Pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) No. 1 Tahun 2020 guna mengatasi dampak ekonomi akibat pandemi virus Corona (Covid-19). Apa signifikansi dan urgensi dari Perppu Corona ini?
PinterPolitik.com
Beberapa pekan ini, kita dikagetkan dengan sejumlah peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia termasuk Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub), Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes), sampai yang paling kontroversial, Perppu No. 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi COVID-19 dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan.
Belum lagi, aturan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) yang menjadi suatu tinjauan yuridis berupa peraturan ditengah-tengah pandemi Corona. Alhasil, menimbulkan pertanyaan besar, seberapa besar urgensi dan kepentingan bagi masyarakat Indonesia termasuk faktor sosial dan ekonomi yang didera hampir seluruh warga negara Indonesia yang terdampak oleh wabah Corona?
Oleh karena itu, kebijakan pemerintah dirasa kurang tepat dengan adanya Perppu No. 1 Tahun 2020. Mengapa dikatakan demikian?. Banyak pihak menilai bahwa pembahasan oleh lembaga eksekutif – dalam hal ini presiden dan para menteri – terkesan terburu-buru dalam menanggapi fenomena yang ada.
Di antaranya, tercantum pasal-pasal karet yang rentan kepada penyimpangan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), terutama imunitas terhadap kasus korupsi. Jika hal ini terjadi, legacy baik Presiden Joko Widodo (Jokowi) di periode kepemimpinan kedua ini terancam gagal oleh adanya Perppu No. 1 Tahun 2020.
Menilik dari aspek hukum, pasal 2 dilihat sebagaimana adanya pemangkasan fungsi DPR sebab pemerintah diberikan wewenang untuk menetapkan defisit anggaran keuangan sampai tahun 2023. Dalam artian, pemerintah boleh menutup pembiayaan utang dengan utang luar negeri melampaui 3% dari total PDB rentang waktu setahun.
Jika pemerintah dengan jelas menghadapi krisis kembali, maka pembiayaan melebih 3% berhak ditutup dan batas maksimal tidak disebutkan. Kebijakan ini akan dilaksanakan tanpa persetujuan DPR terlebih dahulu serta berpotensi melanggar pasal 20A ayat 1 dan pasal 23 UUD 1945.
Pemangkasan juga terjadi di pasal 3 terkait fungsi anggaran DPRD. Dengan adanya refocusing anggaran oleh pemerintah daerah tanpa persetujuan DPRD, hal ini bertentangan dengan UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Pasal 4 sampai pasal 10 juga diselundupkan seperti yang tercantum dalam ketentuan Omnibus Law melalui RUU Perpajakan yang masih menjadi perdebatan publik. Pasal yang paling menonjol adalah pasal 27 ayat 1, ayat 2, dan ayat 3 misalnya berkaitan dengan prinsip hukum.
Dijelaskan pada ayat 1, biaya keuangan negara yang dikeluarkan adalah biaya atas kebijakan dan bukan kerugian negara. Lebih lanjut, ayat 2 dimana semua pejabat yang memiliki kewenangan di lingkup keuangan negara baik itu LPS, OJK, BI, KSSK, dan pejabat lainnya memiliki imunitas secara hukum.
Kemudian, ayat 3 mengatur semua tindakan atas keputusan yang diambil untuk kebijakan dalam keuangan negara bukan merupakan obyek gugatan di PTUN. Pasal-pasal itu berpotensi diselewengkan oleh pejabat bersangkutan dan menciderai prinsip-prinsip good governance.
Belum lagi, pasal itu bertentangan dengan semangat anti-korupsi dan hak asasi manusia. Prinsip HAM yang mengatur kedudukan di dalam hukum dan pemerintahan di mana setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil sertta perlakuan yang sama dihadapan hukum tertuang di pasal 27 dan pasal 28D ayat 1 UUD 1945. Karena itu, jelas Perppu di sini sangat bertentangan dengan UUD 1945.
Tentu, pasal-pasal yang disebutkan dapat merintangi penyidikan atas kasus dana APBN. Mencermati substansi pasal diatas, perppu ini rentan diakomodasikan kepentingan politis semata.
Semestinya, Perppu ditujukan sepenuhnya untuk penanganan wabah Corona. Alih-alih, Perppu akan dianggap sebagai justifikasi potensi penyimpangan hukum untuk golongan tertentu di sektor perekonomian.
