Site icon PinterPolitik.com

Tantangan ASN Kala New Normal

Tantangan ASN Kala New Normal

Sejumlah aparatur sipil negara (ASN) mempersiapkan fasilitas karantina di Kota Tegal, Jawa Tengah. (Foto: Antara)

Akibat pandemi Covid-19, pemerintah Indonesia akhirnya berlakukan beberapa kebijakan seperti bekerja dari rumah (WFH). Lantas, bagaimana tantangan kinerja yang dihadapi aparatur sipil negara (ASN)?


PinterPolitik.com

Adanya pandemi Covid-19 telah berdampak pada seluruh aspek kehidupan masyarakat di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Dampak Covid-19 yang belum pernah terbayangkan sebelumnya (unprecedented) menyebabkan seluruh pemerintahan dunia merespons dalam berbagai macam kebijakan.

Meskipun demikian, birokrasi pemerintah sendiri yang di dalamnya terdapat sumber daya manusia berupa Aparatur Sipil Negara (ASN) juga menghadapi tantangan besar. Semenjak pemerintah Indonesia menerapkan physical distancing, social distancing, PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) dan beberapa kebijakan lainnya dalam merespons Covid-19, hal itu berdampak pada sistem kerja Aparatur Sipil Negara (ASN) yang bekerja secara work from home (WFH).

Diberlakukannya WFH di berbagai instansi pusat maupun daerah berdampak pada mekanisme pelayanan yang diberikan. Hampir semua instansi mau tidak mau menggunakan sistem online atau digital, teemasuk para ASN yang bekerja secara daring di rumahnya masing-masing – meskipun pada fakta di lapangan praktiknya sangat variatif tergantung pada kondisi kasus positif Covid-19 di daerah yang bersangkutan. Selanjutnya, apakah model WFH itu berjalan efektif?

Mungkin, argumen prematurnya adalah kurang efektif. Mengapa demikian? Karena kondisi infrastruktur teknologi informasi dan kompetensi sumber daya manusia di dalam birokrasi pemerintahan kita yang belum memadai – terlebih produktivitas dari para aparatur.

Terhitung pada tahun 2020, jumlah ASN di seluruh Indonesia mencapai 4, 2 juta berdasarkan data Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Republik Indonesia (Kemenpan-RB). Diberlakukannya WFH bagi ASN ini seolah menjadi “warming up” bagi birokrasi dalam memanfaatkan teknologi informasi.

Hal ini tentu menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah yang tengah berusaha memasukkan teknologi informasi untuk reformasi birokrasi dalam rangka mewujudkan pemerintahan yang agile dan adaptif dalam berbagai macam kondisi. Menyambung hal tersebut, Pemerintah saat ini telah memberlakukan era new normal, yaitu suatu kondisi kebiasaan baru dengan tetap memperhatikan protokoler kesehatan untuk mengantisipasi penyebaran kasus Covid-19.

Lantas, pertanyaannya adalah bagaimana produktivitas ASN di era new normal? Untuk menjawab pertanyaan ini, kita perlu melihat kondisi latar belakang dan beberapa tantangan yang akan dihadapi oleh para aparatur.

Produktivitas ASN di Era New Normal

Selama masa WFH diakui atau tidak, terdapat banyak kelompok ASN yang kurang produktif dikarenakan oleh beberapa alasan yang telah disebutkan di atas. Selain itu, juga adanya jabatan yang tidak relevan dilakukan dengan WFH.

Maka dari itu, pada awal bulan Juni pemerintah secara tegas mulai memberlakukan era new normal bagi para ASN untuk bekerja secara work from office (WFO). Kemenpan-RB melalui Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan-RB) Tjahjo Kumolo mengeluarkan Surat Edaran No. 57 Tahun 2020.

Adapun substansinya adalah pertama jam kerja menyesuaikan dengan aturan dan standar kesehatan yang berlaku pada masa pandemi. Kedua, berisikan tentang kedisiplinan pegawai. Dan, ketiga, mempersiapkan sarana dan prasarana dalam tatanan new normal dengan memanfaatkan teknologi informasi.

