Sinetron di tengah pandemi Covid-19 semakin menjadi tontonan yang digemari. Meski begitu, dalam kisah banyak sinetron, konstruksi bias gender kerap mengisi dan memengaruhi benak penonton.
PinterPolitik.com
Paling tidak, suguhan tayangan yang terasa sangat mencolok dan menjadi ciri khas dari salah satu stasiun televisi Indonesia – khususnya Indosiar – berkelindan pada dua hal, yaitu dikenal dengan acara dangdut dan sinetron rumah tangga yang menampilkan berbagai macam alur cerita atau kisah tentang kehidupan pasangan suami istri dalam membina rumah tangga.
Memasuki masa pandemi Covid-19, acara hiburan musik dangdut tidak banyak menghiasi layar kaca Indosiar dikarenakan tidak memungkinkan untuk mengumpulkan banyak penonton mengingat protokol kesehatan Covid-19 melarang berbagai kegiatan yang menimbulkan keramaian. Apalagi, acara hiburan musik dangdut biasanya dilakukan secara live.
Implikasinya, di masa pandemi ini, layar kaca Indosiar boleh dikatakan secara mayoritas dipenuhi oleh tayangan sinetron yang sepertinya membidik segmentasi ibu-ibu rumah tangga. Selain lebih aman terkait dengan problem pandemi, sinetron tampaknya telah mendapat tempat di hati masyarakat, terutama kalangan ibu-ibu. Tidak heran jika selama satu bulan puasa penuh, berbagai episode sinetron kehidupan suami-istri ditayangkan selama seharian dari pagi, siang hingga malam.
Alur Sinetron
Sinetron seperti yang ditayangkan Indosiar seolah memiliki identitas tersendiri, yakni mengambil alur kehidupan rumah tangga yang pelik dan rumit. Bahkan, sinetron ini berusaha mengoyak perasaan dan emosi penonton lewat sejumlah alur cerita yang menggambarkan pengkhianatan seorang suami, perselingkuhan, kekerasan rumah tangga, dan berbagai penderitaan seorang istri dalam menjalani biduk rumah tangga.
Meski demikian, betapa pun rumitnya permasalahan rumah tangga, selalu diakhiri dengan happy ending. Pasangan suami istri menemukan kembali kebahagiaan setelah diterpa ribuan masalah. Meskipun kebahagiaan tersebut harus dibayar oleh sejumlah pengorbanan seorang istri atas perlakuan tidak baik seorang suami.
Tampaknya, terdapat alur dan angle cerita yang khas dan ditampilkan secara berulang yaitu relasi yang tidak seimbang antara suami dan istri – di mana suami digambarkan selalu memiliki posisi yang lebih dominan dan berhak melakukan apapun. Sementara, seorang istri selalu digambarkan berada pada posisi yang lemah, tidak berdaya menandingi dominasi suami, dan bersikap legowo atas segala perlakuan suami yang tidak menyenangkan dengan alasan demi mempertahankan rumah tangga dan menjaga masa depan seorang anak.
Tidak heran, jika kemudian pada banyak episode, suami selalu diceritakan sebagai pihak pertama yang memunculkan polemik dalam rumah tangga. Misalnya, melakukan perselingkuhan dengan berbagai alasan seperti tidak puas dengan penampilan istri, terjebak cinta terlarang dengan seorang mantan, atau menjalin cinta lokasi di tempat kerja.
Sementara, seorang istri selalu diposisikan sebagai seseorang yang lemah dengan berperan sebagai pihak yang menjadi korban atas perlakuan suami yang semena-mena. Misalnya, memilih untuk tetap setia meskipun berkali-kali dikhianati suami, ikhlas diperlakukan secara kasar oleh suami asal tidak diceraikan dan bersedia menjadi ibu rumah tangga yang hakiki untuk melayani suami meskipun sang suami tidak menjalankan perannya sebagai kepala rumah tangga yang bertanggung jawab.
Meskipun relasi suami istri yang digambarkan selalu tidak seimbang, tetapi pada akhir cerita selalu di tutup dengan cerita manis – di mana suami dengan segala kesalahan yang pernah diperbuat kepada seorang istri, ketika sudah tidak berdaya, cukup dengan menunjukkan sikap menyesal dan meminta maaf, maka istri akan memaafkan dan mereka mulai membuka lembaran kehidupan yang baru.
