Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian dikabarkan telah menyetujui wacana pemekaran Provinsi Papua Selatan. Sementara, Wakil Presiden (Wapres) Ma’ruf Amin pernah menekankan akan pentingnya moratorium pemekaran daerah di tengah pembiayaan proyek-proyek strategis nasional.
Empat kabupaten, melalui kepala daerahnya, telah mendeklarasikan usulan pembentukan Provinsi Papua Selatan. Keempat kabupaten tersebut adalah Kabupaten Merauke, Kabupaten Asmat, Kabupaten Boven Digoel, dan Kabupaten Mappi.
Menurut Ketua Tim Pemekaran Provinsi Papua Selatan, yang sekaligus juga Wakil Bupati Asmat, Thomas Eppe Safanpo, menyebutkan, rencana pembentukan itu sudah menjadi aspirasi masyarakat sejak 2002 lalu. Sementara, deklarasi resmi oleh bupati dari keempat kabupaten dilakukan pada tahun 2007.
Usulan ini kembali menguat pada tahun 2021 ini mengingat bertepatan dengan habisnya masa UU Otsus yang berlaku selama 20 tahun. Artinya, dalam momen revisinya, usulan itu hendak dinaikkan kembali sebagai prioritas daerah dan juga agenda nasional setelah selama 14 tahun mandeg.
Momentum revisi tersebut dimanfaatkan untuk mencari jalan pintas mengenai usulan pembentukan provinsi baru. Selama ini, usulan terganjal ketentuan yang mewajibkan adanya persetujuan DPR Papua, Gubernur, dan Majelis Rakyat Papua (MRP).
Usulan tersebut merupakan satu diantara 314 usulan daerah otonomi baru (DOB) yang masuk ke meja Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri). Untuk level provinsi, terdapat 30 usulan DOB, dan beberapa diantaranya telah diusulkan untuk dilakukan pengkajian secara mendalam.
Provinsi-provinsi tersebut antara lain Provinsi Tapanuli, Provinsi Kepulauan Nias, Provinsi Pulau Sumbawa, Provinsi Bolaang Mongondow Raya, dan Provinsi Papua Selatan. Untuk Papua, usulan provinsi tak hanya datang dari Papua Selatan, melainkan juga usulan Provinsi Papua Tengah dan Provinsi Papua Barat Daya. Namun, kali ini lebih yang santer terdengar adalah usulan Provinsi Papua Selatan.
Hal tersebut tampak dari pernyataan Mendagri Tito Karnavian yang hendak merevisi UU Otsus Papua mengenai ketentuan jumlah minimal kabupaten/kota dalam suatu DOB Provinsi baru. Menurutnya, Provinsi Papua Selatan dapat hanya terdiri dari empat kabupaten yang didasarkan kekhususan Papua. Rencananya, Merauke akan menjadi ibu kota provinsi tersebut. Berdasarkan arahan Menko Polhukam, Mahfud MD, Tito akan membahas dan mempersiapkan Peraturan Pemerintah (PP) sampai batas waktu hingga 19 Oktober.
Yang menjadi persoalan adalah bahwa saat ini Indonesia sedang memberlakukan moratorium pemekaran daerah. Moratorium ini telah dimulai sejak 2009 lalu dengan berbagai macam pertimbangan.
Menurut tulisan Dian Ratna Sari, berjudul Menyoal Moratorium Daerah, yang dimuat dalam kolom Politik Lokal LIPI, alasan-alasan tersebut antara lain mengenai adanya ancaman disintegrasi bangsa, naiknya beban anggaran Pemerintah Pusat, DOB yang sudah dibentuk belum mampu melaksanakan pemerintahan dan pembangunan secara optimal, dan munculnya berbagai alternatif program dalam rangka peningkatan jangkauan pembangunan. Khusus untuk alasan kedua, tentu menjadi pertanyaan, apakah jika Tito Karnavian meloloskan usulan Provinsi Papua Selatan, keadaan provinsi tersebut akan lebih baik?
Saat ini, dua dari empat kabupaten yang mengusulkan pembentukan Provinsi Papua Selatan memiliki catatan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) kategori rendah, yaitu Kabupaten Asmat dengan skor 50,55 dan Kabupaten Mappi dengan skor 58,15 demikian menurut catatan BPS pada 2020. Sementara, Kabupaten Boven Digoel masuk dalam kategori sedang dan Kabupaten Merauke berkategori tinggi.
Memang, capaian kabupaten dan kota di Provinsi Papua saat ini tak ada yang mencapai level sangat tinggi, yaitu minimal skor harus 80. Sekadar perbandingan saja, pada tahun yang sama, capaian Provinsi Papua adalah 60,44 dan capaian nasional adalah 71,54. Melihat skor-skor tersebut, rasanya cukup rasional jika usulan pengajuan Provinsi Papua Selatan demi kemajuan daerah-daerah itu sendiri.