Kebijakan ini tentu sangat dilematis karena pemerintah dihadapkan pada kondisi pandemi Covid-19 yang belum tahu kapan berakhir. Di sisi lain, jalannya birokrasi pemerintahan harus tetap berjalan sebagaimana mestinya – apalagi dengan jumlah kasus Covid-19 yang terus meningkat.

Standar baru new normal tentu akan berdampak pada produktivitas ASN. Mekanisme baru dalam bekerja baik secara WFO atau WFH sedikit banyak akan menghambat produktivitas kerja ASN.

Selain dituntut untuk menjadi pelayan publik, ASN juga perlu memperhatikan protokol kesehatan seperti jaga jarak (posisi kerja), perlengkapan kesehatan secara mandiri, menggunakan masker, cuci tangan, dan flexible working arrangements, serta analisis kinerja sesuai standar new normal.

Hal yang cukup sulit dirasakan oleh ASN terutama yang berhubungan langsung dengan layanan kepada masyarakat seperti administrasi kependudukan dan izin berusaha serta tenaga administratif lain. Jika beberapa pekerjaan lain bisa dilakukan melalui digital atau online, pelayanan seperti perekaman KTP Elektronik, pembayaran pajak ke samsat, pembuatan dan perpanjangan SIM (Surat Izin Mengemudi), dan pelayanan lain, tetap membutuhkan tatap muka.

Jika kita tinjau kembali, tidak semua Kementerian/Lembaga pusat maupun daerah siap menggunakan mekanisme kerja secara online baik untuk individu maupun tugas fungsi organisasi.  Dengan berbagai macam kondisi tersebut, tentu produktivitas dari ASN belum maksimal. Oleh karena itu, diperlukan strategi yang komprehensif menghadapi situasi di era new normal.

Dynamic Governance: Digitalisasi Adalah Kuncinya      

Studi tentang tata kelola pemerintahan tentu mengenal dengan konsep Dynamic Governance (Neo dan Chen, 2007). Sebuah paradigma yang menjelaskan bahwa pengelolaan pemerintahan harus mampu beradaptasi dengan ketidakpastian (uncertainty) dan perubahan (change).

Bentuk adaptasi tersebut dapat berbentuk sebuah inovasi dan pemanfaatan teknologi. Inovasi dan pemanfaatan teknologi merupakan bagian strategi untuk berpikir ke depan (forecasting) untuk mewujudkan pemerintahan yang efisien dan efektif.

Kondisi lingkungan yang dinamis perlu disikapi oleh ASN secara komprehensif dengan mengedepankan sifat agile dan adaptif. Oleh sebab itu, selama diberlakukannya masa WFH, para ASN dapat belajar secara langsung digitalisasi birokrasi agar tetap produktif.

Produktivitas yang terganggu dari sebagian besar ASN dan institusi publik menimbulkan pernyataan bahwa urgensi digitalisasi birokrasi sudah tidak bisa kita elakkan lagi sehingga pemerintahan yang dinamis adalah pemerintahan yang mampu beradaptasi dengan segala perubahan yang terjadi di masyarakat, sekalipun pada masa pandemi.

Dalam merespons pandemi Covid-19, birokrasi pemerintahan berbagai negara di dunia telah menerapkan digital (e-government) dan itu juga telah dilaksanakan sebagian besar institusi pemerintahan Indonesia. Akan tetapi, faktanya masih jauh panggang dari api mmeskipun usaha pemerintah dalam menciptakan smart government telah dimulai melalui dari sistem rekrutmen.

Sistem rekrutmen yang profesional diharapkan akan memperoleh sumber daya manusia yang terampil sebagai penggerak digitalisasi birokrasi pemerintahan di masa depan. Akan tetapi, hal itu belum cukup. Oleh karena itu, adanya pandemi Covid-19 – kemudian new normal – ini menjadi penguat bahwa digitalisasi birokrasi pemerintahan merupakan kewajiban yang harus dipersiapkan secara matang dari sekarang.

Tulisan milik Ali Roziqin, Dosen Ilmu Pemerintahan di Universitas Muhammadiyah Malang.

“Disclaimer: Opini adalah kiriman dari penulis. Isi opini adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis dan tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi PinterPolitik.com.”

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Exit mobile version