Walaupun alur cerita dapat dengan mudah ditebak dan terkesan monoton, tetapi alur cerita yang mampu mengoyak perasaan dan emosi para pemirsa, khususnya ibu-ibu, membuat sinetron masih memiliki tempat di hati pemirsa. Buktinya, sinetron ini masih tetap mengudara sampai saat ini dan memiliki iklan yang tidak sedikit.
Bias Gender
Terlepas dari alur sinetron yang ditawarkan kepada pemirsanya, saya melihat bahwa sinetron tersebut sangat bias gender dan secara tidak sadar telah mengonstruksi makna gender yang bias tersebut di benak para penonton. Betapa tidak, relasi suami dan istri yang tidak seimbang dengan menempatkan suami di posisi yang dominan sedang istri di posisi subordinat adalah bentuk bias gender yang paling nyata.
Gender tidak diartikan sebagai perbedaan jenis kelamin, tetapi menekankan pada perbedaan peran antara laki-laki dan perempuan dalam konteks sosial. Suami yang digambarkan dalam sinetron tersebut menjelaskan bahwa laki-laki lebih berkuasa ketimbang istri yang posisi idealnya dianggap hanya sebatas urusan domestik rumah tangga (kasur, dapur, dan sumur).
Hal ini seolah dimaklumi karena dianggap sesuai dengan karakter kultur di Indonesia yang masih kental dengan nuansa patriarki – di mana peran laki-laki harus selalu lebih dominan dan superpower dibandingkan perempuan. Dan, tampaknya, budaya patriarki ini mendapatkan penguatan lewat tayangan sinetron Indosiar.
Padahal, dalam semangat tatanan demokrasi menghendaki hadirnya kesetaraan gender yang terejawantahkan lewat terbukanya peluang dan kesempatan yang sama antara laki-laki dan perempuan untuk mengaktualisasikan diri mereka dalam kehidupan sosial, ekonomi dan politik. Artinya, perempuan tidak harus melulu berkelindan pada urusan domestik rumah tangga, ketika keadaan memaksa perempuan untuk berkarier, bekerja, mencari nafkah atau terjun ke dunia politik sekalipun, maka hal tersebut menjadi sebuah keniscayaan bukan anomali.
Kesetaraan gender telah menjadi agenda dunia internasional yang tertuang dalam Sustainability Development Goals(SDGs) yang salah satu poin intinya adalah menciptakan hubungan yang setara antara laki-laki dan perempuan. Dengan tujuan, memberdayakan perempuan agar keluar problem keterpinggiran, marginalisasi, dan subordinasi yang masih dialami oleh perempuan. Sebab selama ini, marginalisasi terhadap perempuan berimplikasinya pada rendahnya harga diri dan martabat perempuan di mata publik.
Konsep kesetaraan gender tidak bermaksud merampas atau meniadakan posisi laki-laki, tetapi yang lebih utama adalah baik laki-laki dan perempuan memiliki peluang yang sama untuk bertindak dan berbuat sesuatu.
Sinetron yang ditayangkan Indosiar jelas telah mengonstruksi konsep gender menjadi bias. Hal ini seolah memperkuat budaya patriarki yang telah mengakar kuat dalam kultur masyarakat di Indonesia. Kekhawatiran pun tidak bisa dihindari. Pemirsa yang sering menonton dikhawatirkan memiliki pemahaman yang keliru terkait konsep gender lewat pemahaman yang mereka saksikan dari sinetron tersebut. Sebenarnya, tidak hanya sinetron di Indosiar, mayoritas tayangan di televisi saat ini belum menunjukkan alur cerita yang menggambarkan kesetaraan gender yang sesungguhnya.
Saya khawatir publik tidak memiliki imajinasi yang utuh bagaimana konsep kesetaraan gender seharusnya dipahami sebab proses internalisasi nilai-nilai yang didapatkan dari media dalam hal ini televisi kurang memberi edukasi kepada publik bagaimana seharusnya posisi dan peran laki-laki dan perempuan yang ideal sesuai dengan semangat kesetaraan dan keadilan gender.
Tulisan milik Mahpudin, Mahasiswa Jurusan Politik Pemerintahan UGM.
“Disclaimer: Opini adalah kiriman dari penulis. Isi opini adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis dan tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi PinterPolitik.com.”
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.