Seperti yang kita tahu, pengukuran IPM sendiri didasarkan kepada tiga parameter, yaitu kesehatan, pendidikan, dan ekonomi dengan tujuan untuk mengukur keberhasilan suatu wilayah membangun kualitas manusianya. IPM juga dapat menjadi penentu level pembangunan suatu wilayah. Indonesia menggunakan IPM sebagai acuan strategis untuk mengukur kinerja Pemerintah.
Jika kita menggunakan parameter dan kategori IPM, artinya, kinerja Pemerintah Kabupaten Asmat dan Kabupaten Mappi perlu menjadi sorotan serius. Pasalnya, berdasarkan evaluasi dalam tulisan Dian Ratna Sari di atas, bukan tidak mungkin ada banyak sekali kendala yang membuat Provinsi Papua Selatan sulit untuk menjadi daerah mandiri.
Pemerintah Pusat, seperti yang diungkapkan Wakil Presiden Ma’ruf Amin, mengungkapkan moratorium pemekaran daerah masih diberlakukan terkait adanya pembiayaan prioritas-prioritas pembangunan nasional yang bersifat strategis. Apalagi, adanya kebijakan fiskal yang sedang difokuskan untuk penanganan Covid-19 dan pemulihan ekonomi nasional.
Menurut laporan pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan, sebagian besar DOB yang dibentuk dari tahun 1999 sampai 2004 masih menggantungkan sebagian besar keuangannya dengan APBN. Pendapatan Asli Daerah (PAD) seringkali masih di bawah dana yang ditransfer oleh Pemerintah Pusat.
Ketimpangan itu tidak aneh jika kita merujuk pada pendapat Tuerah dalam tulisan Abdullah, yang menyebut bahwa peningkatan transfer dana pemerintah pusat ke daerah seringkali menjadi hidden goal dalam pengusulan DOB. Sebab, setiap daerah, termasuk daerah pemekaran baru, memiliki hak untuk mendapatkan alokasi dana perimbangan, baik dalam bentuk Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Bagi Hasil (DBH), dan Dana Alokasi Khusus (DAK).
Kajian BPK pada 2009 mengungkapkan bahwa penerimaan transfer dari Pemerintah Pusat, banyak diarahkan untuk pembangunan fisik sarana dan prasarana pemerintahan seperti rumah dinas dan kantor pemerintahan. Jelas ini menyimpang dari tujuan awal pemekaran adalah demi peningkatan efisiensi dan efektivitas pemerintahan, peningkatan kualitas pelayanan publik, dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Bukan tanpa alasan, lebarnya span of control dari Pemerintah Pusat membuat pengawasan terhadap daerah menjadi sangat lemah. Meskipun amanat otonomi daerah adalah memberikan keleluasaan kepada daerah untuk membangun daerahnya masing-masing, bukan berarti Pemerintah Pusat tak memiliki tanggung jawab.
Dalam Pasal 18 UUD 1945 disebutkan bahwa NKRI dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi dibagi atas kabupaten dan kota dimaknai bahwa hubungan Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota adalah kesatuan hirarki. Pemerintah Daerah tetap saja memiliki kewenangan yang otonom dan mandiri dengan pengawasan dari Pemerintah Pusat.
Selain itu, menurut tulisan Rita Helbra Tenrini, pemekaran wilayah seringkali dijadikan bisnis dari kelompok elit politik di daerah yang sekadar menginginkan jabatan dan posisi di pemerintahan. Peneliti senior LIPI, Siti Zuhro, mengungkapkan alasan-alasan politis lebih dominan ketimbang alasan lain dalam pemekaran daerah. Keuntungan politik dan ekonomi menjadi motif utama yang ingin diraih. Hal tersebut yang membuat mayoritas daerah otonom baru dinilai gagal.
Kembali kepada Provinsi Papua Selatan, apakah ketimpangan pembangunan kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan masyarakat dapat diatasi dengan memisahkan diri dari Provinsi Papua? Tentu, perlu kajian yang mendalam dengan parameter-parameter yang jelas. Alasan Ma’ruf Amin tentu bisa diterima terkait dengan kondisi Indonesia yang sedang dalam masa pandemi ini.
Sebagai anak buah, apakah Tito akan menuruti pimpinannya? Atau tetap kekeh memperjuangkan usulan empat bupati di wilayah Papua Selatan itu? Mampukah Tito dengan jeli melihat kepentingan publik ataupun kepentingan politik di dalamnya? Segalanya yang lebih penting adalah kesejahteraan masyarakat di Papua Selatan.
Opini adalah kiriman dari penulis. Isi opini adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis dan tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi PinterPolitik.com.
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.