Penyelenggara pemilihan umum (Pemilu) sudah mulai bersiap menghelat pesta demokrasi yang akan jatuh pada tahun 2024 mendatang. Namun, bukan tidak mungkin, sejumlah tantangan turut membayangi penyelenggaraan Pemilu 2024.
Jika ingin menerka apa yang ada di benak penyelenggara pemilu sekarang, mungkin saja ada optimisme dan pesimisme. Keduanya hanya dugaan yang mungkin saja betul adanya.
Mereka optimistis karena memiliki tanggung jawab yang melekat untuk menyukseskan seluruh tahapan Pemilihan Umum 2024 (Pemilu 2024), tetapi bisa pula pesimis mengingat Undang-Undang Pemilu tidak direvisi dan terbuka kemungkinan masalah terdahulu terulang kembali.
Terlepas dari itu semua, tahapan Pemilu 2024 sudah di depan mata. Persiapan dan kesiapan apapun itu harus optimal dilakukan. Namun yang terpenting, sudut pandang Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) dan seluruh jajarannya di setiap level tidak bisa melihat pemilu hanya sebagai business as usual.
Jika penyelenggara pemilu melihat pemilu selayaknya prosedur dan rutinitas berkala maka potensi pelanggaran pemilu yang tadinya bersifat potensial akan menjadi aktual dengan mudah. Dan jangan heran kalau kepercayaan masyarakat dan banyak pihak akan berkurang kepada penyelenggara pemilu. KPU, Bawaslu dan DKPP wajib memiliki sense of urgency yang tinggi pada setiap tahapan pemilu tanpa terkecuali.
Di sisi lain memang sulit dipungkiri, baik itu KPU, Bawaslu, dan DKPP di mata publik masih memiliki kekurangan soal kinerjanya maupun ketimpangan pola relasi kelembagaannya. Misalnya, KPU selaku penyelenggara teknis cenderung merasa seperti pihak yang selalu dipersalahkan oleh berbagai pihak lain termasuk sesama penyelenggara pemilu.
Kerja Bawaslu kadang dipandang belum optimal karena lemah dalam mencegah banalitas pelanggaran pemilu yang telah mentradisi seperti politik uang, ditambah fungsi quasi peradilannya yang terkesan tanggung. Lalu, DKPP dengan putusannya yang final-mengikat menjadi momok menakutkan bagi penyelenggara pemilu sampai-sampai bagi beberapa pihak dianggap sewenang-wenang.
Melihat itu semua sinyalemen untuk berbenah diri sangatlah kuat. Dengan tuntutan dan beban pekerjaan berat, maka mentalitas penyelenggara pemilu harus layaknya seorang petarung yang pantang menyerah meminimalisir kesalahan yang pernah terjadi. Menyongsong pemilu 2024 dengan kompleksitasnya maka inovasi dan terobosan progresif perlu dilakukan berdasarkan evaluasi Pemilu 2019 dan Pemilihan Kepala Daerah 2020 (Pilkada 2020) kemarin.
Ihwal Masalah Kepemiluan
Sekurang-kurangnya, problematika pemilu yang seringkali terjadi antara lain masalah administrasi dan potensi konflik sosial di masyarakat. Dari segi administrasi pemilu, salah satunya sengkarut masalah daftar pemilih yang acap kali tidak akurat dan mutakhir.
Sistem pendaftaran pemilih berkelanjutan yang sejatinya diharapkan menjadi solusi masih saja menyisakan persoalan. Pemutakhiran Data Pemilih Berkelanjutan (PDPB) tidak didukung kekuatan anggaran dan sumber daya manusia (SDM). KPU dan Bawaslu hanya mendapatkan data penduduk dari pemerintah yang tidak bisa di verifikasi kebenarannya karena tidak diberdayai anggaran untuk turun langsung mengecek secara faktual di lapangan.
Selain anggaran, upaya pemutakhirannya tidak optimal karena keterbatasan SDM penyelenggara di tingkat kecamatan dan desa/kelurahan. Bahkan KPU dan Bawaslu di daerah ada yang berinisiatif menggunakan jalinan personal-kelembagaan dengan mantan penyelenggara pemilu ad hoc untuk membantu kerja pemutakhiran data pemilih di wilayahnya.
Selanjutnya, verifikasi partai politik (parpol) peserta pemilu yang hampir selalu berujung sengketa di Bawaslu dan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Kendala Sistem Informasi Partai Politik (SIPOL) yang mengalami troubleshooting dalam penggunaannya serta legalitasnya yang diragukan.
Walaupun nantinya SIPOL akan dioperasikan sebagai alat dukung namun tetap diperlukan perbaikan guna mengantisipasi persoalan yang sama. Pemungutan, penghitungan dan rekapitulasi suara yang berkutat dengan soal-soal teknis akibat pilihan sistem pemilu yang diambil.
Salah satunya kerumitan yang dihadapi pemilih untuk memilih adalah kertas suara yang sangat panjang nan lebar. Lalu, formulir penghitungan suara yang membingungkan Komisi Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) untuk menghitung perolehan suara. Jika tidak ada perubahan desain surat suara dan dokumen administrasi lainnya, lonjakan jumlah surat suara tidak sah dan kesalahan teknis oleh KPPS akan terjadi lagi sehingga banyak hak pilih serta hak suara tidak terakomodir.
