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan memberikan definisi “Konflik Kepentingan” sebagai kondisi Pejabat Pemerintahan yang memiliki kepentingan pribadi untuk menguntungkan diri sendiri dan/atau orang lain dalam penggunaan Wewenang sehingga dapat mempengaruhi netralitas dan kualitas Keputusan dan/atau Tindakan yang dibuat dan/atau dilakukannya.
Bila dibandingkan dengan konsep dan penjabaran pada modul “Panduan Penanganan Konflik Kepentingan bagi Penyelenggara Negara” yang diterbitkan tahun 2009 oleh KPK, bentuk-bentuk kepentingan terdiri dari: (i) situasi yang menyebabkan seseorang menerima gratifikasi atau pemberian/penerimaan hadiah atas suatu keputusan/jabatan; (ii) situasi yang menyebabkan penggunaan aset jabatan/instansi untuk kepentingan pribadi/golongan; (iii) situasi yang menyebabkan informasi rahasia jabatan/instansi dipergunakan untuk kepentingan pribadi/golongan; (iv) perangkapan jabatan di beberapa lembaga/instansi/perusahaan yang memiliki hubungan langsung atau tidak langsung, sejenis atau tidak sejenis, sehingga menyebabkan pemanfaatan suatu jabatan untuk kepentingan jabatan lainnya; (v) situasi di mana seorang penyelenggara negara memberikan akses khusus kepada pihak tertentu misalnya dalam rekrutmen pegawai tanpa mengikuti prosedur yang seharusnya; (vi) situasi yang menyebabkan proses pengawasan tidak mengikuti prosedur karena adanya pengaruh dan harapan dari pihak yang diawasi; (vii) situasi dimana kewenangan penilaian suatu obyek kualifikasi di mana obyek tersebut merupakan hasil dari si penilai; (viii) situasi di mana adanya kesempatan penyalahgunaan jabatan; (ix) post employment (berupa trading influence, rahasia jabatan); (x) situasi di mana seorang penyelenggara negara menentukan sendiri besarnya gaji/remunerasi; (xi) moonlighting atau outside employment (bekerja lain di luar pekerjaan pokoknya); (xii) situasi untuk menerima tawaran pembelian saham pihak masyarakat, dan (xiii) situasi yang memungkinkan penggunaan diskresi yang menyalahgunakan wewenang.
Oleh sebab itu, jika yang bersangkutan berdalih bahwa perusahaannya tidak mengambil keuntungan finansial apapun dan menggunakan biaya perusahaan jika program tersebut dijalankan, tetap saja tindakan yang bersangkutan tidak dapat dibenarkan. Hal yang naif jika tidak memberikan keuntungan ketika program kerjasama tersebut dilaksanakan.
Keuntungan yang mungkin saja terjadi di antaranya terkait promosi brand perusahaan yang terbentuk secara masif hingga tingkat kecamatan dan/atau akses mendapatkan data-data tertentu yang sebenarnya hanya dapat diakses oleh administrator negara saja.
Kejadian serupa tapi tak sama juga dialami Belva. Sorotan ini wajar adanya karena Belva juga memimpin perusahaan yang menjadi mitra pemerintah dalam memberikan pelatihan pra-kerja dengan menggunakan APBN.
Belva berkilah bahwa dia tidak terlibat dalam mengurus dan memberikan keputusan dalam penetapan perusahaannya sebagai mitra terpilih oleh Pemerintah. Mungkin saja pernyataan ini benar, tetapi dengan adanya rangkap jabatan yang diemban tentu tidak mudah untuk melepaskan diri dari dugaan adanya konflik kepentingan apalagi perusahaan yang dipimpinnya terpilih menjadi mitra pemerintah. Lebih lanjut, ketika program ini dieksekusi ke depannya, maka akan ada aliran dana APBN yang masuk ke perusahaan yang dipimpin oleh seorang Staf Khusus Presiden.
Perlu diketahui, dalam hukum perseroan terbatas, fungsi Direksi sangat besar, di antaranya Direksi menjalankan perseroan dan bertanggung jawab atas pengurusan perseroan sesuai maksud dan tujuan perseroan (Pasal 97 ayat 1 UU 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas) sehingga, secara hukum, tidak mungkin ada suatu perusahaan yang dijalankan tanpa keterlibatan Direksi di dalamnya. Lebih lanjut, besarnya peran Direksi terlihat dari ketentuan Pasal 98 UU 40 Tahun 2007 yang mengatur bahwa Direksi mewakili Perseroan di dalam maupun di luar pengadilan.
Jika sampai saat ini Belva masih menjabat sebagai Direktur Utama di perusahaan pemilik Ruang Guru, sungguh sangat tidak mungkin jika Direktur Utama tidak mengetahui atau tidak terlibat dalam pengurusan perusahaan dimasa datang. Sebagai direksi tentu akan berinteraksi secara administratif dan koordinatif dengan Kuasa Pemegang Anggaran (Kementerian terkait). Sementara, Belva menjabat sebagai Staf Khusus Presiden.
