Site icon PinterPolitik.com

Sejak Trump, Konservatisme Kuasai Dunia?

Sejak Trump Konservatisme Kuasai Dunia

Presiden AS Donald Trump (tengah) berdoa bersama para pendukungnya sebelum berbicara pada sebuah kegiatan kampanye pada Januari 2020 lalu. (Foto: Getty Images)

Berakhirnya Perang Dunia II pada mulanya dianggap sebagai turning point bagi kemunculan nilai-nilai globalis. Namun, kelompok dan nilai konservatif kembali bangkit di berbagai belahan dunia.


PinterPolitik.com

Saat dunia menyangka bahwa globalisasi akan menjadi ideologi pamungkas dengan pemahaman globalismenya, konservatisme di beberapa belahan dunia justru bangkit. Pasca Perang Dunia II dan dibentuknya PBB sebagai penjaga kedamaian, negara beramai-ramai membentuk perhimpunan dan organisasi internaisonal, baik itu organisasi yang didasarkan pada wilayah (regional) maupun berdasar tingkatan ekonomi.

Muncul Association of South East Asian Nations (ASEAN), Uni Eropa (UE), Liga Arab, Uni Afrika, dan sebagainya yang menjadi fondasi untuk membentuk kerja sama dan melunturkan pagar-pagar pembatas antar anggotanya. Indonesia contohnya, membebaskan visa bagi negara-negara anggota ASEAN. Sebaliknya, kita pun bebas untuk mengunjungi negara ASEAN lain tanpa visa.

Itu belum termasuk negara-negara lain yang bekerja sama dengan Indonesia secara bilateral. Hingga kini, sebanyak 77 negara di dunia membebaskan warga Indonesia untuk mengunjungi negaranya tanpa visa dengan batas waktu yang berbeda-beda.

Globalisme yang melanda di seluruh dunia tidak saja terjadi dalam bidang politik, melainkan juga ekonomi, sosial, hingga budaya. Itulah alasan banyak ahli beranggapan bahwa negara-negara di dunia ini pada akhirnya kelak akan berada pada satu kebijakan politik, ekonomi, dan sosial budaya yang sama.

Pendukung ideologi globalisme ini sering disebut dengan globalis. Cambridge Dictionary mendefenisikan “globalist” sebagai seseorang yang percaya bahwa kebijakan luar negeri dan ekonomi harus dirancang dengan cara internasional dibanding dengan memilih kebijakan yang cocok untuk masing-masing negara.

Awal Kebangkitan Kaum Konservatif

Namun, cita-cita para globalis ini mendapat respons yang cukup kuat dari pihak konservatif. Nasionalis – begitu para konservatif menyebut diri mereka – menganggap para globalis (dan liberal) ini sebagai ancaman bagi negara.

Konservatisme – meskipun secara sejarah merupakan nilai dasar terbentuknya sebuah negara – mulai menunjukkan perlawanannya terhadap nilai-nilai liberal. Pada tahun 1980-an, Ronald Reagan – Presiden Amerika Serikat (AS) dari Partai Republik – memperkuat partainya dengan kebijakan pemotongan pajak, memperkuat militer AS dan, yang paling penting, meningkatkan ikatan keluarga dengan nilai konservatif Judeo-Kristen. Ia melihat nilai agama Judeo-Kristen merupakan alasan kemajuan peradaban Eropa serta menjadi fondasi utama terbentuknya AS sendiri.

Kebijakan ini merupakan perlawanan dari kebijakan The New Deal yang digagas oleh Franklin D. Roosevelt yang dianggap terlalu liberal dan merugikan korporasi-korporasi besar. Di AS sendiri, terjadi dikotomi antara Partai Demokrat dan Partai Republik. Kedua partai tersebut merupakan gambaran pertarungan antara kelompok liberal dan konservatif.

Hal ini terlihat dari perdebatan mengenai aborsi, kontrol senjata api, kebijakan imigrasi, hingga kelompok LGBTQ (lesbian, gay, biseksual, transgender, queer) yang terjadi antara Demokrat dan Republik. Terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden AS ke-45 bolah jadi menjadi titik kebangkitan kaum konservatif di AS.

Dalam kampanyenya, Trump secara tegas menjanjikan akan memperketat imigrasi. Build The Wall menjadi jargon tersendiri.

Ia melihat imigran gelap sebagai masalah utama AS – sejalan dengan pandangan kaum nasionalis-konservatif. Tentu saja itu justru berlawanan dengan cita-cita globalis yang hendak menurunkan batas-batas antar negara dunia.

Namun, kemenangan Trump menjadi inspirasi bagi beberapa pemimpin dunia yang melihat ideologi globalisme sebagai ancaman bagi negara mereka. Belum lama ini, Britania Raya (atau Inggris) secara resmi keluar dari Uni Eropa.

Boris Johnson – Perdana Menteri Inggris terpilih dari Partai Konservatif – mendukung penuh usaha Brexit ini. Ia melihat terlalu lunaknya UE terhadap imigran menyebabkan gelombang imigran yang besar dari negara-negara Timur Tengah dan Afrika.

Multikulturalisme dianggap merusak nilai-nilai konservatif negara. London misalnya, dinilai tidak terasa seperti Inggris lagi dengan banyaknya imigran asing. Belum lagi, kejahatan dinilai justru meningkat setelah kedatangan para imigran tersebut.