Ketika rekapitulasi, penghitungan suara di level kecamatan kerap pula ditemukan kecurangan teknis penggelembungan suara yang melibatkan penyelenggara. Yang paling memilukan adalah kematian penyelenggara ad hoc karena faktor kelelahan lantaran beban kerja dan tekanan yang amat tinggi. Ini jadi tragedi yang tidak pernah terlupakan sepanjang sejarah kepemiluan di Indonesia.
Berkaca pada Pemilu 2019, potensi konflik sosial sangat besar dipicu polarisasi ekstrem dengan narasi-narasi kebencian dan hoaks di media sosial (medsos). Bukan tidak mungkin, arena di dunia maya itu berpindah ke dunia nyata, bersamaan aksi kekerasan fisik yang masif. Belum lagi, manuver buzzer politik yang kian menuai perpecahan di alam digital.
Dalam konteks ini, pendidikan pemilih dan peningkatan literasi politik menjadi pekerjaan rumah penyelenggara pemilu yang belum selesai hingga sekarang. Pendewasaan berdemokrasi melalui sosialisasi masif oleh KPU dan Bawaslu harus mendapat dukungan dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah, tokoh agama, dan tokoh masyarakat.
Yang Harus Dibenahi Penyelenggara Pemilu
Tanggal 14 Juni 2022 tahapan pemilu resmi dimulai. Seabrek persoalan diatas masih bisa dicegah. Beberapa giat awal yang mesti dilakukan penyelenggara pemilu antara lain; pertama, penguatan kapasitas kelembagaan. Struktur yang ajeg dan hubungan harmonis antara jajaran komisioner dan sekretariat perlu diperkuat agar semakin “intim”.
Penguatan Kapasitas SDM baik komisioner, sekretariat sampai ke level ad hoc adalah harga mati. Jika SDM penyelenggara pemilu profesional dan berintegritas setidak-tidaknya persoalan teknis dan pelanggaran kode etik dapat diredam seminim mungkin. Petugas pemilu harus memahami prinsip dasar dan aturan teknis kepemiluan, selain itu mampu bersipak netral, independen, profesional dan imparsial.
Kedua, segera rampungkan peraturan teknis PKPU atau Peraturan Badan Pengawas Pemliu (Perbawaslu), juklak dan juknisnya kemudian sosialisasikan secara menyeluruh kepada jajaran. Jangan sampai peraturan teknis baru muncul mendekati waktu tahapan, hal itu akan berdampak pada keterlambatan sosialisasi dan internalisasi ke jajaran penyelenggara di level bawah. Akibatnya, mereka akan sulit memahami dalam waktu yang mepet.
Ketiga, hilangkan ego sektoral sesama penyelenggara pemilu. Dibutuhkan harmonisasi antara PKPU dan Perbawaslu agar masing-masing lembaga memiliki penafsiran yang sama terhadap aturan dimaksud. Tripartit penyelenggara pemilu adalah satu kesatuan yang berkedudukan sama dengan tugas dan wewenang berbeda.
Perhelatan pemilu adalah kompetisi bagi para pesertanya bukan panitia penyelenggaranya. Kenali sungguh tugas dan wewenang masing-masing dan bekerja, bertindak sesuai koridornya serta berdasarkan alasan hukum yang masuk akal.
Keempat, pencanangan berbagai sistem informasi di setiap tahapan sebagai inovasi mesti diperkuat dengan infrastruktur teknologi dan telekomunikasi yang memadai di daerah dan SDM yang menguasai. Kelima, utamakan kerja kolaboratif melalui kerjasama dengan lembaga-lembaga yang memiliki domain kewenangan berkaitan dengan pemilu.
Keenam, diseminasi informasi kepemiluan kepada pemilih dan stakeholder. Penyebarluasan informasi pemilu dengan sendirinya mengurangi misinformasi dan disinformasi pemilu yang tersebar di masyarakat. Pemilih juga mengetahui akses pelayanan yang diberikan KPU. Segala hal ihwal khususnya pembaharuan teknis di tiap tahapan harus disebarkan ke publik melalui berbagai media yang ada.
Realita kepemiluan kita yang masih dirundung persoalan bukan berarti adalah masa kelam seterusnya. Harapan masyarakat dan berbagai pihak tetap bertumpu pada penyelenggara pemilu yaitu KPU, Bawaslu, dan DKPP. Inovasi KPU dan Bawaslu memanfaatkan teknologi sistem informasi pada tahapan-tahapan pemilu yang ada merupakan keniscayaan demi efisiensi dan efektifitas yang wajib didukung dan dipercaya. Berbagai upaya perbaikan akan dilakukan penyelenggara pemilu untuk membenahi kualitas penyelenggaraan tahapan dari aspek teknis dan substansinya.
Opini adalah kiriman dari penulis. Isi opini adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis dan tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi PinterPolitik.com.