Dengan demikian, ketika seseorang pimpinan perusahaan dipercaya untuk mengemban tugas sebagai Staf Khusus Presiden, sudah selayaknya melepaskan jabatan perusahaan yang dikhawatirkan akan menimbulkan potensi konflik kepentingan. Walaupun, harus diakui bahwa perangkat peraturan perundang-undangan yang khusus mengatur “konflik kepentingan” baru terkait dengan kebijakan/peraturan yang dibentuk oleh Pejabat Pemerintahan. Sementara, Staf Khusus Presiden bukanlah pejabat yang berwenang untuk memberi keputusan atau membentuk kebijakan.
Selanjutnya, pelepasan jabatan di perusahaan dilakukan agar tidak terjerumus dengan perbuatan-perbuatan yang terancam dengan undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi nomor 31 tahun 1999. Perlu diingat bahwa undang-undang ini mengatur mengenai delik formil (delik yang merumuskan perbuatan-perbuatan yang dilarang) sehingga delik itu terpenuhi jika seseorang telah melakukan perbuatan yang dilarang. Berbeda halnya dengan delik materiil di mana delik terpenuhi jika timbul akibat yang dilarang atau diancam pidana.
Dalam konteks pemberantasan korupsi, UU 31 Tahun 1999 telah memperluas pengertian pegawai negeri. Pasal 1 ayat 2 UU 31 Tahun 1999 mengatur bahwa Pegawai Negeri meliputi: (a) pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang tentang Kepegawaian; (b) pegawai negeri sebagaimana dimaksud KUHP; (c) orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah; (d) orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah; (e) orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang mempergunakan modal atau fasilitas negara atau masyarakat. Jika dikaitkan dengan kedudukan Staf Khusus Presiden maka sudah jelas bahwa jabatan ini terkualifikasi sebagai pegawai negeri menurut UU No. 31 Tahun 1999.
Oleh karena itu, apakah terdapat potensi pidana yang dilakukan oleh Kedua Staf Khusus maka dapat dipilah sebagai berikut:
- untuk terbitnya surat ke Camat maka sedikitnya hal ini berpotensi melanggar ketentuan Pasal 3 UU 31 Tahun 1999 seandainya program kerjasama dengan camat dijalankan. Pasal 3 UU 31 Tahun 1999 mengatur bahwa “setiap orang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 tahun dan atau denda paling sedikit 50 juta rupiah dan paling banyak 1 miliar rupiah”. Sehingga, seandainya program tersebut dieksekusi dan kemudian timbul kerugian keuangan negara dari berjalannya program kerjasama tersebut maka tindakan yang dilakukan Staf Khusus Presiden tersebut memenuhi delik formil sebagaimana diatur dalam Pasal 3 UU 31 Tahun 1999.
- untuk kegiatan terpilihnya Ruang Guru sebagai mitra pemerintah untuk pelatihan Prakerja maka dalam konteks ini, UU Pemeberantasan Tipikor belum menjangkau pengaturan tentang pemidanaan bagi orang yang memegang jabatan (tidak langsung berkaitan dengan proses pengadaan barang dan jasa) yang perusahaannya terpilih dalam sebuah tender/penunjukan pemerintah. Pasal 12 huruf (i) UU 20 tahun 2001 hanya mengatur bahwa “pegawai negeri dapat dipidana dengan sengaja turut serta dalam pemborongan, pengadaan, atau persewaan, yang pada saat dilakukan perbuatan, untuk seluruh atau sebagian ditugaskan untuk mengurus atau mengawasinya”. Tetapi, ketika Belva menjalankan perannya sebagai Direktur Utama ketika program ini berjalan, tentunya ia akan melakukan interaksi administratif dan koordinatif dengan Kuasa Pemegang Anggaran. Sehingga, adanya interaksi ini sangat sulit melepas adanya konflik kepentingan dari rangkap jabatan yang diembannya. Sehingga, ketika program pelatihan yang dijalankan oleh Ruang Guru kemudian menimbulkan kerugian negara maka Direksi akan dimintakan pertanggungjawaban hukum atas kerugian tersebut sebagaimana bunyi Pasal 3 UU 31 Tahun 1999.
Tulisan milik Rizky Muhammad Ikhsan, S.H, M.H., Mahasiswa Pascasarjana Program Doktor Hukum Universitas Pelita Harapan & Wakil Sekretaris Jenderal Eksternal PB HMI (Pengurus Besar Himpunan Mahasiswa Islam).
“Disclaimer: Opini adalah kiriman dari penulis. Isi opini adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis dan tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi PinterPolitik.com.”
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.