Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merupakan lembaga yang krusial dalam melawan korupsi. Namun, semenjak UU KPK direvisi, lembaga antirasuah tersebut kehilangan taring yang tajam.
PinterPolitik.com
Korupsi merupakan kejahatan luar biasa yang dapat merugikan keuangan Negara dan dapat berdampak pada terhambatnya kesejahteraan masyarakat. Dengan korupsi yang sudah dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa, maka dibutuhkan penanggulangan atau pemberantasan korupsi yang luar biasa pula.
Terdapat komitmen dari berbagai Negara untuk dapat mengatasi kejahatan korupsi yang begitu kompleks dewasa ini, ada negara yang hanya menggunakan produk undang-undang untuk memberantas korupsi seperti di Mongolia dan terdapat pula Negara yang membentuk lembaga khusus pemberantasan korupsi sekaligus membentuk produk hukum untuk menanggulangi korupsi, seperti Indonesia, Singapura, Hongkong, dan Negara lainya.
Untuk Indonesia, sebenarnya lembaga antikorupsi sudah dibentuk sejak era Orde Lama hal itu dapat ditandai dengan munculnya lembaga-lembaga anti korupsi seperti Badan Koordinasi Penilik Harta Benda (1957), Badan Pengawas Kegiatan Aparatur Negara (1959), Panitia Retooling Aparatur Negara (1960), Operasi Budi (1963), Komando Retooling Aparatur Revolusi (1964).
Di era Orde Baru terdapat lembaga anti korupsi seperti, Tim Pemberantasan Korupsi (1967), Operasi Penertiban (1977), Tim Pemberantasan Korupsi (1982), dan juga lembaga anti korupsi. Di era reformasi seperti Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (2000), Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (2002), Tim Koordinasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (2005). Hingga saaat ini KPK yang masih bertahan untuk melakukan agenda-agenda pemberantasan korupsi.
Politik hukum pembentukan KPK dimulai dengan adanya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK. Setelah beberapa tahun berlaku, resmi pada bulan September 2019 Undang-Undang 30 Tahun 2002 direvisi menjadi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang KPK.
Terdapat beberapa hal yang menjadi kontroversi dalam rumusan Undang-Undang KPK yang baru. Terhitung munculnya persoalan didalamnya terkait dengan kedudukan KPK yang berada dalam rumpun eksekutif dan keberadaan Dewan Pengawas yang dipilih oleh Presiden sebagai ancaman bagi independensi KPK.
Pasca Revisi Undang-Undang KPK
Setelah beberapa bulan berlaku sejak disahkan pada tahun 2019, terdapat budaya baru dalam diri KPK. Kita begitu minim melihat atau mendengar pemberitaan di beberapa media terkait pelaksaan fungsi penindakan yaitu Operasi Tangkap Tangan (OTT), tercatat begitu sedikitnya OTT yang dilakukan oleh KPK pasca aturannya direvisi. Hal ini menjadi tanda tanya besar apakah ini merupakan keberhasilan dibidang pencegahan atau malah justru KPK sudah tidak bertaring lagi dibidang penindakan.
Kasus terbaru yaitu OTT yang dilakukan penyidik KPK terhadap pejabat di Universitas Negeri Jakarta. Kasus itu terkait adanya dugaan dari pihak Rektorat yang berinisiatif memberikan tunjangan hari raya kepada pejabat di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Permasalahan muncul ketika KPK justru menyerahkan perkara ini kepada Kepolisian Republik Indonesia.
Padahal, sejatinya menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme Pimpinan Perguruan Tingi Negeri merupakan pejabat Negara. Berdasarkan hal tersebut maka KPK seharusnya yang berperan untuk menangani perkara ini.
Kasus berikutnya yang begitu menyita perhatian publik yaitu korupsi yang dilakukan oleh salah satu Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) yaitu Wahyu Setiawan. Kasus tersebut terkait suap yang diduga dilakukan oleh caleg PDIP yaitu Harun Masiku kepada Wahyu Setiawan mengenai pergantian antar waktu.
Kasus tersebut juga diduga melibatkan salah satu pimpinan dari partai PDIP. Pasca undang-undang KPK direvisi seolah KPK kesulitan dalam memberantas korupsi di negeri ini. Hal itu dapat dilihat dari Harun Masiku yang menjadi buronan hingga beberapa bulan ini belum ditemukan keberadaannya.
Padahal, kalau kita melihat KPK memiliki berbagai instrumen yang cukup canggih untuk melakukan penangkapan terduga korupsi. Selain dua kasus tersebut, terdapat beberapa penghentian penyelidikan oleh KPK. Padahal sebelumnya KPK tidak pernah mengumumkan penghentian penyelidikan.