Hal tersebut memicu kesadaran konservatif di masyarakat – bahwa imigran adalah sumber utama masalah yang mereka hadapi, mulai dari, kemiskinan, pengangguran, hingga kejahatan.  Partai-partai konservatif di berbagai negara dunia – sama seperti Inggris dan AS – mulai kembali ke suara mayoritas parlemen. Polandia dan Italia misalnya, kini dikuasai oleh kelompok konservatif tersebut.

Konservatisme di Indonesia

Indonesia, sebagai salah satu negara yang dianggap paling religius memang bisa disebut masih sangat konservatif. Perdebatan mengenai aborsi, LGBTQ, maupun imigrasi masih didominasi oleh kaum konservatif.

Pada banyak bidang kehidupan, tidak terlalu ada perdebatan panas antara kaum konservatif dan liberal karena memang kaum liberal sendiri yang belum dominan di Indonesia. Namun hal tersebut tidak menutup Indonesia dari kebangkitan konservatisme.

Kita dapat melihatnya dari beberapa peristiwa belakangan. Mulai dari penolakan Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta yang didasari oleh pemahaman agama, penolakan terhadap LBGTQ, hingga isu tenaga kerja asing.

Pertama, munculnya konservatisme agama dalam politik. Partai-partai politik berasaskan agama – sekalipun tidak menjadi pemenang Pemilu –masih bisa menancapkan pengaruhnya pada konstelasi politik nasional. Pemilihan K.H. Ma’ruf Amin sebagai calon wakil presiden oleh Presiden Joko Widodo (Jokowi) adalah salah satu tandanya.

Tanda lain adalah mulai bermunculannya peraturan daerah (Perda) yang berlandaskan pada nilai-nilai agama. Faktanya, tidak semua Perda tersebut diusulkan oleh partai-partai yang berasaskan pada agama. Bahkan, tercatat justru Golkar dan PDIP sebagai partai yang paling banyak mengusulkan Perda berdasar agama.

Dalam tulisan milik Michael Buehler yang berjudul “Subnational Islamization through Secular Parties,” dijelaskan bahwa terdapat 169 Perda berbasis hukum syariah Islam sepanjang tahun 1999 hingga 2012.

Dari 169 di antaranya, hanya dua Perda saja yang digagas oleh kepala daerah yang berasal dari kader Partai Islam. Sebanyak 43,8% justru dihasilkan oleh daerah yang DPRD-nya dikuasai oleh Partai Golkar dan 25% oleh daerah yang dikuasai PDIP.

Kedua, meluapnya konservatisme agama dalam menyikapi LGBTQ. Warga Indonesia yang dinilai religius secara umum tidak memberi tempat kepada komunitas LGBTQ. Apalagi, beberapa agama tegas menolak kelompok ini sebagai sesuatu yang alamiah.

Berbeda dengan Indoneisia, masyarakat di AS, negara-negara Eropa, dan Australia, perdebatan mengenai LBGTQ berlangsung secara sehat. Bahkan, sebagian dari kaum konservatif sendiri juga menerima kehadiran kelompok ini. Beberapa negara justru melegalkan pernikahan sesama jenis berdasarkan hasil referendum (voting) masyarakat.

Melihat masih sedikitnya kaum liberal di Indonesia, kelompok LGBTQ bisa jadi masih akan terus berhadapan dengan nilai-nilai konservatif masyarakat yang sudah mengakar dengan kuat tersebut.

Ketiga, adanya konservatisme dan nasionalisme dalam menanggapi kebijakan imigrasi. Bukan termasuk dalam kategori negara maju tidak menjadikan Indonesia tujuan para imigran. Oleh karena itu, Indonesia tidak menghadapi permasalahan imigrasi seperti negara-negara seperti UE, AS, dan Australia.

Namun, terminologi put nation first dapat kita lihat saat menghadapi permasalahan tenaga kerja asing yang membludak. Isu tenaga kerja asing bahkan mendapat tempat tersendiri dalam perdebatan Pemilu 2019 kemarin.

Masih tingginya angka pengangguran dianggap sebagai sebuah ironi dengan masuknya tenaga kerja dari luar. Dalam hal ini, masyarakat kita tak jauh berbeda dengan sikap dan kebijakan Presiden AS Trump. Tenaga kerja asing dari Meksiko – khususnya imigran gelap yang secara ilegal melintasi perbatasan dianggap Trump sebagai sebab utama pelemahan ekonomi AS.

Masyarakat AS yang beranggapan sama dengan Trump tentu saja kecewa dengan kebijakan Partai Demokrat era Presiden Barack Obama yang dianggap terlalu liberal dan globalis serta longgar terhadap imigrasi.

Ketika para globalis meletakkan dasar humanisme sebagai alasan siapa pun dapat tinggal di manapun sesuai keinginan di bawah satu kewenangan yang sama, kaum nasionalis-konservatif merespons bahwa dunia yang damai akan dicapai apabila setiap negara masing-masing memagari pagar rumah mereka dan menentukan sendiri kebijakan apapun yang dianggap cocok oleh negaranya.

Tulisan milik Hilman Gufron, mahasiswa Pascasarjana Pendidikan Kewarganegaraan di Universitas Pendidikan Indonesia.

“Disclaimer: Opini adalah kiriman dari penulis. Isi opini adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis dan tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi PinterPolitik.com.”

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Exit mobile version