Jika merinci dana yang dikeluarkan oleh pemerintah, ada Rp 405,1 triliun yang dikucurkan untuk mengatasi wabah besar Corona. Implikasi ini juga dirasa tidak berkeadilan bagi pegawai perusahaan yang dapat tidak dapat menggunakan anggaran atas insentif pajak jika pegawai di-PHK.
Mengacu juga kepada dana abadi, yaitu LPDP dan dana yang dikuasai negara, dana haji serta BLU yang dikeluarkan untuk menutup kekurangan stimulus korporasi, hal ini tentu akan menimbulkan moral hazard pada krisis berikutnya.
Padahal, dana pemindahan ibukota baru, dana pembangunan infrastruktur, pembubaran lembaga negara (BPIP) tidak dilakukan. Permasalahan lebih besar adalah dapat terjadinya kasus Century atau BLBI jilid kedua dikarenakan kebijakan terkait Perppu tidak dapat dilakukan penuntutan bagi pejabat publik.
Lebih jauh lagi, Perppu ini juga tidak mengatur masa berlaku apakah bersifat permanen atau insidentil. Berdasarkan pengaturan UUD 1945, syarat dikeluarkannya Perppu juga tidak diakibatkan karena kekosongan hukum atau keadaan mendesak. Perppu itu mengatur tentang keuangan dan anggaran negara.
Sementara, anggaran negara sudah ditetapkan dalam APBN. UU mengenai APBN tidak boleh menjadi Perppu. Hal ini akan memicu multi-tafsir bahkan sebenarnya hanya diperbolehkan direvisi jika melalui APBN Perubahan.
Selain itu, Perppu juga terancam batal bilamana DPR tidak menyetujui dalam sidang pertama karena tujuan dan maksud Perppu hanya dibentuk dalam jangka waktu sementara (ad hoc). Adapun bersifat sementara, perppu ini telah banyak menentukan arah kebijakan yang dirasa tidak mempunyai esensi keadilan di mata hukum.
Perppu ini seakan mempunyai imunitas berlebihan secara hukum dengan tidak dapat menjerat pelaku dari kebijakan keuangan negara yang berpotensi adanya penyimpangan melalui mekanisme pencurian anggaran. Menyoal hal tersebut, perlu diadakannya pengawasan dari masyarakat dengan dikeluarkannya anggaran secara transparan dan dapat diperoleh dengan mudah diketahui oleh publik. Karena itu, potensi pelanggaran hukum dapat dilaporkan jika terjadi praktik-praktik kerugian negara.
Mencermati uraian diatas, disimpulkan bahwa Perppu No 1 Tahun 2020 merupakan peraturan yang menimbulkan kontradiksi kepentingan dan bertentangan dengan UUD 1945 serta asas-asas hukum yang ada. Akan lebih berbaya, jika DPR menyetujui Perppu menjadi sebuah Undang-Undang.
Selain itu, Perppu ini ditakutkan akan menimbulkan kontrol pemerintahan yang tidak dapat disentuh dan membiaskan kewenangan lembaga yudikatif. Tentu lebih masif, kewenangan yang telah diberikan pejabat berwenang seperti LPS, OJK, BI, KSSK serta pejabat berwenang lainnya untuk mengambil tindakan tanpa adanya pengawasan dan persetujuan dari DPR. Tindakan sejumlah pejabat yang berwenang juga tidak dapat dilakukan penuntutan baik secara pidana, perdata, maupun TUN.
Perppu ini jika diduga memunculkan oknum-oknum yang akan merusak dari adanya kebijakan ini dan memanfaatkan anggaran keuangan negara untuk melakukan penyimpangan secara hukum. Perppu ini jelas merugikan DPR selaku lembaga legislatif.
Terlebih, terbitnya Perppu memunculkan sejumlah opini untuk digugat secara hukum melalui mekanisme judicial review di Mahkamah Konstitusi (MK). Jika memang terjadi, maka masyarakat Indonesia dapat menyelamatkan negara dari oknum politik yang akan memanfaatkan pandemi Corona untuk memperlebar kekuasaan serta “mengamankan diri” dari penyalahgunaan kekuasaan yang dapat merugikan negara dalam jumlah besar.
Oleh karena itu, uji materil di MK menjadi solusi terbaik untuk menguji sejauh mana urgensi Perppu bagi penanganan wabah corona terutama demi menjaga Indonesia.
Tulisan milik Ricky Donny Lamhot Marpaung, Alumnus Fakultas Hukum Universitas Trisakti dan Pemerhati Hukum Tata Negara.
“Disclaimer: Opini adalah kiriman dari penulis. Isi opini adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis dan tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi PinterPolitik.com.”
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.