Kalau kita lihat sejatinya beberapa perkara tersebut masih memungkinkan dilanjutkan pada tahap penyidikan, jika ditemukan bukti tambahan baru dikemudian hari. Beberapa kejadian pasca direvisinya undang-undang KPK ini menjadi ironi tersendiri bagi masa depan pemberantasan korupsi.
Mendambakan KPK yang Ideal
Setelah disahkanya revisi undang-undang KPK menjadi undang-undang KPK yang baru, setidak-tidaknya terdapat dua persoalan utama terkait kedudukan dan independensi KPK. Pertama, terkait kedudukan KPK sebagaimana diatur dalam pasal 3 undang-undang nomor 19 tahun 2019, yang menempatkan KPK termasuk bagian dari rumpun eksekutif. Dapat diartikan bahwa rumusan pasal 3 ini mengisysrakatkan kedudukan KPK secara kelembagaan termasuk bagian dari lembaga eksekutif dan secara fungsional terbebas dari kekuasaan manapun.
Sebagaimana kita ketahui KPK merupakan lembaga Negara independen yang lahir dari rahim reformasi. Maka rumusan pasal 3 ini bertolak belakang dengan salah satu karakteristik lembaga Negara independen yang digagas oleh Zainal Arifin Mochtar menurutnya “lembaga Negara independen adalah lembaga yang lahir dan ditempatkan tidak menjadi bagian dari cabang kekuasaan yang ada, meskipun pada saat yang sama ia menjadi lembaga independen yang mengerjakan tugas yang dulunya dipegang oleh pemerintah”.
Dapat diartikan bahwa kedudukan KPK sebagai lembaga Negara independen seharusnya secara kelembagaan maupun secara fungsional tidak termasuk dalam lembaga Negara manapun, sehingga kemungkinan adanya intervensi dari lembaga Negara lain dapat ditanggulangi.
Persoalan kedua terkait independensi KPK, ketika kita mengacu pada pasal 37 A undang-undang nomor 19 tahun 2019 maka disitu terdapat intrumen pengawasan baru yaitu dengan dibentuknya Dewan Pengawas. Lebih tepatnya, di dalam pasal 37 E ayat (1) yang berbunyi “Ketua dan anggota Dewan Pengawas sebagaimana dimaksud dalam pasal 37 A diangkat dan ditetapkan oleh Presiden Republik Indonesia.”
Pasal ini memberikan satu pesan khusus bahwa Presiden berpotensi dapat mengintervensi KPK dengan kewenangannya memilih Dewan Pengawas. Hal ini berbahaya karena dapat mengganggu kerja-kerja KPK dalam pemberantasan korupsi yang melibatkan penyelenggara Negara, sehingga dapat dikatakan independensi KPK akan terancam. Rumusan ini begitu kontradiktif dengan pandangan Denny Indrayana, menurutnya, “Dengan tugas super berat yang dihadapi KPK, maka tidak ada pilihan lain bagi suatu komisi anti korupsi, kecuali berpijak pada konsepsi kelembagaan Negara yang independen. Tanpa independensi kelembagaan, maka modal dan syarat utama bagi keberhasilan komisi anti korupsi sudah tidak hadir sedari awal, alias ia tidak akan berhasil dalam menjalankan tugasnya dalam memberantas korupsi.”
Dapat diartikan bahwa independensi menjadi suatu hal yang penting untuk ditanamkan pada diri KPK, agar dalam menjalankan tugas dan fungsinya dapat sesuai dengan cita-citanya untuk memberantas korupsi di Indonesia tanpa pandang bulu. Untuk itu, dalam mendambakan komisi anti korupsi yang ideal harus sesuai dengan teori dan perkembangan ketatanegaraan yang ada, terutama terkait kedudukan dan keindependensianya, agar komisi anti korupsi tersebut dapat menunjukkan taringnya untuk melakukan tugas mulia dalam memberanntas korupsi.
Selanjutnya ketika mengubah atau merevisi produk undang-undang merupakan sebuah keniscayaan, terlebih khusus untuk merevisi undang-undang KPK karena seiring perkembangan zaman maka kebutuhan dan persoalan masyarakat juga semakin kompleks. Namun, perubahan undang-undang KPK harus diiringi komitmen untuk memperkuat KPK dalam melaksanakan agenda-agenda pemberantasan korupsi.
Tulisan milik Aldo Ibrahim, Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta.
“Disclaimer: Opini adalah kiriman dari penulis. Isi opini adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis dan tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi PinterPolitik.com.”
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.